,

Ngata Toro, Desa Adat yang Berani Beri Denda Pada Balai Taman Nasional

Kabut menyelimuti pagi di Ngata Toro, dingin menusuk tulang. Semalam hujan deras mengguyur Kampung. Beberapa warga terlihat mulai beraktifitas, sebagian masih lelap tidur di rumahnya masing-masing. Barangkali, karena matahari belum bersinar. Tidak lama lagi, sebulan atau dua bulan, akan ada panen besar di Ngata Toro.

Ngata Toro, sebuah perkampungan yang bersinggungan langsung dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. Ngata artinya desa, sedang Toro adalah nama desanya. Masyarakat Toro lebih senang memakai istilah Ngata ketimbang desa. Serupa dengan Nagari bagi masyarakat Minangkabau, di Sumatera Barat.

Ngata Toro, masuk dalam administrasi Kecamatan Kulawi di Kabupaten Sigi. Berjarak sekitar 3 jam dari Palu, ibu kota provinsi Sulawesi Tengah. Topografi Ngata Toro berbentuk lembah dan dikelilingi hutan. Sebagian rumah penduduk halamannya ditanami padi organik. Di alun-alun Ngata, sebuah Lobo berdiri. Lobo adalah rumah adat masyarakat Toro. Di sinilah tempat jika orang-orang Toro melakukan Libu Bohe, atau musyarawah adat besar.

Sepanjang jalan Ngata Toro, selain melihat hutan yang menjadi benteng Ngata, rumah-rumah ibadah seperti gereja dan mesjid berdiri dengan bagusnya. Rumah-rumah warga juga banyak yang terpasang parabola. Listrik sudah lama masuk di Ngata.

“Di sini kami hidup berdampingan antara orang Toro yang beragama Kristen dan orang Toro yang Islam. Bahkan dalam satu rumah ada yang tinggal beda agama. Tidak ada masalah,” kata Abdul Rajab (42), seorang warga Toro yang dingin pagi itu memaksanya harus membungkus tubuhnya dengan jaket.

Rajab seorang muslim. Di waktu kecil, ia mengaku bersekolah di SD Bala Keselamatan milik sebuah misi Kristen. Sekarang sudah ada Madrasah Ibtidaiyah Alkhairat, setara SD, orang-orang Toro beragama Kristen juga ada yang menempuh pendidikan di situ.

“Kami tidak ada masalah dengan agama di sini, yang utama bagi kami adalah menjaga adat, menjaga hutan. Itu adalah modal orang Toro.”

Ngata Toro memiliki luas wilayah 22.950 hektar. Penduduknya 2.460 jiwa dan 602 kepala keluarga yang mendiami lembah Toro. Mayoritas beragama Kristen dengan jumlah 2.112 orang dan Islam 360 orang. Prinsip hidup warga di Ngata Toro adalah “Maroho Ada, Manimpu Ngata”. Artinya, adat yang kuat maka negeri atau Ngata aman, damai, teratur, dan harmonis.

Luas hutan adat Ngata Toro adalah 18.360 hektar, yang dibagi dalam beberapa zona tradisional, antara lain Wanangkiki (zona inti), Wana (zona rimba), Oma (zona pemanfaatan). Zona inti dan zona rimba adalah tempat untuk mengambil hasil hutan non kayu berupa, damar dan gaharu. Sedangkan zona pemanfaatan adalah tempat mengambil rotan.

“Di sini ada hutan larangan, namanya Taolo. Ini wilayah terlarang. Lembaga adat sudah memutuskan tidak boleh melakukan aktivitas di hutan ini,” kata Mulyanto Lagimpu, Kepala Ngata Toro.

Ini adalah Lobo, rumah adat di Ngata Toro. Di tempat ini biasa diadakan Libu Bohe atau musyawarah adat besar dan  juga melakukan pengadilan adat. Foto: Chris Paino
Lobo, rumah adat di Ngata Toro. Di tempat ini biasa diadakan Libu Bohe atau musyawarah adat besar dan juga melakukan pengadilan adat. Foto: Chris Paino

Pengakuan hutan adat bagi masyarakat Ngata Toro tidak didapat dengan mudah. Luas hutan adat 18.360 hektar itu masuk dalam kawasan TN Lore Lindu. Wilayah itu sebelumnya diklaim secara sepihak oleh pemerintah sebagai area Taman Nasional tanpa melalui diskusi dengan warga. Sehingga ketika masyarakat beraktifitas di hutan adat itu, maka cap sebagai perusak dan perambah hutan selalu menempel pada orang-orang Toro.

Barulah pada tahun 1999, masyarakat Toro melakukan pemetaan partisipatif dan mendokumentasikan nilai-nilai kearifan tradisional yang mereka miliki dalam mengelola dan menjaga sumber daya alam di wilayah Huaka atau wilayah adat orang Toro. Gayung pun bersambut; pada 16 Juli 2000, pihak Balai Besar TN Lore Lindu yang saat itu dikepalai oleh Banjar Yulianto Laban, menandatangani kesepakatan antara masyarakat Ngata Toro dengan pihak pemerintah. Pemerintah mengakui keberadaan hutan adat di Ngata Toro.

“Kini orang Toro dapat mengakses sumber daya alam yang ada di wilayahnya untuk keberlanjutan hidupnya hingga anak cucu, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan yang kami miliki,” kata Mulyanto.

Naftali Porentjo, 56 tahun, salah seorang tetua adat Ngata Toro mengatakan, kesuksesan mereka menjaga hutan adat tidak terlepas dari hadirnya Tondo Ngata, atau polisi adat yang tugasnya melakukan pengawasan hutan adat. Sesuai keputusan musyawarah adat besar, ada 12 orang Tondo Ngata yang ditunjuk oleh lembaga adat. Setiap hari para Tondo Ngata ini melakukan patroli menjaga hutan adat. Hasilnya, kata Naftali, jika dihitung-hitung maka tugas dari Balai Taman Nasional itu tinggal 20 persen saja. Sisanya menjadi kewajiban para Tondo Ngata.

“Bahkan kalau patroli bersama di hutan, petugas dari balai ini sering ketinggalan dari Tondo Ngata. Tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa Tondo Ngata lebih baik dari polisi kehutanan,” ungkap Naftali tersenyum.

Denda Adat Pada Pihak Balai Taman Nasional

Libu Bohe (musyarawah adat besar) bagi masyarakat Ngata Toro amat berperan penting. Seperti hasil Libu Bohe pada tahun 2009 yang mengatur pelarangan pengambilan rotan. Pengambilan rotan oleh warga ternyata dirasa tidak berdampak pada perubahan hidup orang Toro. Pelarangan itu kemudian akan dicabut dan pengelolaan rotan diurus oleh Badan Usaha Milik Ngata.

Sistem pengadilan adat Ngata Toro sangatlah kuat. Ini sudah dirasakan oleh Balai Besar TN Lore Lindu. Ketika itu tahun 2011. Tanpa sepengetahuan lembaga adat, orang balai mengajak warga asing masuk hutan Toro.

“Waktu itu yang diajak dari Jepang dua orang. Bisa jadi mereka turis atau dalam rangka penelitian. Tanpa sepengetahuan lembaga adat mereka masuk daerah Wanangkiki dari Ngata Toro menuju Ngata Katu, dan ternyata hilang selama dua minggu,” kata Mulyanto Lagimpu. Orang Balai lalu meminta bantuan kepada para Tondo Ngata untuk melakukan pencarian. Namun lembaga adat telah memutuskan bahwa ini adalah pelanggaran berat. Beruntung mereka dapat ditemukan. Setelah itu, dilakukan sidang adat dan memutuskan bahwa pihak Balai TN Lore Lindu bersalah karena masuk hutan Toro tanpa izin lembaga adat. Pihak balai pun dikenakan givu atau denda adat.

Padi ditanami di halaman rumah warga di Ngata Toro. Di belakangnya, hutan adat Toro.
Padi ditanami di halaman rumah warga di Ngata Toro. Di belakangnya, hutan adat Toro. Foto: Chris Paino

“Sidang adatnya digelar di Lobo Ngata Toro, dan pihak Balai dikenakan denda yang sudah dirupiahkan sebesar Rp 7,5 juta,” ungkap Kepala Ngata, Mulyanto Lagimpu.

Menurut Naftali Porentjo, di Ngata Toro sanksi adatnya ada tiga; ringan, sedang, dan berat. Untuk yang ringan dikenal dengan istilah; hampulu, hangkau, dan hamu atau denda 1 ekor kerbau, 10 dulang, 1 sarung. Lalu sanksi adat sedang; rompulu, rangkau, rongu atau denda 2 ekor kerbau, 20 dulang, dan 2 sarung. Dan sanksi adat berat; tolungpulu, tolungkau, toluongu atau 3 ekor kerbau, 30 dulang, dan 3 sarung.

“Selain itu kami juga pernah memberikan givu ini kepada anggota TNI yang mengambil kayu di Ngata Toro,” tambah Naftali.

Masyarakat Ngata Toro sangat menjunjung tinggi “Maroho Ada, Manimpu Ngata”. Jika ada warga yang membutuhkan kayu dari hutan untuk pembangunan rumah, maka secara sadar mereka akan menemui lembaga adat. Meminta izin mengambil kayu di hutan.

“Kalau misalkan membangun rumah, maka akan ditanya: rumah baru atau direhab? Nah, mengambil kayu itu disesuaikan dengan kebutuhan rumah,” ujar Naftali.

Karena kearifan yang dimiliki dan hutan adat yang terjaga dengan baik, banyak yang melakukan kunjungan belajar di Ngata Toro kemudian direplikasi ke daerah lain. Tidak hanya dalam negeri, kunjungan belajar juga datang dari masyarakat adat yang datang jauh dari Fhilipina, Amerika Latin, Nepal, Myanmar, dan bahkan Afrika.

“Masyarakat adat dari negara-negara lain banyak yang berkunjung ke sini,” kata Naftali.

Cerita Mistik Sejarah Ngata Toro 

Asal usul Ngata Toro penuh dengan cerita mistik. Mereka sebelumnya berasal dari Malino, sebuah wilayah yang terletak di bagian timur, berbatasan dengan Ngata Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Wilayah ini juga sekarang masuk dalam administrasi Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.

Kejadiannya sekitar satu setengah abad yang lalu. Ketika itu terjadi perang suku. Konon, peristiwa itu dipicu oleh perampasan gasing emas. Ceritanya, anak-anak Malino yang sedang bermain gasing tiba-tiba didatangi oleh seorang anak yang memiliki gasing emas. Dalam permainan itu, anak-anak Malino selalu kalah. Kekalahan itu dilaporkan ke orang tua mereka.

“Orang tua ketika itu heran dengan gasing emas yang diceritakan anak-anak mereka. Karena penasaran, esok harinya mereka meminta anak-anak meladeni permainan gasing emas itu, dan para orang tua mengintip dari jauh. Ternyata memang benar anak itu mempunyai gasing emas. Akhirnya, para orang tua muncul mencuri gasing emas dan membunuh sang anak,” cerita Said Tolao, 65 tahun, salah seorang tokoh adat dan juga menjabat sebagai Tondo Ngata.

Kabar pembunuhan sang anak itu cepat menyebar. Dan yang dibunuh itu ternyata anak Bunian, sang mahluk halus. Tidak berapa lama, para Bunian melakukan pembalasan kepada orang-orang Malino. Para Bunian mendatangi kampung dan membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Dari pembantaian itu, yang tersisanya tinggal tujuh kepala keluarga Malino dan berhasil melarikan diri,” kata Said.

Tujuh kepala keluarga dari Malino ini kemudian hidup berpindah-pindah dan terakhir lari menuju Kulawi dan menetap di sana selama beberapa tahun. Mereka kemudian menghadap Magau, seorang Raja Kulawi, dan meminta kiranya mereka diberikan lahan untuk berkebun dan bertani. Sebagai tanda terima kasih, ketujuh kepala keluarga ini memberikan emas sebesar burung pipit  agar permintaannya dikabulkan oleh Magau.

“Selanjutnya, Magau Kulawi memberikan mereka tempat tinggal di lokasi perburuannya. Tempat tinggal ini kemudian dinamakan Toro, yang artinya sisa. Namun ketujuh kepala keluarga yang tersisa ini kemudian memberikan ganti rugi tujuh butir emas burung pipit kepada Magau Kulawi. Sehingga wilayah Toro bukanlah pemberian dari raja Kulawi, tetapi dibeli,” tandas Said.

Sekarang Ngata Toro telah berkembang menjadi tujuh dusun. Namun tidak hanya orang-orang Toro saja yang hidup di lembah ini. Masyarakat Ngata Toro membuka diri bagi etnis pendatang lainnya. Etnis yang hidup di Ngata Toro seperti Rampi, Toraja, Minahasa, Behoa, Bali, Kaili, Poso, dan Mori.

“Dengan hadirnya etnis lain, maka keragaman budaya dapat mewarnai kehidupan sosial bagi masyrakat di Ngata Toro,” kata Mulyanto Lagimpu, kepala Ngata.

Seperti pepatah orang Toro: maroho Ada, manimpu Ngata, maka kewajiban menjaga adat dan hutan sebagai modal hidup Ngata Toro, meski datang dari etnis manapun dia, akan menciptakan keharmonisan.

Cerita lain tentang Penjaga Hutan Ngata Toro dapat dilihat di sini:

http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/10/07/inilah-kisah-said-tolao-sang-tondo-ngata-penjaga-hutan-adat-toro/

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,