Banding Ditolak Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Saatnya PT. Kallista Bayar Rp366 Miliar ke Negara

Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh menolak permohonan banding PT. Kallista Alam dalam perkara banding perdata Nomor 50/PDT/2014/PN BNA, 15 Agustus 2014. Apakah perusahaan tersebut segera membayar ganti rugi mencapai Rp366 miliar lebih kepada negara karena menyebabkan sekitar 1.000 hektar lahan gambut terbakar?

“Kami belum terima salinannya (putusan PT Banda Aceh), kalau tentang rencana kasasi ke Mahkamah Agung mungkin akan dilakukan,” kata Penasehat Hukum PT. Kallista Alam, Alfian C Sarumaha, pekan lalu.

Sebelumnya, Adi Dachrowi SH, salah satu hakim di Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Jumat (19/09/2014), mengatakan putusan tersebut sudah disampaikan ke Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh untuk diteruskan kepada para pihak yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan PT. Kallista Alam.

“Putusannya (PT Banda Aceh) menguatkan putusan PN Meulaboh tanggal 8 Januari 2014 pada perkara perdata Nomor 12/Pdt.G/2012/PN MBO,” kata Adi.

Artinya, Pengadilan Tinggi Banda Aceh mengabulkan sebagian gugatan penggugat atau terbanding yaitu Kementerian Lingkungan Hidup. PT. Kallista Alam sebagai tergugat atau pembanding harus membayar ganti rugi materil secara tunai kepada KLH sebagai terbanding atau penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp114.303.419.000.

Selanjutnya memerintahkan PT. Kallista Alam untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1.000 hektar yang berada dalam wilayah izin usaha berdasarkan Surat Izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011 Nomor 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.

Pengadilan Tinggi Banda Aceh juga menghukum PT. Kallista Alam untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan yang terbakar dengan biaya sebesar Rp251.765.250.000, sehingga lahan dapat difungsikan kembali.

Jika PT. Kallista Alam terlambat dalam melaksanakan putusan perkara tersebut, maka mereka harus harus membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000 per hari.

Sedangkan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat diperintahkan untuk melakukan tindakan tertentu dalam mengawasi dan pelaksanaan pemulihan lingkungan.

Seperti diketahui, perusahaan kelapa sawit PT. Kallista Alam digugat secara perdata dan pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena telah merusak lingkungan hidup. Berupa, peristiwa kebakaran di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam sekitar 1.000 hektar yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada pertengahan 2012 lalu.

Pada 15 Juli 2014 lalu, Pengadilan Negeri Meulaboh juga menghukum pidana sejumlah pimpinan PT Kallista Alam.

Direktur PT. Kallista Alam Subianto Rusyid dihukum 8 bulan kurungan, denda Rp150 juta dan subsider 3 bulan kurungan terkait perizinan. Subianto dihukum karena lalai atau tidak mengontrol bawahannya sehingga perusahaan yang dipimpinnya terbukti melakukan pembukaan lahan tanpa izin, dan membuka lahan dengan cara membakar di atas lahan gambut. Tindakan ini melanggar Undang-Undang nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan Pasal 46 ayat (2).

Hukuman ini lebih ringan dua bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suka Makmue Kabupaten Nagan Raya, Rahmat Nurhidayat yaitu 10 bulan kurungan, denda Rp150 juta dan subsider 3 bulan kurungan.

Manager Pengembangan PT. Kallista Alam Khamidin Yoesoef dihukum 3 tahun penjara dan denda Rp3 miliar serta subsider 5 bulan kurungan karena bersalah telah membuka lahan dengan cara bakar. Khamidin Yoesoef didakwa melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat 1 huruf h, Pasal 116 ayat 1 huruf a dan Pasal 116 ayat 1 huruf b Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Pasal 64 ayat 1 KUHP.

PN Meulaboh juga menghukum PT. Kallista Alam atas nama korporasi dengan denda Rp3 Miliar.

TKPRT apresiasi putusan PT Banda Aceh 

Keputusan PT Banda Aceh yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh mendapat apresiasi Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT). “Putusan ini telah sesuai dengan rasa keadilan, kami minta putusan tersebut segera dieksekusi untuk bisa mengembalikan fungsi kawasan gambut tripa,” ujar Fadhila Ibra, juru Bicara TKPRT, seperti dikutip acehterkini.com

Putusan ini juga menguatkan upaya yang akan dilakukan Pemerintah Aceh untuk restorasi kawasan “Rawa Tripa” dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

“Pemerintah Aceh sebaiknya juga membatalkan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) terkait tidak adanya nomenklatur KEL dalam dokument tata ruang Aceh, sementara kawasan Rawa Tripa itu berada dalam KEL,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,