,

Modus Perusahaan Sawit Rambah Hutan: Bikin Perjanjian dan Beli Hasil Panen Warga

Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) menemukan fakta, banyak perusahaan perkebunan sawit, memperluas lahan dengan membeli hasil tandan buah segar (TBS) dari petani yang dengan membuka kawasan hutan. Perusahaan membuat perjanjian dengan warga untuk menanam dan memberi hasil panen.

Mansuetus Darto, koordinator nasional SPKS, mengatakan cuci tangan sejumlah perusahaan sawit di Indonesia agar bisa memperluas lahan, walau merambah hutan, dengan menggunakan masyarakat.

Sejumlah perkebunan ini, memberikan janji menggiurkan jika ada masyarakat menanam sawit di hutan lindung. Jika mau, hasil panen dibeli dengan harga menggiurkan. Ada semacam pengikat dengan membuat perjanjian dengan masyarakat. Cara ini,  cukup berhasil. Terjadi, perpindahan masyarakat dari wilayah lain ke satu daerah di kawasan hutan, lalu dibangun tempat tinggal dan menggarap hutan untuk sawit.

Kasus ini, katanya, ditemukan, seperti di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), ada dua perusahaan sudah belasan tahun menggarap lahan hutan hegara, juga di hutan lindung Mahato dan Teso Milo, Riau.

“Di dua kawasan hutan di Riau ini, salah satu contoh bagaimana grup perusahaan sawit, memanfaatkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan,” katanya.

Tahun 2013, katanya, keluar Permentan mengatur pembatasan grup besar sawit. Strategi mereka, perusahaan ini memanfaatkan masyarakat di sekitar hutan. “Atau masyarakat yang masih memiliki lahan tersisa, didorong merambah beberapa kawasan, dibuat proses perjanjian serapi mungkin, berbunyi jika menanam kebun sawit, jika nanti berbuah, perusahaan besar akan membeli hasil panen. Itu berada di beberapa kawasan hutan.”

Menurut dia, modus ini terjadi namun pemerintah dan penegak hukum terkesan menutup mata. “Kalaupun proses hukum berjalan, perusahaan bisa buang badan, masyarakat yang termakan janji akan dipenjara. Beginilah kondisi kita di Indonesia. Ini bukan saja di Sumut.”

Darto menyatakan, tata kelola perkebunan sawit di Indonesia harus baik, pemerintah harus mengawasi. Selama ini, pusat beralasan menyusun regulasi, dan cuci tangan dengan melempar tanggungjawab ke daerah.

Kusnadi Oldani, direktur Walhi Sumut, berharap, pemerintah baru memperbaiki tata kelola sawit yang menyebabkan deforestasi luas. “Kita berharap banyak, Jokowi-JK bisa memperhatikan ini. Kami akan terus mengawal. ”

Pemerintah, katanya, harus membuka mata melihat modus perusahaan yang memanfaatkan warga ini. Pemerintah, tak boleh seenaknya menuduh, dengan menyalahkan masyarakat adat, yang tinggal di kawasan hutan. “Mereka malah menjadi penjaga hutan.”

Dia mengatakan, dampak alih fungsi kawasan hutan menjadi sawit, dan lain-lain mengancam spesies langka di Sumut. Rumah mereka rusak dan hancur.

Menurut Kusnadi, ada beberapa spesies terancam punah, antara lain, orangutan, gajah, badak Sumatera, dan harimau Sumatera. Selama ini, sering konflik manusia dengan satwa. “Ruang gerak mereka kecil karena pemberian izin konsesi besar-besaran terhadap perusahaan perkebunan. Ini ancaman.”

Sumut, katanya, belum memiliki tata ruang berbasis koridor. Walhi bersama Aliansi Tata Ruang Sumatera,  mengusulkan tentang tata ruang berbasis koridor ini.

Data Walhi Sumut, 2011-2012,  lebih 60% lahan strategis sawah beralih fungsi dari padi menjadi sawit. Sebagian menjadi perumahan. Dampaknya sangat rentan ketahanan pangan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,