,

Burung di Indonesia, Bagaimana Kondisinya?

Potensi Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman jenis burung liarnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Penemuan jenis baru atau jenis yang sebelumnya pernah tercatat menunjukkan bahwa alam Indonesia masih menyimpan “tabir” yang belum sepenuhnya tergali.

“Sebagai contoh, penemuan kembali dara-laut cina di Indonesia setelah lebih dari 100 tahun tidak terlihat merupakan hasil temuan para pengamat burung,” tutur Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, pada acara Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, di Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor, Sabtu (14/02/2015).

Dara-laut cina (Thalasseus bernsteini) merupakan jenis burung migran dari Tiongkok dan Jepang yang berdasarkan IUCN statusnya Kritis (Critically Endangered). Burung berukuran  sekitar 40 cm ini mengembara dengan menggunakan koridor daratan timur sebagai rute perjalanannya. Wilayah pengembaraannya pernah tercatat hingga ke perairan di sekitar Manila, Serawak, dan Halmahera. Secara global, jumlahnya kurang dari 50 individu dewasa.

Untuk Indonesia, burung yang menyukai laut terbuka ini pernah diketahui berada di wilayah Maluku Utara melalui spesimen tunggal yang ada di daerah Kao, Halmahera, pada 22 November 1861. Sejak saat itu, laporan mengenai terlihatnya jenis ini di Indonesia jarang sekali.

Begitu juga dengan serak seram (Tyto almae), salah satu jenis burung baru yang ditemukan pada 2013. Jenis ini ditemukan para peneliti di tempat yang jarang ditelaah yaitu di kawasan Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Maluku.

Menurut Agus, selain pemisahan jenis, temuan jenis dan catatan baru tersebut turut berkontribusi menambah kekayaan jenis burung di nusantara. Berdasarkan hasil studi literatur Burung Indonesia terhitung Januari—Oktober 2014, Indonesia saat ini memiliki 1.666 jenis burung atau bertambah 61 jenis dibanding tahun sebelumnya.

Dari 61 jenis tersebut, tiga di antaranya merupakan jenis baru dan sembilan jenis merupakan catatan baru untuk Indonesia. Jumlah jenis ini belum termasuk jenis-jenis burung pengicau (Passerine) yang saat ini masih dalam proses analisa.

“Dengan penambahan jenis baru ini, Indonesia berada di posisi keempat dunia dalam hal kekayaan total jenis burung. Sementara, dalam hal endemisitas, Indonesia tetap paling unggul dari negara-negara lainnya,” jelas Agus.

Agus melanjutkan, sebanyak 75% jenis baru yang diakui pada 2014 ini merupakan jenis endemis. “Kondisi ini makin memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara dengan jenis burung endemis terbanyak di dunia yaitu 426 jenis atau bertambah 46 jenis dari tahun lalu.”

Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB) menuturkan, keragaman jenis burung di Indonesia ini memang sudah sepatutnya digali karena potensi tersebut memang ada. Terlebih di wilayah Wallacea yang hingga kini masih terus dilakukan penelitian.

Terkait bertambahnya jumlah jenis burung di Indonesia baik dalam hal pemisahan jenis maupun temuan jenis baru, Ani menuturkan, yang jelas dari dulu hingga sekarang keragaman burung yang ada kemungkinan besar yang telah teridentifikasi sebelumnya. Hanya saja, adanya perbedaan sistem taksonomi, terutama morfologi, maka yang tadinya subspecies menjadi fullspecies.

Kondisi ini juga sebetulnya menimbulkan hal yang bertolak belakang. Maksudnya adalah para ornitologi (ahli perburungan) akan senang bila menemukan jenis burung baru. Walaupun tidak diberi nama atas nama mereka, namun penemuan tersebut akan membuat mereka “gembira” karena temuan jenis baru itu.

Sementara, untuk konservasi, dengan ditemukannya spesies baru maka akan ada permasalahan baru yang harus ditangani. Spesies baru yang ditemukan ini sudah dipastikan jumlahnya sedikit dan ditemukan di pulau-pulau yang terpencil. Atau juga, di tempat-tempat terisolir karena sistem evolusi yang mendukung spesies baru tersebut hidup.

“Nah, jenis baru yang berada di wilayah terpencil, endemis atau sebarannya terbatas, dan jumlahnya sedikit, tidak hanya burung tetapi juga primata, dipastikan berdasarkan IUCN akan dimasukkan dalam kategori Kritis,” jelas Ani.

Ani melanjutkan, bagi sebuah negara yang berdasarkan IUCN memiliki daftar spesies yang Kritis maka akan terus diawasi. Apakah sudah bagus atau nilai “raport” nya merah. “Nah, akan menjadi aib bagi Indonesia di mata internasional bila ada spesies yang Kritis itu dinyatakan punah.”

Inilah kontradiksi antara pertambahan jumlah jenis burung di Indonesia dengan perlindungannya. “Namun secara umum, kita harus bangga karena Indonesia kaya, tanpa harus melupakan menjaga kelestariannya,” terang Ani.

Prof (Emeritus) S. Somadikarta dinobatkan sebagai Bapak Ornitologi Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad
Prof (Emeritus) S. Somadikarta dinobatkan sebagai Bapak Ornitologi Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Komite

Dewi M. Prawiradilaga, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, menyatakan bahwa upaya untuk melindungi satwa khususnya burung liar di Indonesia telah ada sejak 1931 oleh Pemerintah Belanda yang tercantum dalam Dierenbeschermings Ordonantie atau Perlindungan Binatang Liar. Dalam peraturan tersebut terlindungi sekitar 248 jenis dari 15 suku.

Meski awalnya peraturan tersebut digunakan Pemerintah Indonesia di tahun 1970, namun penyempurnaan dilakukan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam pelaksanaannya, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa termasuk burung liar diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 sedangkan pemanfaatannya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.

Menurut Dewi, berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999, saat ini telah ada 419 jenis burung dari 41 suku yang dilindungi. “Kriteria perlindungan tersebut adalah endemis, bermigrasi, populasinya sedikit, habitat spesifik, ancaman tinggi, peranannya di ekosistem.”

Meski begitu, menurut Dewi, dalam skup internasional, peraturan pemerintah ini belum secara menyeluruh dapat melindungi berbagai jenis burung yang oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) dinyatakan Kritis. Atau juga jenis burung yang berdasarkan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dilindungi dalam hal konvesndi perdagangan.

“LIPI berfungsi sebagai lembaga otoritas ilmiah, sedangkan yang mengeksekusi perlindungan berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami hanya bisa mengusulkan jenis apa saja yang harus mendapatkan perlindungan berdasarkan data dan hasil penelitian yang lengkap dan shahih,” ujar Dewi.

Mengenai jumlah jenis burung di Indonesia yang terus bertambah, Prof. (Emeritus) S. Somadikarta, memberikan masukan agar kedepannya dibentuk sebuah komite di Indonesia yang khusus menangani pendataan jenis burung di Indonesia.

Menurut Soma, hal ini penting sebagai acuan, sehingga kita dapat dengan yakin menggunakan data yang dikeluarkan komite tersebut. Jadi, tidak sekadar berdasarkan publikasi semata. Harus hati-hati. Harus ada penelitian mendalam. “Komite ini sudah ada di Inggris, Amerika, maupun Belanda. Bagaimana bentuk komitenya dan siapa yang terlibat harus segera dibahas. Yang jelas, di komite tersebut seluruh ahli burung liar di Indonesia dikumpulkan,” ujarnya.

Dalam konferensi yang berlangsung dua hari itu (13-14 Februari 2015), para peneliti dan pemerhati burung sepakat menobatkan S. Somadikarta sebagai Bapak Ornitologi Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,