,

Ancaman Bahaya Merkuri Mengintai Masyarakat Aceh

Bom waktu dampak penggunaan merkuri dari kegiatan pertambangan emas ilegal siap meledak jika Pemerintah Aceh tidak segera mengatur tata kelola pertambangan rakyat. Saat ini, ada 30 ribu orang yang bekerja di 46 hotspot pertambangan emas skala kecil di 11 kabupaten di Aceh yang memproduksi 10 ton emas per tahun. Sebagian besar menggunakan merkuri dan sianida dalam kegiatannya.

Hal itu terungkap dari pemaparan sejumlah nara sumber ahli dalam diskusi kasus pencemaran merkuri dengan tema Analisis Kebijakan Pertambangan Ilegal dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang dilaksanakan Walhi Aceh bekerjasama dengan Mongabay Indonesia dan Green Radio di Dhapu Kupi, Banda Aceh, Kamis (11/9/2014).

Acara yang dimoderatori Yarmen Dinamika (Redaktur Harian Serambi Indonesia) ini menghadirkan nara sumber Rosmayani dari Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal), Faisal dari Dinas Kehutanan, Elly Sufriadi (Dosen FMIPA/Kimia Universitas Syiah Kuala), Muhammad Nur (Direktur Walhi Aceh) dan Yuyun Ismawati (peneliti merkuri dari Bali Fokus).

Hadir dalam diskusi unsur media, LSM, dan pemerintahan seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pertambangan dan Energi, BPKP dan Polda Aceh. Ini kali pertama forum tentang merkuri yang mempertemukan LSM, pemerintah, peneliti dan akademisi serta aparat penegak hukum digelar sejak isu pencemaran merkuri di Aceh mencuat.

Kegiatan tambang emas ilegal yang marak di Aceh sejak 2007 telah menimbulkan dampak serius. Dari sisi lingkungan, kegiatan pertambangan yang dilakukan di hutan lindung telah menyebabkan kerusakan hutan di Aceh. Yang paling menakutkan adalah ada indikasi gangguan kesehatan masyarakat akibat racun merkuri dan sianida meski harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Belum lama ini ribuan ikan ditemukan mati di Sungai Geumpang, Tangse, dan Teunom yang diduga awalnya karena sungai tercemar merkuri dan sianida dari kegiatan pengolahan emas di sana. Namun,  informasi dari peneliti dari Universitas Syiah Kuala mengatakan ikan tersebut mati akibat sulfur dari gunung berapi yang ada di sekitar Tangse dan Geumpang.

Data Bali Fokus menyebutkan hotspot tambang emas ilegal yang dikelola masyarakat di Aceh tersebar di Kabupaten Aceh Jaya  (Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Krueng Sabee, pedalaman Teunom, Sarah Raya, Gunung Uteun Ujeun); Kabupaten Aceh Selatan (Panton Luas Kecamatan Sawang, Pasie Raja, Labuhan Haji  dan Manggamat); Kabupaten Aceh Besar (Krueng Gentot dan Pulau Breuh); Kabupaten Aceh Tengah  (Payakolak, Kecamatan Ketol dan Linge); Kabupaten Pidie (Krueng Tangse, Krueng Sikolen, Krueng Geumpang, Gunung Miwah, Gampong Bangkeh); Kota Subulussalam (satu hotspot); Kabupaten Nagan Raya (Pisang Mas di Beutong, Krueng Tripa dan Krueng Seunagan); Kabupaten Aceh Barat Daya (Desa Sukadamai dan Kecamatan Lembah Sabil); Kabupaten Gayo Lues (Tenkereng dan Kecamatan Pantan Cuaca); serta Kabupaten Aceh Barat (Tutut, Sungai Mas dan Krueng Meureubo).

Rosmayani dari Bapedal Aceh mengatakan  pihaknya sudah melakukan penelitian terhadap baku mutu air di sekitar Sungai Krueng Geumpang, Tangse dan Teunom, satu aliran sungai panjang yang terhubung satu sama lain hingga ke hilir. Penelitian ini dilakukan bersama Dinas Kesehatan beberapa hari paska matinya ikan-ikan di sungai tersebut yang diduga karena limbah merkuri dari aktivitas pengolahan emas oleh masyarakat. “Hasilnya, air sungai telah terkontaminasi beberapa unsur berbahaya,” tegasnya.

Kepala Bidang Amdal ini membenarkan tahun 2012 Kementrian Lingkungan Hidup juga telah melakukan penelitian yang menemukan kadar merkuri di sampel rambut dari 40 warga di sekitar Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya dalam kadar maksimum. Warga yang diambil sampel rambutnya terbagi dua kelompok yakni pengolah emas yang langsung dalam kegiatan penambangan dan mereka yang tidak ikut kegiatan penambangan emas, tapi berada di areal pengolahan emas seperti keluarga penambang.

Secara umum kegiatan pertambangan rakyat di Aceh tidak didukung oleh Amdal karena banyak yang dilakukan tanpa izin. “Lingkungan sudah cukup tinggi tindak kerusakannya. Kualitas air di bawah baku mutu. Tapi kita belum bisa men-judge apa penyebabnya. Karena, banyak aktivitas di sekitar daerah itu juga. Bapedal Aceh akan melakukan penelitian lebih lanjut kualitas air di tiga kabupaten yang terindikasi ada kegiatan pertambangan.”

Elly Sufriadi, Dosen FMIPA Kimia, yang melakukan penelitian pertambangan emas rakyat di Aceh memperkuat hasil penelitian Bapedal. Tahun 2010, Universitas Syiah Kuala juga telah melakukan penelitian terhadap air Sungai Krueng Sabee yang dipakai sebagai bahan baku air PDAM bagi dua ribu masyarakat Kota Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya. “Sampel air diberikan kepada mencit (Mus musculus) dan didapatkan mencit mati dalam waktu 20 hari. Bayi mencit yang lahir tanpa tulang tengkorak di kepala.”

Elly menyebutkan merkuri telah tersebar dalam rantai makanan. Sampel kerang dan ikan yang ditemukan di hulu Sungai Krueng Sabee juga telah ditemukan kandungan merkuri. “Kabar buruk bagi kita masyarakat Aceh bahwa kita semua tidak terlepas dari bahaya merkuri, karena sudah masuk ke dalam rantai makanan di alam. Kita yang tinggal jauh dari daerah pertambangan seperti di Banda Aceh juga bisa terpapar dampak  karena mengkonsumsi ikan yang bermigrasi dari sana.”

Elly Sufriadi mengingatkan kasus Minamata di Jepang bisa terjadi di Aceh jika pemerintah tidak segera mengatur tatakelola tambang rakyat. Kalau dibiarkan efek merkuri berbahaya secara jangka panjang bagi kesehatan manusia dan lingkungan. “Proses restorasi lingkungan di Minamata tahun 1950-an butuh dana Rp48 triliun. Bisa dibayangka berapa yang harus kita keluarkan  untuk mengatasi masalah pencamaran merkuri ini di puluhan lokasi penambangan di Aceh?”

Sebuah gelondongan pengolahan emas di halaman rumah warga di Manggamat Kabupaten Aceh Selatan. Foto: Chik Rini
Sebuah gelondongan pengolahan emas di halaman rumah warga di Manggamat, Aceh Selatan. Foto: Chik Rini

Yuyun Ismawati peneliti dampak pencemaran merkuri pada kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) di Indonesia menyebutkan sudah banyak kasus seperti di Minamata yang terjadi di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, karena keracunan merkuri, banyak ibu hamil yang melahirkan anak cacat seperti idiot, autis dan bibir sumbing. Gejala lainnya adalah tremor dan bisa terserang stroke. Kasus ini tidak banyak terekspos dan dokter masih belum bisa mendiagnosa.

“Merkuri itu disebut one way ticket. Sekali masuk ke dalam tubuh manusia tidak dapat keluar lagi kecuali pakai obat-obatan yang cukup keras. Ia masuk ke otak, ginjal dan hati,” jelas peraih Goldman Environmental Prize 2009 ini berkat pengabdiannya pada isu sampah dan sanitasi di Indonesia.

Merkuri yang masuk melalui makanan bisa diperiksa keberadaannya di tubuh manusia lewat kuku dan rambut, sementara kalau merkuri yang terhirup melalui udara bisa diperiksa melalui urin. “Yang diperiksa di rambut dan kuku adalah merkuri yang terpapar dalam jangka panjang, sedang yang terpapar di darah itu jangka pendek.”

Data Bali Fokus 2010, di Indonesia ada 850 hotspot tambang rakyat yang tersebar di 27 provinsi dengan pekerja sebanyak 250 ribu orang dengan produksi emas 65-130 ton per tahun.

“Biang keroknya adalah perdagangan merkuri,”tegas Yuyun.

Perdagangan ilegal merkuri bebas dilakukan di daerah-daerah pertambangan rakyat. Merkuri itu masuk dari Singapura, China, dan Malaysia. Dari catatan database situs Zionet.org yang memantau perdagangan merkuri global, tahun 2010  impor notifikasi dari Singapura menyebutkan ada 280 ton merkuri dikirim ke Indonesia, tapi yang tercatat di Indonesia hanya 2 ton. Tahun 2013 merkuri yang masuk ke Indonesia lebih dari 400 ton, sementara yang tercatat di Kementerian Perdagangan hanya 540 kilogram. “Selebihnya dilakukan di bawah tangan, bebas masuk ke banyak pelabuhan Indonesia tanpa perlu ada surat sertifikasi dan pengawasan yang ketat.”

Oktober 2013, seluruh dunia sepakat mengikuti Minamata Convesion on Mercury. “Kami lagi mem-push Pemerintah Indonesia untuk segera menandatanganinya karena penting untuk menjamin kesehatan manusia dan lingkungan dan dampak pemaparan merkuri.”

Mulai 1990, fenomena pertambangan emas skala kecil menjadi trend seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia. Saat ini deposit emas dunia yang tersisa tersebar di hutan lindung, hutan konservasi, dan lahan adat. Sulit bagi perusahaan tambang emas besar dunia seperti Newmont, East Asia dan Miwah masuk ke sana karena biayanya yang besar.  “Jadi, mereka membentuk junior mining companies dan bermitra dengan perusahaan lokal guna memakai para penambang kecil untuk masuk ke lokasi yang sulit itu,”ungkap Yuyun.

Para pemateri menyebutkan sudah terlambat bagi Pemerintah Aceh menghentikan pertambangan rakyat ini karena ada puluhan ribu orang tergantung hidupnya pada kegiatan ini. Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah segera memfasilitasi formalisasi tambang rakyat untuk mempermudah pembinaannya.

Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur mendorong Pemerintah Aceh untuk segera membuat tata kelola tambang rakyat, menetapkan wilayah pertambangan rakyat, dan mengeluarkan regulasi pengelolaannya. “Dengan cara ini, kegiatan bisa diawasi sehingga rusaknya hutan akibat pembukaan pertambangan, pencemaran merkuri dan sianida dapat dikontrol,”kata M. Nur.

Yuyun Ismawati mengatakan, semua pemerintah daerah yang wilayahnya terdapat pertambangan emas skala kecil perlu segera membuat rencana aksi daerah termasuk melakukan pelarangan penggunaan merkuri. Sementara, rencana aksi nasional tentang penghapusan merkuri di tambang skala kecil sudah disusun tapi belum ditentukan kapan mulai diberlakukan.

“Pemerintah harus segera melakukan pemeriksaan kesehatan masyarakat yang terkena dampak merkuri dan segera membersihkan lahan yang tercemar,” katanya.

Elly Sufriadi mendorong cara lainnya untuk mengolah emas tanpa menggunakan merkuri dan sianida. Karena, ke depan teknologi yang ramah lingkungan diperlukan untuk mengganti penggunaan merkuri di tambang rakyat. “Masyarakat perlu diedukasi bagaimana mereka melakukan tambang yang tidak merusak.”

Dari diskusi ini, para pihak sepakat berkumpul kembali untuk berdiskusi secara teknis dan segera bertemu Gubernur Aceh. Tujuannya, mendorong pemerintah mengambil tidakan atas semua rekomendasi yang dihasilkan selama diskusi.

Tambang emas rakyat di hutan Manggamat, Aceh Selatan. Foto: Chik Rini
Tambang emas rakyat di hutan Manggamat, Aceh Selatan. Foto: Chik Rini

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,