,

Konflik Agraria di Kabupaten OKI Tinggi Karena Status Lahan Tidak ‘Clear and Clean’: Anwar Sadat

Anwar Sadat terdiam setelah mendengar kabar Pengadilan Negeri Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang menolak gugatan PT Sumber Wangi Alam (SWA) dan eksepsi masyarakat Desa Sungai Sodong yang menjadi tergugat.

“Terus-terang dengan keputusan tersebut, pemerintah memiliki tugas yang sangat berat. Mereka harus melakukan mediasi, sehingga konflik berdarah yang terjadi pada April 2011 yang menyebabkan tujuh orang tewas, tidak terulang lagi,” jelas Anwar Sadat, mantan Direktur Walhi Sumsel yang kini aktif memimpin Serikat Petani Sriwijaya (SPS) kepada Mongabay Indonesia akhir November lalu.

Menurutnya keputusan pengadilan akan berpotensi memperpanjang konflik antara masyarakat dengan perkebunan sawit tersebut.

Konflik antara warga Desa Sungai Sodong dengan PT SWA merupakan satu dari puluhan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan di Kabupaten OKI yang belum terselesaikan. Konflik warga Desa Sungai Sodong yang terletak di Kecamatan Mesuji, dengan PT SWA meletus pada tahun 2011 yang lalu.

“Ini tugas berat bagi (Bupati) Iskandar yang baru setahun memimpin Kabupaten OKI. Tapi jika dia mampu menyelesaikan berbagi kasus tersebut, itu merupakan prestasi yang luar biasa di mata masyarakat,” ujarnya. Kabupaten Ogan Kemiring Ilir (OKI) sendiri merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang terdapat banyak perusahaan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan dan HTI.

***

Dalam pandangan Anwar Sadat, persoalan konflik masyarakat akar rumput tidak bisa dilepaskan dari persoalan yang lebih besar yaitu pemberian izin konsesi kepada perusahaan tanpa adanya batas-batas konsesi yang jelas, dan tanpa ada penjelasan terlebih dahulu kepada masyarakat secara jujur dan adil.

Hal itu yang membuat Sadat mendukung aksi masyarakat untuk mempertahankan lahan miliknya. Salah satunya di Kecamatan Pangkalan Lampam dan Tulung Selapan OKI, dimana tujuhbelas desa berkonflik dengan PT Bumi Sriwijaya Sentosa (BSS), satu perusahaan perkebunan tebu.

“Perlawanan masif dilakukan warga karena realitasnya perencanaan perkebunan tebu mengancam secara langsung areal perkebunan rakyat yang selama ini menopang ekonomi setempat,” ujar Sadat.

Saat itu aksi masa lumayan besar, sekitar delapan ribuan warga mendatangi Bupati OKI untuk menuntut pencabutan izin lokasi perkebunan, aksi massa juga mendatangi kantor Gubernur Alex Noerdin untuk meminta agar Gubernur mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati OKI untuk mencabut izin lokasi PT BSS. Massa juga menuntut BPN Sumsel untuk tidak mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU). Tuntutan warga pada akhirnya disetujui.

Daftar Sengketa/ Konflik Tanah antara Warga dengan Perusahaan di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan:

  1. Masyarakat Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji dengan PT SWA,
  2. Masyarakat Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan dengan PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML),
  3. Masyarakat Kecamatan Cengal dan Sungai Menang dengan PT London Sumatera (Lonsum),
  4. Masyarakat Desa Cipta Sari, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Tania Selatan,
  5. Masyarakat Desa Mataram Jaya dan Kemang Indah dengan PT AEK Tarum,
  6. Masyarakat Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan dengan PT Maha Indo,
  7. Masyarakat Desa Sidomulyo, Kecamatan Sungai Menang dan Sungai Tepuk dengan PT Telaga Hikmah IV
  8. Masyarakat Desa Purwosari, Kecamatan Lempuing dengan PT Tania Selatan,
  9. Masyarakat Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur dengan PT Tempirai Palm Respurces,
  10. Masyarakat Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran dengan PT Rambang Agro Jaya,
  11. Masyarakat Desa Sungai Menang, Kecamatan Sungai Menang dengan PT Mutiara Bunda Jaya,
  12. Masyarakat Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Menang dengan PT Russelindo Putra Prima,
  13. Masyarakat Sungai Menang dengan PT Pratama Nusantara Sakti,
  14. Masyarakat Desa Sungai Belida, Kecamatan Lempuing dengan PT Buluh Cawang Plantation,
  15. Masyarakat Desa Bumi Makmur, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Waimusi Agro Indah,
  16. Masyarakat Desa Pedamaran V, Kecamatan Pedamaran dengan PT Rambang Agro Jaya,
  17. Masyarakat Desa Balian, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Gunung Tua Abadi,
  18. Masyarakat Desa Rantau Durian I, Kecamatan Lempuing Jaya dengan PT Mutiara Bunda Jaya,
  19. Masyarakat Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan dengan PT Gading Cempaka Graha, PT Tempirai Palm Resources dan PT Waringin Agro Jaya.
  20. Masyarakat Desa Mulya Jaya, Desa Karya Mukti, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Mesuji Raya dengan PT Sinar Sasongko,
  21. Masyarakat Pedamaran dengan PT Sampoerna Agro,
  22. Masyarakat Desa Mukti Air Sugihan, Kecamatan Air Sugihan dengan PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML).

Sumber: Walhi Sumsel  

Tidak hanya sekali Sadat mendampingi kelompok-kelompok masyarakat yang haknya terenggut. Pada tahun 2006, dia dan Walhi mengadvokasi konflik lahan warga Desa Riding dengan perusahaan pemasok HTI  Sinar Mas Group yaitu PT Bumi Mekar Hijau. Pada tahun 2010 dia mendampingi masyarakat Desa Sidomulyo, Kecamatan Tungkal Ilir yang berkonflik dengan PTPN VII Betung terkait sengketa lahan transmigrasi bersertifikat oleh perusahaan perkebunan tersebut sejak 2001.

Pada 2010, Sadat mendampingi masyarakat Desa Nusantara, OKI yang mempertahankan lahan pangan seluas 1.200 hektar dari PT. Selatan Agro Makmur Lestari (SAML) yang menyatakan memiliki HGU di atas lahan tersebut.

“Keberadaan perusahaan ini akan menghancurkan tata sosial dan ekonomi masyarakat setempat, termasuk lahan gambut. Selain norma hukumnya, terbitnya HGU ini tak melalu proses yang clean and clear di atas tanah masyarakat tersebut. Juga tidak ada sosialiasi, tak ada izin peralihan hak atas tanah rakyat tersebut,” jelas Sadat coba berargumentasi tentang duduk persoalan.

Bekerja mengadvokasi lahan masyarakat pernah membuat Sadat dibui selama tujuh bulan  di Rumah Tahanan Pakjo Palembang. Saat itu dia dianggap melakukan tindakan perusakan pagar Markas Polda Sumsel, saat bersama dengan warga petani 17 desa melakukan aksi menuntut tanah yang disengketakan dengan PTPN VII Cinta Manis.

Keberhasilan advokasi tampaknya menjadi obat mujarab perjuangan, seperti saat warga Jermun, Kecamatan Pampangan akhirnya diperkenankan oleh pemerintah Kabupaten OKI untuk memperoleh lahan enclave setelah sarat berkonflik dengan pihak perusahaan.

Anwar Sadat dan Dedek Chaniago saat mengikuti persidangan di PN Palembang tahun 2013. Keduanya dijerat hukum karena dinilai merusak Mapolda Sumsel saat aksi menuntut pembebasan petani Ogan Ilir. Foto Norman Cegame_Walhi Sum
Anwar Sadat (kanan) dan Dedek Chaniago (kiri) saat mengikuti persidangan di PN Palembang tahun 2013. Keduanya dijerat hukum karena dinilai merusak Mapolda Sumsel saat aksi menuntut pembebasan petani Ogan Ilir. Foto Norman Cegame/Walhi Sumsel

Petani Harus Sejahtera di Lahannya

Agenda lain yang penting paska konflik adalah bagaimana petani dapat mengolah lahan tersebut dengan optimal. “Banyak petani kebingungan setelah lahan didapat. Mereka akhirnya memilih tanaman tidak baik bagi lingkungan gambut seperti sawit, dan tidak berorientasi pangan,” kata Sadat.

Artinya, agenda kerja kedepan bukan lagi sebatas aksi protes dan pendudukan lahan, tetapi mengembangkan pengetahuan pertanian dan perkebunan, serta membangun organisasi petani yang lebih mapan dan modern sehingga menunjang ketahanan pangan, kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan petani.

“Petani harus sejahtera, dan juga di depan menjaga kelestarian lingkungan, seperti menjaga hutan dan lahan gambut,” pungkas Sadat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,