,

Di New York, 4 Raksasa Sawit Ikrar Jaga Hutan. TUK-Walhi: Jangan Hanya Bagus di Atas Kertas!

Empat raksasa sawit,  Golden Agri Resources (GAR), Wilmar, Cargill dan Asian Agri bersama Kadin Indonesia, bersamaan dengan pertemuan iklim di New York, mengumumkan komitmen minyak sawit berkelanjutan, nol deforestasi dan menghargai hak-hak masyarakat. Penandatanganan komitmen ini disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Komitmen ini disambut positif berbagai kalangan, namun terpenting bagaimana implementasi di lapangan. Jangan, sampai komitmen hanya bagus di atas kertas dan hanya pencitraan perusahaan-perusahaan ini ke lembaga keuangan, pembeli (konsumen) dan pemerintah.

Edi Sutrisno, devisi Advokasi Kebijakan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) mengatakan, komitmen mereka langkah bagus, tetapi masyarakat dunia harus melihat realitas di lapangan. “Terutama terkait konflik, jangan gara-gara komitmen ini seakan-akan mereka menjadi baik semua,” katanya di Jakarta, Kamis (25/9/14).

Dia melihat, di lapangan masih banyak konflik-konflik antara perusahaan dan warga. Hak-hak masyarakat masih terabaikan.  Edi mencontohkan, konflik lahan warga dengan Sinar Mas di Padang Halaban, Sumatera Utara (Sumut) sampai sekarang belum ada penyelesaian. “Ini yang membuat kita khawatir, komitmen hanya di atas kertas, terlebih di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ucap Edi.

Dia mengatakan, jangan sampai komitmen ini hanya sebagai pembenaran buat mengamankan  bisnis mereka di mata lembaga keuangan (bank) dan konsumen serta pemerintah yang akan terus melanggengkan bisnis. “Secara deklarasi cukup baik. Ya, harapannya pasar dan bank kuat mengawasi ini agar tak sekadar imej.”

Guna memastikan perusahaan menjalankan praktik baik, TUK pernah mendesak bank asing melakukan due diligence atas uang-uang yang mereka pinjamkan.

Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional menduga, ada upaya menyembunyikan praktik mereka sebelum mendeklarasikan komitmen.

Dia mencontohkan, Wilmar  berani berkomitmen menurunkan deforestasi non persen kawasan gambut. Nyatanya, dua “cucu” perusahaan ini , PT Sawindo Cemerlang dan PT Sawit Tiara Nusa, masih menebang di hutan alam, di Pahuwato, Gorontalo. Wilmar punya saham pada PT Agri Kencana Grup, induk kedua perusahaan itu.

Contoh lagi, titik api alias kebakaran hutan dan lahan masih banyak ditemukan pada konsesi perusahaan. Misal, titik api pada 2013-2014, di Sumatera Selatan,  mayoritas ditemukan di konsesi HTI, antara lain Sinar Mas.  “Ga cukup hanya komitmen lalu diklaim jadi contoh baik. Luar biasa.”

Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi
Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi

Zenzi melihat, dengan manifesto global (komitmen) ini malah berpotensi berbahaya bagi hutan dan masyarakat. Sebab, pemodal di bisnis sumber daya alam bisa membuat skenario dengan menunggangi isu iklim.

Dari skenario ini, katanya, tak hanya terjadi intervensi kesepakatan global juga lokal. Di Indonesia, pemerintah sedang proses RUU Konservasi Air dan Tanah. “Ini curiga jadi payung hukum perampasan lahan baru.” Sedang perusahaan sektor konservasi lancar dengan ‘bisnis’ restorasi ekosistem (RE).

Dalam salah satu draf Pasal dalam RUU ada klausul pengguna air wajib membayar jasa kepada yang melakukan konservasi air dan tanah.  “Itu berpotensi menyusahkan warga atau petani. Bisa jadi petani pakai air konsesi RE wajib bayar pada perusahaan. Pemegang modal punya skenario pegang bisnis di Indonesia,” katanya.

Menurut dia, RE akan diklaim para pengusaha skala besar sebagai bentuk kontribusi  rehabilitasi hutan.  Padahal, kawasan itu memang hutan lestari bahkan sebagian wilayah kelola masyarakat. perampasan sumber kehidupan rakyat atas nama penyelamatan iklim global.”

WWF: Momentum luar biasa

Sementara itu, WWF menyambut baik dan menyatakan, komitmen itu momentum luar biasa. Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, komitmen ini mengarah pada transformasi industri minyak sawit global. WWF, katanya,  menaruh keyakinan komitmen para petinggi  industri sawit terkemuka dan Kadin ini memberikan titik terang di pasar global. “ Bahwa Indonesia serius menjalankan langkah-langkah perbaikan menuju produksi minyak sawit berkelanjutan.”

Dia sadar, tantangan yang dihadapi dalam menjalankan komitmen ini sangat besar dan keberhasilan implementasi komitmen mutlak memerlukan dukungan para produsen lain, organisasi lingkungan, pedagang, konsumen, pemerintah dan masyarakat.

Irwan Gunawan, Strategic Leader of Agriculture & Fisheries Market Transformation WWF-Indonesia mengatakan, sebenarnya pasar global merupakan pendorong penting membantu industri sawit Indonesia mencapai standar keberlanjutan.

“Memboikot atau mencari pengganti sawit bukanlah jalan keluar. Justru berpotensi membawa dampak sampingan terhadap banyak hal di luar komoditas  itu. Yang penting bagaimana menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan,” katanya dalam rilis kepada media.

WWF percaya, komitmen yang disampaikan di New York berada di jalur tepat dalam mencapai keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.

Perlindungan hutan dan REDD+

Sementara itu, dalam event REDD+ di New York, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menekankan pentingnya melindungi hutan tropis dan lahan gambut. Terlebih, Indonesia memiliki hutan tropis ketiga dunia dan lahan gambut terbesar yang menyimpan banyak karbon.

“Melindungi mereka penting guna menghindari dampak perubahan iklim lebih buruk.  Komitmen Indonesia melawan deforestasi dan degradasi lahan gambut bagian dari kontribusi kami kepada dunia dalam menekan laju perubahan iklim,” katanya.

Dia mengatakan, alih fungsi hutan dan lahan memberikan kontribusi besar dalam pelepasan emisi karbon, terbesar diberikan deforestasi dan degradasi hutan. Untuk Indonesia, lebih dari dua pertiga gas rumah kaca disumbangkan oleh alih fungsi lahan dan hutan ini. “Namun di waktu sama, kami juga melindungi hutan guna melawan perubahan iklim ini.”

Dalam kesempatan itu, SBY memaparkan BP REDD+ yang sudah terbentuk sebagai bukti upaya Indonesia menekan deforestasi dan degradasi. Dia secara pribadi terlibat dalam pemberntukan badan ini.

Menurut dia, ada beberapa pelajaran penting dari keberadaan REDD+.  Pertama, ada REDD+ itu mengubah pola pikir dalam penggunakan dan pengelolaan hutan. Yakni, menggunakan pendekatan baru tata kelola hutan yang menekankan pada kontribusi hutan bagi konservasi lingkungan.

Kedua, REDD+ relevan dan tak hanya mengenai lingkungan tetapi juga sosial. Bentuk ini juga memberikan penekanan pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Ketiga, guna memastikan REDD+ berjalan, dengan melibatkan semua stakeholders. “Ini penting untuk bekerja bersama, pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat.”

Keempat, menekankan pentingnya regulasi. Sebagai contoh, kebijakan moratorium izin baru pada kawasan hutan dan lahan gambut pada 2011. Dengan kebijakan itu, SBY mengklaim, Indonesia bisa melindungi lebih dari 63 juta hutan primer dan gambut. Kebijakan ini sudah diperpanjang hingga 2015.

Komitmen empat raksasa sawit

Potret nyata di Kalimantan Tengah, bagaimana hutan berubah menjadi lapangan yang disiapkan untuk kebun sawit. Jangan sampai, perusahaan-perusahaan itu hanya berkomitmen di atas kertas, sedang di lapangan masih terjadi seperti ini. Foto: Lili Rambe
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,