,

Inilah Perjuangan Membangun Hutan Desa di Tanah Penghasil Kopi Luwak (Bagian-1)

Keramahan masyarakat Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumsel terasa saat melintas di wilayah yang berada pada ketinggian 500-1.000 meter dari permukaan laut ini. Sepanjang perjalanan yang dipenuhi perkebunan kopi, persawahan, serta pemandangan berupa perbukitan yang hijau, warga yang ditegur selalu tersenyum.

Hal ini bertolak belakang ketika banyak orang mengasosiasikan “Semende” dengan aktivitas perambahan hutan di Bukit Barisan, baik yang masuk wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, maupun Jambi. Orang Semende dinilai paling banyak membuka hutan untuk perkebunan kopi, karet, dan sawit.

Wilayah Semende sendiri terbagi tiga kecamatan. Kecamatan Semende Darat Laut, Kecamatan Semende Darat Ulu dan Semende Darat Tengah, dengan total penduduk sekitar 36 ribu jiwa. Kecamatan Semende paling terkenal dengan produk kopinya. Tanaman kopi yang umumnya jenis Robusta dinilai memiliki cita rasa tinggi di mata penggemar kopi. Cita rasanya khas. Tidak terlalu pahit, sedikit asam tapi memiliki aroma yang alami. Kopi Semende selain digemari para pencinta kopi di Palembang dan Jakarta, juga dinikmati hingga mancanegara.

Menurut Thoulun Abdulrauf, seorang intelektual muslim dalam bukunya Jagad Basemah Libagh Semende Panjang, nama Semende berasal dari kata “same” yang berarti satu dan “nde” yang bermakna keluarga. Jadi, Semende berarti “satu keluarga” yang didirikan Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak,seorang ulama yang menyebarkan ajaran Islam di dataran tinggi Dempo, Sumatera Selatan.

“Di Kabupaten Muara Enim, mungkin wilayah Kecamatan Semende inilah yang paling aman. Bila ada yang melakukan kejahatan, langsung kami ketahui orangnya. Di Semende ini kami saling mengenal, termasuk pendatang. Kapan saja datang ke Semende dipastikan aman,” kata Muhammad Fathudin, tokoh Desa Muara Dua, Kecamatan Semende Darat Laut, saat dijumpai pertengahan September lalu.

“Orang Semende membuka hutan semata untuk membuat kebun. Khususnya kebun kopi. Hal ini dilakukan karena mereka tidak lagi memiliki lahan karena kehidupan mereka yang miskin,” jelas Fathudin, sarjana pendidikan lulusan Universitas Sriwijaya yang memilih pulang kembali bertani ke kampungnya.

Menurutnya hutan yang dirambah sebenarnya merupakan lahan yang pernah digarap para leluhur di masa lalu. Saat leluhur pindah ke permukiman baru, lahan garapan tersebut ditinggalkan yang lambat laun berubah menjadi hutan. Buktinya bisa dilihat dari bekas tanaman kopi yang masih ada. Kayu yang ditebas untuk kebun juga hanya dikumpulkan dan diletakkan. Tidak diapa-apakan, apalagi dijual.

Persoalan di Semende mulai muncul dengan sejak perkebunan kopi yang mereka garap sejak tahun 1995 dinyatakan masuk wilayah Hutan Lindung Jambul Asahan yang luasnya mencapai 82 ribu hektar. Hutan Lindung Jambul Asahan ini ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 925/1982 yang direvisi oleh Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 410/1986.

Tokoh di balik Hutan Desa, M. Fathuddin di depan rumahnya. Foto: Rahmadi Rahmad
Tokoh di balik Hutan Desa, M. Fathuddin di depan rumahnya. Foto: Rahmadi Rahmad

Pembukaan lahan di hutan lindung buat kebutuhan perkebunan dibenarkan Sarmanuddin (43), Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Muara Danau. “Kami membuka lahan buat perkebunan kopi. Kami membuka hutan ini semata untuk mencari nafkah. Bukan menebang pohon untuk dijual,” katanya.

Bahkan hutan yang dibuka tersebut, sekitar 250 hektar oleh 100 lebih kepala keluarga di Desa Muara Danau diyakini masih berada di hutan adat. “Kami membuka hutan untuk perkebunan karena masih ditemukan tanaman yang dulunya ditanam leluhur kami, sekitar tahun 1950-an, seperti pohon durian, cempedak, pohon karet, bambu.”

Karena berstatus hutan lindung, sejumlah petugas dari Dinas Kehutanan melarang masyarakat berkebun di wilayah hutan. Meskipun tidak ada penahanan terhadap warga, tapi beberapa warga mendapat teguran atau peringatan dari petugas.

“Tidak ada penahanan, cukup teguran. Warga hanya diberi pembinaan dan selanjutnya diminta menanam pohon kembali yang bibitnya berasal dari Dinas Kehutanan. Aktivitas mereka yang membuka lahan di hutan juga menyebabkan saluran air ke persawahan terganggu, karena banyak pohon yang berada di sekitar mata air ditebang,” kata Sukarji, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kehutanan Semende.

Di tengah ketegangan tersebut, pada 2011 Dinas Kehutanan Muara Enim mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat dan kepala desa dari tiga kecamatan di Semende itu. Dinas menawarkan konsep Hutan Desa kepada warga. Setiap kepala keluarga diperbolehkan mengelola lahan seluas 1,5 hektar yang berada di hutan lindung.

Syaratnya adalah mereka tidak boleh memperluas lahan perkebunan. Mereka juga harus menjaga lahan dan hutan dari bencana kebakaran, melindungi satwa, serta menanam sejumlah pohon tutupan seperti durian, jengkol, nangka, selain pohon kopi. Lahan dikelola selama 35 tahun, yang akan dievaluasi setiap lima tahun. Artinya adalah bila petani tidak memenuhi persyaratan misal tidak mengelola lahan dengan baik atau melewati tapal batas yang ada maka izinnya bisa dicabut.

Tawaran tersebut tentu saja disambut baik warga. “Kami butuh jaminan lahan yang kami garap tersebut. Biar kami hidup tenang selama berkebun. Kami tidak peduli apa pun namanya. Melihat program Hutan Desa yang membuat kami tenang, maka kami pun menerima tawaran tersebut,” kata Sarmanuddin.

Pada tahun 2012, selama sepekan Fathudin dan Sukarji mencoba menyusun proposal Hutan Desa Semende yang merupakan hasil kesepakatan antar tokoh dan masyarakat desa tersebut.

“Kami langsung menyerahkan berkas usulan tersebut kepada Bupati Muara Enim di rumahnya. Ajaibnya, justru bupati yang menyemangati kami untuk segera membuat usulan berkas tersebut. Apa tidak terbalik,” gelak Fathudin. Jika akhir 2011, saat wacana hutan desa digulirkan baru mencakup lima desa, tahun 2013 telah bergabung 15 desa yang mengusulkan program Hutan Desa di tiga kecamatan dengan total luas sekitar 26.430 hektar.

Kopi sengaja dijemur di pinggir jalan-1
Mengeringkan kopi secara tradisional. Dikeringkan di jalan. Foto: Rahmadi Rahmad

Ibarat oase di padang pasir, harapan masyarakat Semende begitu tinggi terhadap program Hutan Desa tersebut. Saat izin belum belum keluar dari pemerintah, meskipun di dalam peraturan perizinan paling lambat dikeluarkan setelah 60 hari dari permohonan, mereka gelisah.“Saya selalu didatangi warga yang menanyakan kepastian program tersebut. Saya hanya mampu berkata sabar. Tidak sedikit warga menilai program tersebut merupakan bohong-bohongan dari pemerintah,” kata Fathudin.

Pada tahun 2014, akhirnya setelah berjuang dengan dibantu oleh Wahana Bumi Hijau (WBH), sebuah LSM lingkungan, Pemerintah mengeluarkan izin Hutan Desa bagi 12 desa yakni Desa Muara Danau (Kecamatan Semende Darat Laut), Desa Seri Tanjung, Tenam Bungkuk, Kota Padang, Gunung Agung, Muara Tenang (Kecamatan Semende Darat Tengah), dan Desa Tanjung Tiga, Pelakat, Danau Gerak, Cahaya Alam, Segamit, dan Tanjung Agung (Kecamatan Semende Darat Ulu).

“Tiga desa lainnya tengah menunggu izin keluar,” kata Sukarji. Menurutnya, di Hutan Desa masyarakat akan menanam kopi yang diselingi alpukat. Mereka pun tidak keberatan untuk menanam pohon tutupan sehingga tidak melulu kopi. “Kesadaran ini muncul dari para petani.”

Tulisan ini bersambung ke tautan ini:

http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/09/28/lewat-hutan-desa-dan-pendidikan-semende-ingin-kembalikan-citra-pejuang-bagian-2-selesai/

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,