,

Melihat Komitmen Masyarakat Senepak-Poring dalam Menjaga Hutan. Seperti Apakah?

Hutan Senempak-Poring merupakan kawasan hutan yang kaya akan keragaman hayati dan memiliki peran penting bagi masyakat di Kabupaten Melawi.

Sejak dimekarkan dari Kabupaten Sintang pada 2004, hampir sebagian besar wilayah Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, masih berstatus kawasan hutan. Namun, luasan areal tersebut mengalami penyusutan. Ada yang berubah menjadi permukiman, perkantoran, perkebunan rakyat, hingga perkebunan sawit.

Jane Ridho, aktivis lingkungan di Melawi mengatakan, Hutan Senempak-Poring masuk dalam wilayah dua desa yakni Desa Senempak dan Poring, Kecamatan Pinoh Selatan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Kedua desa tersebut memiliki hutan dengan nilai konservasi tinggi. Hutan tersebut menyimpan kekayaan alam, baik satwa, ragam tumbuhan khas Kalimantan, serta sebagai daerah serapan air.

“Hutan Poring berada di bebukitan yang menyimpan sumber air bersih. Di dalamnya terdapat sumber air Pancur Aji yang kini digunakan PDAM Tirta Melawi. Selain itu, ada Sungai Nobong dan Iban yang digunakan masyarakat Poring untuk memenuhi kebutuhan air bersih,” katanya.

Tak cuma soal kekayaan alam, Senempak-Poring juga menyimpan kekhasan dan sejarah peradaban Suku Kebahan. Dulu, masyarakat setempat tinggal di rumah betang (rumah panjang) dalam hutan. Kini, semua penduduk sudah bermukim di luar hutan dan membangun rumah sebagaimana masyarakat umum. Mereka bertani dan menjadi penyadap karet.

“Harus ada upaya konservasi dari masyarakat setempat maupun pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Jika tidak, kedepannya akan mengancam ekosistem hutan dan debit air bersih akan berkurang,” kata Rido.

Merajut kesepakatan 

Kepala Desa Senempak, Sahidin, mengatakan kesepakatan untuk menjaga hutan yang mencakup Hutan Bukit Damar sebagai daerah inti telah dilakukan. Misal, masyarakat tidak boleh menebang pohon jengkol kala panen dan pohon buah. Warga juga dilarang menangkap satwa seperti orangutan, macan serta dilarang menangkap ikan menggunakan setrum atau racun.

“Masyarakat Senempak sepakat melindungi sungai yang merupakan sumber air bersih, seperti Sengkubang, Kenual, Jadam Permai, Boyu, Majau, dan Yabu. Bila ada yang melanggar akan dikenai sanksi adat,” ujar Sahidin.

Anak-anak Desa Poring yang masih bisa menikmati jernihnya air Sungai Ibah. Sumber air ini berasal dari perbukitan yang berada di Hutan Poring. Kejernihan air sungai ini pun hanya bisa dirasakan bila hutan di wilayah hulunya masih terus terjaga kelestariannya. Foto: Eko Susilo
Anak-anak Desa Poring yang masih bisa menikmati jernihnya air Sungai Ibah. Sumber air ini berasal dari perbukitan yang berada di Hutan Poring. Kejernihan air sungai ini pun hanya bisa dirasakan bila hutan di wilayah hulunya masih terus terjaga kelestariannya. Foto: Eko Susilo

Hal senada yang diterapkan di Desa Poring. Iyon, sang kepala desa, memaparkan bahwa kesepakatan untuk menjaga hutan dilakukan berdasarkan musyawarah. Misalnya, warga dilarang berburu satwa seperti burung rangkong gading, trenggiling, kijang, beruang, dan orangutan. Warga juga tidak boleh mengambil ikan dengan cara meracun atau menyetrum, serta dilarang mengambil kayu untuk masyarakat luar.

Iyon mengatakan, komitmen tersebut telah ditandatangani seluruh aparat desa dan kepala adat. Bahkan, dikuatkan melalui peraturan desa (Perdes). Kini, masyarakat juga menginginkan kompensasi bagi mereka yang telah menjaga hutan. “PDAM pernah meminta kami untuk menjaga hutan, terutama wilayah yang menjadi sumber air. Namun, kami juga menginginkan kompensasi dari PDAM untuk kas desa,” katanya.

Syamsul Bahri, pegiat lingkungan dari Suar Institute menilai, upaya konservasi tidak akan berjalan maksimal bila perekonomian masyarakat tidak diperhatikan. Bila kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi, mereka akan merambah hutan dan memperluas areal bercocok tanam.

Bicara soal perut, ini harus menjadi perhatian pemerintah. Masyarakat Senempak-Poring harus ditingkatkan kesejahteraannya sehingga mereka mau menjaga hutan dan kelestarian sumber air. “Komitmen multipihak untuk mendorong terbentuknya kawasan lindung  tidak hanya tanggung jawab masyarakat sekitar hutan, tapi juga pemerintah,” ujar Syamsul.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Melawi, Nahru, mengatakan bahwa hutan di sekitar sumber air tersebut dapat dijadikan kawasan lindung. “Kalau sudah menjadi kawasan lindung, pengelolaannya akan bekerja sama dengan masyarakat,” katanya.

Penetapan kawasan lindung, kata Nahru, tak harus melalui keputusan menteri. Cukup SK Bupati atau bila ingin lebih kuat dapat dibuatkan peraturan daerahnya. Kecuali, bila penetapan kawasan lindung berada di luar kawasan hutan maka harus melalui keputusan menteri.

Kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pengurus Desa Senempak untuk menjaga hutan. Foto: Dok Suar Institute
Kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pengurus Desa Senempak untuk menjaga hutan. Foto: Dok Suar Institute

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,