,

Gubernur Kalbar: Pengusaha Sawit Sengaja Benturkan Polisi dengan Warga

Gubernur Kalimantan Barat Cornelis meradang. Di tengah-tengah ratusan pengusaha perkebunan kelapa sawit, orang nomor wahid di provinsi itu menuding pengusaha sawit terlalu angkuh menjalankan roda bisnisnya. Bahkan, mereka sengaja membenturkan aparat kepolisian dengan masyarakat melalui berbagai skenario.

Hal itu disampaikan Cornelis menjawab pernyataan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joefly J. Bahroeny yang menyebut tidak ada perusahaan sawit yang membakar lahan. Bahkan, perkebunan kelapa sawit dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar konsesi.

“Kalau ada yang menyebut tidak ada perusahaan sawit di Kalbar yang bakar lahan, itu bohong. Ada perusahaan sawit bakar lahan. Itu laporan intelijen saya. Caranya, warga yang disuruh bakar. Jika ketahuan, maka warga itu yang ditangkap polisi,” kata Cornelis mengawali sambutannya pada seminar sehari di Pontianak bertema Kepastian dan Perlindungan Hukum dalam Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat, Rabu (29/10/2014).

Menurutnya, pengusaha sawit di Kalbar terlalu sombong dan serakah. Jika diberi lahan konsesi 20 ribu hektar, semuanya digarap. Padahal di dalamnya ada perkampungan, ada kuburan, dan tempat keramat, yang seharusnya tak boleh digarap.

Kehadiran Cornelis dalam ajang seminar bagi para pengusaha sawit ini, di luar dugaan banyak pihak. Sebelumnya, Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya yang hadir untuk membuka kegiatan itu. Belakangan, Cornelis tiba-tiba hadir dan membeberkan sejumlah persoalan sawit yang ada di Kalbar.

Hal lain yang mendapat sorotan tajam gubernur adalah sepak terjang BUMN seperti PTPN XIII yang dinilai seringkali menggunakan kekuasaan untuk menguasai lahan. Perusahaan sawit umumnya juga tidak transparan dalam menjalankan program CSR-nya.

Dia menolak tudingan Pemda menghambat laju investasi perkebunan kelapa sawit di Kalbar. “Pemda sama sekali tidak pernah menghambat. Kita hanya mengatur pengelolaan kebun melalui sejumlah regulasi. Termasuk peraturan daerah,” urai Cornelis.

Dicontohkan, dalam menjalankan bisnisnya kewajiban perusahaan adalah membentuk kebun plasma. Tapi aturan itu ditabrak, dan kebun plasma tidak dijalankan. Buntutnya, ketika masyarakat menggunakan lahannya, dibenturkanlah dengan aparat kepolisian.

Atas dasar itu, Cornelis mengajak para pengusaha untuk melihat tanah dari berbagai perspektif. Misalnya, tanah dari aspek politik, administrasi negara, sosial, ekonomi, dan hukum formal. “Jangan melihat tanah itu dengan kacamata kuda. Mata ditutup, lalu disuruh lari kencang. Kampung orang pun masuk dalam hak guna usaha tak nampak,” urainya.

Berkaitan dengan aspek politik, terang Cornelis, negara itu menguasai tanah, air, dan udara untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat. Lalu aspek administrasi negara, tanah itu harus dikelola dengan benar. Artinya, tanah kelola masyarakat harus dilepaskan dari beban konsesi, sebab Mahkamah Konstitusi juga sudah mengakui hak-hak masyarakat adat.

Kemudian, dari aspek sosial, Cornelis menjelaskan bahwa tanah memiliki fungsi sosial untuk berbagai kepentingan seperti jalan, sekolah, rumah ibadah, dan sejumlah kebutuhan yang berhubungan dengan masyarakat. Bukan sekadar ganti rugi tanam tumbuh seperti yang dilaksanakan sekarang.

Sementara dari aspek ekonomi dan hukum formal, dia minta agar perusahaan perkebunan kelapa sawit membentuk tim untuk bernegosiasi dengan masyarakat. Sebab, keberadaan masyarakat juga diakui oleh hukum. “Saya juga ingatkan agar polisi jangan mau dibenturkan dengan masyarakat,” pintanya.

Sekarang, jelas Cornelis, semua IUP sudah dia tahan lantaran banyaknya perusahaan yang urung membentuk kebun plasma. “Pengusaha terlalu serakah, hanya mau makan sendiri. Khusus untuk sawit, cukuplah yang ada sekarang. Benahi dulu yang ada. Industri turunannya saja tak dibangun seperti pelabuhan atau industri hilir. Malah bikin bank sendiri,” jelasnya.

Rentetan perkara itu yang mengantar amarah Cornelis kepada para pengusaha sawit di Kalbar. “Bahkan, untuk mengekspor CPO-nya pun, Sinar Mas di Kapuas Hulu membuka jalur sendiri ke Malaysia. Tapi itu sudah saya cegah karena melanggar kedaulatan negara. Kalau jalan yang dibuat pemerintah di bawah standar, silakan disampaikan dan kita akan perbaiki. Sekarang, akses Sinar Mas itu saya tutup,” tegasnya.

Masyarakat adat di Kecamatan Empanang, memasang rambu-rambu ancaman jika ada pihak yang mengelola kawasan adat Iban di Desa Bajau Andai. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat di Kecamatan Empanang, memasang rambu-rambu ancaman jika ada pihak yang mengelola kawasan adat Iban di Desa Bajau Andai. Foto: Andi Fachrizal

Warga sita 12 alat berat Sinar Mas

Bukan tanpa alasan jika Gubernur Cornelis gencar menyerang pengusaha kelapa sawit, lantaran tata kelola yang dinilai banyak melanggar prinsip-prinsip berkelanjutan. Kisruh teranyar terjadi pada 17 April lalu. Kala itu, warga perbatasan Indonesia – Malaysia di Desa Bajau Andai dan Tintin Peninjau, Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menyita 12 unit alat berat milik PT. Kapuas Palm Industry (KPI). Anak perusahaan perkebunan sawit milik Sinar Mas Group ini dituding menggarap wilayah adat dua desa tersebut.

Sekretaris Desa Bajau Andai, Markus (35), dikonfirmasi melalui selularnya, Selasa (28/10/2014) melaporkan hingga saat ini alat berat itu masih tertahan di Desa Bajau Andai. “Belum ada penyelesaian dari pemerintah. Kami menghentikan paksa operasional alat berat itu karena masuk ke wilayah Bajau Andai dan Tintin Peninjau, tanpa sepengetahuan warga setempat,” katanya.

Menurut Markus, lahan yang digarap PT. KPI itu adalah lahan adat masyarakat. Kayu-kayunya sangat besar. Masyarakat juga sudah mendedikasikan lahan itu sebagai kawasan konservasi mengingat posisinya yang masih menjadi penyangga Taman Nasional Danau Sentarum.

Kendati demikian, Markus mengakui wilayah seluas kurang lebih 800 hektar masih berbatasan dengan Desa Keliang Panggau. “Kalau di desa seberang kami tidak urus. Tapi, karena sudah ada belasan alat berat PT. KPI masuk ke wilayah kami dan beroperasi menebangi serta membersihkan lahan, terpaksa semua alat itu kami sita,” katanya.

PT. KPI beroperasi di wilayah Kecamatan Empanang dan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu di atas areal konsesi seluas 18 ribu hektar. Bupati Kapuas Hulu, AM Nasir urung menanggapi serius ikhwal penyitaan alat berat itu.

“Hingga saat ini Tim Pembinaan dan Pengembangan Perkebunan Kabupaten (TP3K) Kapuas Hulu masih berusaha menyelesaikan kasus itu. Prinsipnya, ini persoalan yang tidak terlalu krusial,” katanya di Pontianak, Rabu (29/10/2014).

Menurut Nasir, masalah yang terjadi di Kecamatan Empanang itu hanya sebatas konflik antara desa yang satu dengan desa lainnya. “Memang ada konflik tata batas desa di sana. Tapi, mudah-mudahan dalam waktu dekat, masalah tersebut bisa terselesaikan dengan baik,” ucapnya.

Hamparan kebun sawit milik PT Kapuas Palm Industry (Sinar Mas Group) yang menguasai lahan konsesi seluas 18 ribu hektar di Kecamatan Empanang dan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Hamparan kebun sawit milik PT. Kapuas Palm Industry (Sinar Mas Group) yang menguasai lahan konsesi seluas 18 ribu hektar di Kecamatan Empanang dan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,