, , ,

Yuk, Berwisata ke Rumah Pohon Saluleang

Jika berkunjung ke Mamuju, Sulawesi Barat, jangan lupa berkunjung ke kawasan wisata mangrove Saluleang. Sebagian warga menyebut kawasan ini,  rumah pohon. Lokasi berada di pesisir pantai, jauh dari keramaian kota, membuat tempat ini nyaman sebagai rekreasi keluarga. Plus fasilitas memancing dan pembakaran ikan dengan harga terjangkau.

Ke tempat ini bisa berkendara pribadi ataupun umum, berjarak 30 km atau sejam perjalanan dari Mamuju, searah perjalanan ke bandara Tampa Padang. Akses cukup mudah karena kondisi jalan mulus beraspal.

Rumah pohon Saluleang sebenarnya bentangan hutan mangrove seluas lima hektar terletak di Kelurahan Bebanga, Kecamatan Kalukku, Mamuju. Ia berdiri setahun lalu dan cukup menarik perhatian. Uniknya, mencapai rumah pohon ini harus melewati jembatan dari bambu yersusun per empat batang 150 meter. Perlu kewaspadaan lebih dan konsentrasi kalau tak ingin terjatuh ke kubangan lumpur bercampur pasir.

Ketika saya ke sini, pertengahan September 2014, pengelola kawasan, Wahid menemani mengelilingi lokasi. “Biasa ramai hari libur, kadang Sabtu,” katanya.

Suara berderak jembatan bambu yang bergoyang membuat perjalanan melewati titian mendorong adrenalin. Kaki harus melangkah perlahan sambil berpegangan erat di pegangan jembatan yang terbuat dari bambu.

Sebelum masuk kawasan terdapat plang pengumuman berisi aturan selamadi sana. Antara lain larangan membuang sampah ke laut dan mematahkan ranting-ranting mangrove.

Memasuki lokasi ini, kata Wahid,  pengunjung membayar Rp2.000 per orang. Belum termasuk biaya gubuk dan fasilitas lain, seperti perahu atau menikmati beragam sajian makanan laut dari keramba setempat.

Sewa perahu hanya Rp10.000 per orang. Pengunjung akan dibawa keliling kawasan. Sewa gubuk Rp30.000-Rp50.000 perhari. Merekapun menyiapkan pembakaran ikan. “Pengunjung bisa membakar sendiri ikan atau bisa kami sediakan.”

Pengelola wisata juga menyediakan makanan bagi pengunjung grup. Untuk paket makanan, terdiri dari berbagai jenis ikan setengah termos dan nasi, lengkap dengan pembakaran dan lauk lain, kena biaya Rp300.000 per paket. “Ikan segar berasal dari karamba. Ada udang dan cumi.”

Karamba merupakan memelihara ikan. Sebelum tempat wisata berdiri, karamba sudah ada dan menjadi sumber penghasilan Munajib (35), pemilik kawasan itu. Munajib sendiri nelayan  yang aktif di berbagai kegiatan sosial.

Kawasan ini ternyata menjadi tempat favorit bagi pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Mereka biasa datang rombongan. Karena masih baru, sebagian besar dari Mamuju dan sekitar.

Kawasan wisata mangrove Saluleang Mamuju, Sulawesi Barat, berjarak sekitar 30 km atau sejam dari Mamuju. Didirikan bukan sekadar sebagai tempat wisata juga dalam turut menjaga garis Pantai Mamuju dari ancaman abrasi. Foto: Wahyu Chandra
Kawasan wisata mangrove Saluleang Mamuju, Sulawesi Barat, berjarak sekitar 30 km atau sejam dari Mamuju. Didirikan bukan sekadar sebagai tempat wisata juga dalam turut menjaga garis Pantai Mamuju dari ancaman abrasi. Foto: Wahyu Chandra

Wisata mangrove ini mulai dibangun Januari 2013. Menurut Munajib, ide ini sebagai wisata pesisir sudah lama, namun baru terealisasi setahun silam. Dia terkesan dengan wisata sama di Bali.

Munajib juga prihatin akan kondisi abrasi di sepanjang Pantai Mamuju. Padahal, keberadaan mangrove tidak hanya penting dalam menjaga eksistensi kawasan pesisir, juga menjaga berbagai biota laut di sana.

“Mangrove itu menjadi tempat hidup berbagai biota laut, seperti ikan, udang dan kepiting. Meski selama ini menjadi sumber pencaharian warga namun kesadaran menjaga mangrove sangat kurang. Penebangan mangrove masih kerap terjadi.”

Keprihatinan Munajib beralasan. Sebagai daerah baru, kawasan pesisir Mamuju berada dalam ancaman reklamasi pelebaran pelabuhan dan kota. Kawasan-kawasan pesisir banyak beralih fungsi menjadi pusat bisnis dan perhotelan.

Dengan membangun kawasan wisata ini, Munajib bermimpi kelak tempat itu tidak hanya bermanfaat bagi pelestarian mangrove juga peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Kawasan ini dulu hamparan hutan mangrove kurang terawat. Kondisi ini bisa terlihat dari puluhan pohon di bagian masuk kawasan sudah kering. Perlahan Munajib menanami kawasan peninggalan ini.

Dia mengatakan, perlu waktu bertahun-tahun merehabilitasi hingga menjadi seperti sekarang.

Ke depan, Munajib berencana menanam sejumlah spesies mangrove yang bisa diolah menjadi berbagai macam bahan makanan. “Bulan lalu saya ikut pelatihan pembuatan makanan berbahan mangrove. Semoga bisa menjadi tambahan penghasilan warga,” katanya.

Dia juga berencana membangun rumah makan lebih besar dan berharap lebih banyak warga sekitar mendapat manfaat dengan ada kawasan ini “Semoga kelak warga bisa lebih sejahtera dengan menjaga mangrove.”

Wahid mengatakan, kawasan ini akan ramai pada  hari libur. Pengunjung bisa menikmati hembusan angin laut di atas gubuk-gubuk beratap daun kelapa kering. Foto: Wahyu Chandra
Wahid mengatakan, kawasan ini akan ramai pada hari libur. Pengunjung bisa menikmati hembusan angin laut di atas gubuk-gubuk beratap daun kelapa kering. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,