, ,

Buah Tangan dari Hutan Adat Rantau Kermas

Jari-jemari Saodah (42) bergerak lincah menganyam jalinan pandan menjadi sebuah tas pilin yang menarik. Setiap sore perempuan yang disapa Mak Ade ini berkumpul bersama ibu-ibu kelompok pengajian di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi.

Mereka biasanya akan mengerjakan beberapa tas, dompet bahkan alas kaki dari anyaman pandan dan bambu untuk mengisi waktu luang setelah hampir seharian berkutat di sawah. Sepulang dari sawah, Saodah akan mengambil bahan baku di pinggir hutan yang saat ini telah menjadi Hutan Adat Rantau Kermas.

Sudah hampir dua tahun, Saodah beserta kelompok ibu-ibu pengajian di Desa ini memproduksi berbagai anyaman dari pandan dan bambu. Pesanan pun silih berganti berdatangan. Bahkan kelompok ibu-ibu ini juga akan melakukan kerjasama dengan beberapa hotel lokal untuk memasok alas kaki. Setiap hari mereka mampu menghasilkan sekitar 25 pasang alas kaki.

Kelompok ibu-ibu pengrajin di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : Elviza Diana
Kelompok ibu-ibu pengrajin di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : KKI Warsi

Selain melayani pesanan yang datang, mereka juga menjual langsung berbagai hasil anyamannya ke pasar di Danau Pauh. Dengan menggunakan kendaraan bermotor dengan menempuh perjalanan 45 menit saja, Saodah sudah dapat menggelar barang dagangannya.

Harga yang dipatok untuk setiap tas dan dompet pun cukup terjangkau. Untuk setiap tas dipatok dengan kisaran Rp 50-100 ribu sesuai dengan model dan ukurannya. Sementara untuk dompet hanya dengan membayar Rp 10 ribu, sudah bisa terbeli.

Dan siapa yang menyangka hanya bermodalkan pandan, bambu dan rotan dari hutan ditambah keahlian, Saodah mampu meraup pendapatan Rp3 – 4 juta setiap bulannya. Meskipun produksi dan pemasarannya sudah baik, namun Saodah bercerita ada beberapa kendala yang masih mereka hadapi. Ketidaktersediaan beberapa bahan pelengkap untuk memproduksi kerajinan anyaman menjadi masalah setiap kali mereka mendapatkan pesanan yang cukup banyak.

“Misalnya saja untuk spon dan lem yang digunakan kami masih harus pesan dari Jawa. Jadi kalau ado pesanan sandal dalam jumlah banyak, kami susah juga untuk mengerjakannya”, lanjutnya.

Menghidupkan Tradisi Menganyam

Kegiatan menganyam bukan menjadi hal baru bagi masyarakat di Desa Rantau Kermas. Hampir rata-rata perempuan yang sudah beranjak dewasa bisa menganyam. Meskipun hanya membuat sebuah kipas, ataupun tikar, para perempuan remaja memang dituntut dapat menganyam sebelum menikah.  Tapi sedikit berbeda dengan peralatan yang mereka gunakan menganyam pandan dan bambu yang sudah mereka ketahui. Kali ini anyaman bisa berubah menjadi tas, dompet serta alas kaki yang menarik.

Seorang ibu pengrajin sedang menjahit tas di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : Elviza Diana
Seorang ibu pengrajin sedang menjahit tas di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin, Jambi. Foto : KKI Warsi

“Dari dulu kami sudah terbiasa menganyam tikar, tapi sekarang kami sudah bisa membuat tas pilin, dompet dan sandal”, ungkap Saodah.

Rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari  keterampilan menganyam juga turut memudarkan budaya ini di tengah masyarakat. Kemajuan teknologi dengan menghasilkan tikar-tikar plastik yang murah dan menarik mengganti tikar anyaman, membuat anyaman jarang disentuh lagi.

“Kami berharap dengan adanya pelatihan menganyam ini, anak-anak muda di kampung kami bisa menganyam lagi. Jadi kalau kami yang tuo-tuo ini dak ado lagi, mereka yang melanjutkan tradisi menganyam ini,” kata Saodah.

Melihat kondisi ini, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mulai menghidupkan kembali tradsi menganyam di tengah-tengah masyarakat. Hingga saat ini sudah hampir delapan desa di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Muara Bungo yang sudah mendapatkan pelatihan menganyam.

“Setidaknya kita sudah melakukan pelatihan menganyam ini di beberapa desa di Kabupaten Merangin, diantaranya di Renah Alai, Rantau Kermas, Batang Kibul, Guguk dan Beringin Tinggi. Sementara di Kabupaten Bungo, ada di Desa Senamat Ulu, Sungai Mengkuang dan Lubuk Beringin”, sebut Ridwan Firdaus selaku Spesialis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) KKI Warsi.

Pemilihan desa-desa tersebut lebih diutamakan terkait dengan ketersediaan bahan baku yang memang banyak terdapat di daerah tersebut. Pelatihan menganyam ini juga dikatakan Ridwan sebagai upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber HHBK  yang saat ini masih rendah dilakukan masyarakat. “Pelatihan kerajinan ini sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber hasil hutan non kayu. Diharapkan ini dapat berkembang menjadi sebuah usaha industri kerajinan. Minimal produk-produknya dapat menjadi souvenir,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,