,

Raichul Amar, Sosok Ulama Peduli Lingkungan Dari Bukittinggi

Ketika para sarjana agama telah banyak menjadi penyambung lidah nabi dalam menyiarkan agama, ulama yang satu ini lebih memilih menyiarkan agama melalui kegiatan-kegiatannya dibidang lingkungan. Bagi dia masalah lingkungan sangat dekat kaitannya dengan moralitas. Maka berdakwah dalam menyeru manusia untuk peduli lingkungan merupakan hal yang langka dilakukan oleh para ulama lainnya.

Dialah Drs. Raichul Amar, MPd (66), seorang pendakwah dan dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat.  Ulama lingkungan peraih penghargaan Kalpataru 2000. Pria kelahiran Bukittinggi, 10 November 1945 ini, sejak kecil telah akrap dengan alam. Sebagai anak kampung, masih jelas diingatannya tentang hamparan sawah-sawah, ladang-ladang serta hijaunya perbukitan disekeliling desanya. Saking akrabnya dengan alam, diah hafal nama hampir seluruh bukit yang berada di Bukittinggi.

Seiring dengan berkembangnya zaman, hamparan sawah, lahan-lahan hijau tersebut disulap menjadi bangunan-bangunan permanen. Bahkan Jam Gadang, jam tertinggi di kota Bukittinggi itu telah kalah tingginya dengan bangunan hotel dan bangunan bertingkat lainnya. Masih segar dalam ingatannya bahwa jam gadang yang dapat dipandang dari empat arah itu terlihat jelas dari kampungnya pada tahun 1955.

Suatu ketika dia pulang kampung ke Bukittinggi, ia melihat kegiatan penambangan pasir di Bukit Cimpago Ipuh untuk pembuatan batako. Ia terperangah melihat bukit-bukit digali, alam dirusak akibat oleh masyarakat setempat. Lantas ia mencoba mengabadikan kegiatan tersebut dengan kameranya.

Aksinya diketahui oleh para penambang pasir dan pembuat batako tersebut dan tidak senang dengan pemotretan yang dilakukannya. Mereka mengira seorang wartawan sedang melakukan liputan atas aktifitas penambangan yang tak berizin itu. Mereka berusaha merebut kameranya. Walau telah dijelaskan dia bukan wartawan, namun tetap saja mereka tidak percaya dan bersikeras meminta roll film dan kamera itu diserahkan. “Untung saja masyarakat lainnya datang melihat kerumunan kami dan akhirnya saya dapat lepas dari amukan penambang itu,” ungkap pria yang akrap disapa Pak Men itu saat diwawancarai Mongabay (29/11) dirumahnya. Dia memang aktif mendokumentasikan setiap peristiwa lingkungan melalui kamera foto berbaterai AAA itu.

Ia teringat satu peristiwa yang berkesan, yaitu setelah melaksanakan sholah Idul Fitri di halaman kantor gubernur Sumbar pada tahun 1984. Ia menyaksikan tumpukan sampah koran alas sajadah berserakan, yang tidak pungut kembali oleh jamaah. Padahal khatib berapi-api menyeru jamaah untuk menjaga kebersihan guna meningkatkan keimananan. Selanjutnya ia melihat seorang anak kecil berbaju koko, berdiri disamping tumpukan koran yang dikumpulkan ayahnya. Sepertinya koran itu akan mereka jual untuk tambahan uang lebaran.

Sejak tahun 1984, pria berkacamata ini telah mengabadikan kecintaannya terhadap lingkungan. Ia kerap menulis artikel, opini dan puisi-puisi lingkungan yang dimuat di berbagai media cetak, majalah dan jurnal ilmiah di Padang. Sebagian besar artikel yang ditulisnya berasal dari pengamatannya mengenai persoalan lingkungan yang ditemui di berbagai tempat.

Saat ini ia telah menghasilkan 100 buah lebih artikel dan 28 buah buku pembelajaran mengenai lingkungan, kumpulan puisi dan ceramah agama, 2000 buah foto lingkungan yang dicetak dalam ukuran 10R, serta lebih dari 20.000 buah foto dalam ukuran 3R.

Banyak cara untuk mencintai lingkungan

Berawal dari hobi memotret peristiwa lingkungan hingga menjadikannya sebagai seorang pendakwah lingkungan. Kegiatannya ini sangat relevan dan dipandang cocok dengan profesinya sebagai dosen di Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang.

Ia kerap menyelipkan kampanye lingkungan dengan menampilkan foto-foto lingkungan dalam proses belajar mengajar dan kepada pegawai serta rekan dosen pada kegiatan di kampusnya. Ia juga aktif dalam pameran foto lingkungan di berbagai tempat, baik di kampusnya, maupun di luar kota Padang.

Ia juga menyelipkan pesan-pesan lingkungan saat berkhutbah jumat, ceramah atau pengajian di berbagai tempat.

Bahkan saat resepsi pernikahan anak pertamanya, Ramel Yanuarta di tahun 2000, amplop undangan di desain berwana hijau daun, dihiasi oleh foto-foto kerusakan lingkungan yang diperolehnya dari berbagai tempat dan sebuah puisi sebagai bentuk kepedulian lingkungan.

Resepsi pernikahan itu dilangsungkan di gedung Aula IAIN Imam Bonjol, ruangan dihiasi oleh pajangan foto-foto lingkungan hidup berbagai ukuran. Umumnya berukuran 10R dan foto-foto tersebut merupakan foto yang sering dipajang dalam pameran foto lingkungan yang diikutinya.

Adapun cenderamata acara, sengaja disiapkan berupa tiga buah biji pohon mahoni dan berharap para undangan yang hadir untuk menanam di lingkungan masing-masing.

Biji pohon itu dibungkus dalam kertas yang berisikan pesan : Andaikata kita menanam biji pohon ini dan Allah berkenan menumbuhkannya, belum sebanding dengan jumlah pohon yang sudah kita tebang di negeri ini. Namun kepedulian kita terhadap lingkungan sudah saatnya dalam bentuk nyata, terima kasih.”

Beberapa hari setelah perhelatan itu, beberapa tamu undangan memberi kabar bahwa biji pohon yang diberikan tersebut sudah ditanam.

Menurutnya, masalah lingkungan merupakan tanggungjawab semua orang. Memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan hidup merupakan seruan kepada kebaikan. Sedangkan mencegah terjadinya pencemaran, penebangan hutan,  pembakaran lahan, kerusakan lahan akibat penambangan merupakan larangan kepada kemungkaran. Kedua tugas ini wajib dilakukan oleh setiap muslim.

Kerusakan di hutan, rusaknya laut, tercemarnya sungai dan udara serta rusaknya lahan-lahan produktif, akibat ulah manusia. Inilah yang menjadi alasan yang kuat baginya untuk aktif berdakwah menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan hidup, upaya-upaya pelestarian yang mungkin dilakukan oleh masyarakat dan sikap kepedulian yang sungguh-sungguh.

Dia berharap ulama tidak hanya berbicara tentang keimanan, karena ulama yang berdakwah di bidang lingkungan, masih dapat dihitung dengan jari.

Meraih Kalpataru

Pada tahun 2000, dia diundang ke kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Propinsi Sumbar, guna membicarakan segala sesuatu mengenai pencalonannya sebagai penerima penghargaan Kalpataru berdasarkan rekomendasi dari penjaring Kalpataru Sumbar.

Peraih Kalpataru Raichul Amar memeluk piala penghargaan Kalpataru yang diperolehnya pada tahun 2000. Foto: Riko Coubut
Peraih Kalpataru Raichul Amar memeluk piala penghargaan Kalpataru yang diperolehnya pada tahun 2000. Foto: Riko Coubut

Maka dikumpulkanlah 100 artikel mengenai lingkungan yang pernah terbit di berbagai media, 3.342 foto ukuran 3R dan 250 buah ukuran 10R, 2 buah buku berisi tulisan mengenai lingkungan, sebuah buku puisi dan foto lingkungan untuk dibawa diserahkan dalam pertemuan tersebut.

Setelah melakukan wawancara dan memeriksa kelengkapan seluruh dokumen kegiatan mengenai lingkungan, Bapedalda menetapkan Raichul sebagai calon peraih Kalpataru dari Sumbar.

Tim penilai dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) didampingi pegawai Bapedalda Sumbar datang mengunjungi rumahnya. Banyak pertanyaan yang dilontarkan seputar bahan-bahan yang telah dikirimkan sebelumnya. Tim KLH juga melakukan wawancara terkait dengan kegiatan lingkungan yang pernah dilakukan beserta dampaknya kepada masyarakat dan lingkungan itu sendiri.

Tim itu juga mendatangi kampus IAIN Imam Bonjol untuk mewawancarai pegawai, dosen dan mahasiswa mengenai aktifitas Raichul terhadap kegiatan lingkungan yang dilakoninya.

Akhirnya pada 2 Juni 2000, Bapedalda Sumbar memberikan kabar bahwa dia lulus dalam nominasi penerima penghargaan Kalpataru dan diundang datang ke Istana Negara di Jakarta.

Pada tanggal 5 juni 2000, dilaksanakan penyerahan penghargaan Kalpataru kepada 11 orang yang terbagi kedalam empat kategori, yaitu perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan dan pembina lingkungan. Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, langsung menyerahkan penghargaan tersebut kepada masing-masing penerima.

Sudah tiga penghargaan Kalpataru yang diraihnya, mulai dari penghargaan Kalpataru tingkat Kota Padang ditahun 1991 dalam kategori pengabdi lingkungan, penghargaan nominasi Kalpataru tingkat propinsi di tahun 2000 dalam kategori perintis lingkungan dan penghargaan Kalpataru tingkat nasional tahun 2000 dalam kategori pembina lingkungan.

Setelah meraih penghargaan Kalpataru, Raichul mendirikan rumah baca lingkungan. Di bagian depan rumahnya disusun berbagai buku-buku lingkungan, di dindingnya dipajang foto-foto lingkungan. Hampir 3000 buku menjadi koleksinya.

Layaknya pustaka, dia berharap rumah bacanya dapat menjadi referensi bagi setiap orang dalam pembelajaran permasalahan lingkungan. Semenjak rumah baca ini dibuka, warga setempat cukup antusias datang dan membaca. Mereka yang datang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga, yang melihat-lihat koleksi fotonya dan sedikit yang membaca buku-buku lingkungan itu.

Namun berbeda bila yang datang anak-anak sekolah atau mahasiswanya. Mereka lebih banyak membaca dan berdiskusi mengenai lingkungan dan karya-karyanya.

Rumah bacanya hanya dibuka saat dia sudah pulang dari kegiatan mengajar di kampus, karena belum ada yang menjaganya. Namun saat dia sudah pensiun, rumah baca ini selalu terbuka dari pagi sampai sore.

Disisi lain, ia sedikit kecewa dengan pemerintah. Kalpataru hanya sebatas seremonial belaka, tidak ada tindak lanjut yang jelas mengenai kegiatan apa yang dapat disinergikan bersama pemerintah. “Pemerintah tidak pernah berkomunikasi dengan kami sebagai peraih penghargaan kalpataru di Sumatera Barat, apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal, apakah mereka masih beraktifitas atau sudah menjadi pembalak liar dan lain-lain,” tegas Raichul.

Peraih Kalpataru adalah pahlawan lingkungan, seharusnya pemerintah meningkatkan pembinaan para peraih agar dapat memicu semangat kalpataru kepada masyarakat lainnya. Melakukan monitoring terhadap aktiftasnya, melibatkan dalam berbagai kegiatan dan acara-acara lingkungan serta jika perlu diberi dukungan biaya usaha.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,