,

Pembangunan di Kabupaten Buol Harus Berorientasi Pangan Rakyat, Bukan Sawit!

Bupati Buol Amiruddin Rauf, melalui kebijakan terbarunya “Tanah untuk Rakyat” atau Taurat, menolak perusahaan sawit yang akan investasi di Kabupaten Buol. Diharapkan, aturan tersebut bukan untuk kepentingan para pemilik modal. Foto: Rhett Butler

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra) Sulawesi Tengah, sangat mendukung dan mengapresiasi kebijakan Bupati Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, yang membuat program Tanah untuk Rayat atau Taurat. Program yang membagikan tanah kepada masyarakat Buol dengan prioritas masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan.

Namun Agra Sulteng, melalui koordinatornya, Laode Nur Alim, mengatakan bahwa program tanah untuk rakyat yang kemudian ditanami sawit itu, bukanlah jawaban atas masalah meningkatnya kebutuhan hidup yang dihadapi masyarakat.

“Harusnya, pembangunan di Buol itu berorientasi pada lahan pangan rakyat. Apalagi dalam kampanye pemilihan kepala daerah lalu, program bupati yang disampaikan adalah menjadikan Kabupaten Buol sebagai daerah swasembada pangan,” kata Nur Alim kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (20/12).

Untuk lahan miring yang terdapat di Buol, katanya, harusnya pemerintah membuka peluang pada tanaman penyangga seperti karet, kemiri, cengkih atau pohon durian yang bisa menjaga konservasi tanah dan acaman banjir yang selama ini mendera masyarakat Buol. Terutama, sejak hadirnya perusahaan sawit PT. Hartati Inti Plantation yang mengambil kawasan hutan dan lahan warga.

Nur Alim menjelaskan, dengan status tanah yang mengambil tiga perusahaan sawit seluas kurang lebih 36.000 hektar sebagai program Taurat, ada kemungkinan hal ini bermasalah.  Dalam pandangan Agra, tiga perusahaan itu sudah mengeluarkan modal pengurusan izin lokasi dan prosedur lain yang juga mungkin masih ada kendala.

Perusahaan sawit yang ada di Buol, seperti milik Hartati Murdaya, telah menyebabkan persoalan di masyarakat. Mulai konflik agraria, merampas tanah warga suku Buol; membuat konflik sosial dengan memberikan janji yang tidak ditepati; merusak kawasan hutan yang mengakibatkan banjir; bahkan perusahaan juga menimbun kayu tebangan yang bila dirupiahkan mencapai miliaran rupiah.

“Pembangunan yang dilakukan perusahaan di Buol itu tidak ada. Dana CSR (Corporate Social Responsibility) baru dikeluarkan bila ada gejolak di masyarakat. Contohnya, pembangunan lapangan sepak bola di Desa Bungkudu hanya untuk mencari simpati masyarakat.”

Selain itu, alasan kehadiran perusahaan sawit bisa membuka lapangan pekerjaan, menurut Agra, hal itu tidak lebih dari “pencurian” hasil kerja buruh untuk meraup keuntungan besar. Jika dihitung, biaya untuk buruh keseluruhan hanya berkisar Rp 5-6 miliar. Sementara, keuntungan yang diperoleh perusahaan milik Hartati Murdaya itu bisa mencapai Rp 50-60 miliar per bulan.

Kebijakan Tanah untuk Rakyat

Menurut Nur Alim, kebijakan program Taurat hanya menguntungkan perusahaan sawit PT. Hartati Inti Plantation.

“Seharusnya perusahaan itu diberhentikan dan dicabut HGU-nya dari Buol, sebab banyak  pelanggaran yang dilakukan. Kenapa demikian? Karena, lahan tanah untuk rakyat itu akan dikerjasamakan lagi dengan PT. Hartati Inti Plantation, dengan dana yang diambil dari bank,” ungkap Nur Alim.

Saat ini, hanya PT. Hartati Inti Plantation penguasa tunggal di Kabupaten Buol. Sehingga, walaupun program Taurat nantinya sukses, tetap menyisahkan masalah monopoli harga sawit petani.

“Dengan pertimbangan itu, menurut kami, sawit bukan solusi kemiskinan. Itu hanya kepentingan orang yang menjalankan modal seperti perusahan milik Hartati Murdaya. Harusnya, prioritaskan tanaman untuk kebutuhan dalam negeri yaitu pangan,” tandas Nur Alim.

Bupati Buol, Amirudin Rauf mengatakan, di Kabupaten Buol akan dikembangkan plasma kelapa sawit dengan nama Taurat (tanah untuk rakyat). Sasarannya, rumah tangga miskin yang tidak mempunyai lahan yang nantinya akan diberikan tanah garapan dua hektar.

Menurut Amirudin, program ini  merupakan pelaksanaan konsep revitalisasi perkebunan dan land reform yang sesuai Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, berupa pemberian dan pensertifikasian lahan pertanian bagi masyarakat miskin. Tujuannya, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat miskin melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk rakyat.

Tanggapan atas kebijakan ini juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng dan Sawit Watch. Kedua organisasi non-pemerintah tersebut merespon baik kebijakan Amiruddin Rauf yang menolak perusahaan sawit untuk berinvestasi  di Buol, namun tetap memberikan catatan kepada pemerintah setempat.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,