,

Rafflesia Mekar: Dari Mitos Cawan Hantu Hingga Fakta Keterancamannya

Masyarakat suku Rejang, salah satu masyarakat asli di Provinsi Bengkulu ternyata memiliki nama dan mitos tersendiri tentang rafflesia. Mereka menamakannya Ibeun Sekedei atau Cawan Hantu. Penamaan itu dikaitkan dengan mitos tentang mahluk gaib atau hantu yang ada di hutan. Namun, kini nama dan mitos tersebut telah dilupakan.

“Sudah tidak banyak lagi yang mengetahuinya. Sekarang lebih tahu [namanya] rafflesia,” kata Ibnu Hajar (32), Anggota Kelompok Pengelola Rafflesia yang mendampingi para pengunjung Rafflesia arnoldii yang mekar di kawasan Hutan Lindung Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22/2/2015) siang.

Cerita yang diperoleh Ibnu, nama Ibeun Sekedei diberikan karena bentuk rafflesia mirip dengan cawan atau tempat sirih. Lalu, bentuk batang dan daun inang rafflesia mirip dengan batang dan daun sirih. Dikarenakan berada di tengah hutan, maka dianggap kalau cawan tersebut adalah milik dan dijagai mahluk gaib.

“Dulu, bila menemukannya [rafflesia] akan langsung menjauh. Karena diyakini di sekitar lokasi ditemukannya, ada ‘nenek’ atau harimau jadi-jadian. Sehingga, tidak ada orang yang berani merusaknya. Mendekatinya saja tidak berani,” kata Ibnu yang bersuku Rejang dan berdomisili di Desa Taba Teret, Taba Penanjung.

Ibnu tidak mengetahui secara pasti kapan mitos tersebut mulai ditinggalkan. Yang jelas, kini Kelompok Pengelola Rafflesia menilai informasi tentang rafflesia mekar penting untuk dipublikasikan. Sehingga, siapapun yang berkeinginan melihat secara langsung rafflesia mekar, bisa mewujudkannya.

“Seminggu sekali kami melakukan survei. Ada 17 titik lokasi yang terus kami pantau. Selama tahun ini (2015) saja, sudah ada 10 rafflesia yang mekar di 17 titik lokasi tersebut. Selain memasang spanduk yang mengumumkan rafflesia mekar, kami juga memancang kayu untuk menjadi pegangan pengunjung dan bersedia mengantarkan pengunjung,” kata Ibnu.

Konservasi Jenis

Terpisah, Anggota KKI Warsi, Nurkholis Sastro, yang juga bersuku Rejang, tidak menampik cerita Ibu Hajar. Dia menambahkan, warna rafflesia yang kemerah-merahan dan aroma busuk menyengat yang keluar dari rafflesia juga dikaitkan dengan hal yang menyeramkan atau angker.

Sayangnya, sambung Nurkholis, pewarisan pengetahuan atau mitos tersebut tidak berjalan lagi. Sebaliknya, tidak banyak lagi masyarakat yang takut untuk mendekati, memegang, bahkan merusak rafflesia. Oleh karena itu, Nurkholis menilai pewarisan pengetahuan atau mitos tersebut perlu dilakukan dengan mengkaitkannya dengan model konservasi kekinian.

“Nilai-nilai yang dibangun dari pengetahuan tersebut adalah mistik, eksotis dan ekologis. Kalau sekarang ini, nilai yang terbangun adalah eksotis dan komersil. Jadi, saya pikir, pengetahuan lokal tersebut wajib direvitalisasi dan dikolaborasikan dengan model konservasi kekinian. Bila tidak, upaya pelestarian rafflesia sulit berhasil,” jelasnya.

Seorang pengunjung berfoto di dekat Rafflesia Arnoldii yang mekar di kawasan Hutan Lindung, Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22022015).
Perbandingan besar Rafflesia Arnoldii dengan seorang pengunjung di kawasan Hutan Lindung, Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, Minggu (22/02/2015). Foto: Dedek Hendry.

Holoparasit

Peneliti Rafflesia dari Universitas Bengkulu Agus Susatya menerangkan, rafflesia merupakan salah satu tumbuhan yang sangat unik. Tidak memiliki akar, batang dan daun, rafflesia hanya berupa kuncup atau bunga dan dilengkapi haustorium yang memiliki fungsi mirip akar yang menghisap sari makanan hasil fotosistesa dari tumbuhan inang. “Oleh karena itu, rafflesia digolongkan sebagai tumbuhan holoparasit,” ujar Agus Susatya, Minggu (22/2/2015).

Inang rafflesia merupakan liana atau tumbuhan berkayu yang merambat dan memerlukan inang struktural dari tumbuhan lainnya sebagai tumpuan untuk merambat. Inang rafflesia berasal dari genus tetrastigma. Dari 97 jenis tetrastigma di Asia, hanya 10 jenis yang tercatat menjadi inang rafflesia. Yaitu, T. tuberculatum, T. curtisii, T. pedunculare, T. scortechinii, T. diepenhorstii, T. papillosum, T. quadrangulum, T. harmandii dan T. loheri.

Siklus hidup rafflesia bisa mencapai 5 tahun dan terdiri dari 7 fase, meliputi proses penyerbukan, pembentukan buah dan biji, penyebaran biji, inokulasi biji ke inang, kemunculan kuncup bunga atau knop, kuncup yang matang dan bunga mekar. Kuncup rafflesia tumbuh di akar atau batang inang. Sehingga, bisa ditemui tumbuh di permukaan tanah atau menggantung di batang inang. Kuncup yang menggantung disebut juga aerial bud.

Masa mekar rafflesia berlangsung antara 3 – 8 hari. Saat musim kemarau, bunga akan mekar pada hari terjadi hujan. Sedangkan saat musim penghujan, bunga akan mekar pada hari tidak tejadi hujan. Saat mekar, bau daging busuk akan tercium dan mengundang banyak lalat. Lalatlah yang membantu penyerbukan bunga rafflesia. Setelah mekar, mahkota bunga membusuk. Namun bagian dasar bunga rafflesia betina akan membentuk buah. Sebagai agen penyebar benih adalah satwa, diantaranya tupai (Tupaia javanica), landak (Hystrix javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditus) dan serangga.

Hingga saat ini spesies rafflesia di dunia tercatat sebanyak 25 jenis (lihat grafis). Dengan sebaran dari perbatasan Burma dan Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Filipina. Dari 25 jenis tersebut, 12 jenis dapat dijumpai di Indonesia, dengan 10 diantaranya ditemukan di Sumatera.

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Ancaman Kepunahan

Agus Susatya menambahkan, rafflesia sangat rentan mengalami kepunahan. Ini karena rafflesia yang bersifat holoparasit yang tergantung inangnya, sedangkan kehidupan inang juga sangat tergantung dengan tumbuhan lainnya yang menjadi inang strukturalnya. Dari aspek reproduksi, rafflesia memerlukan bunga jantan dan betina yang mekar agar terjadi penyerbukan, dan agen penyerbukannya.

Padahal, sangat jarang ditemukan bunga jantan dan betina yang mekar saat bersamaan dalam satu lokasi. Ironisnya lagi, tidak semua bunga betina yang mengalami penyerbukan akan menghasilkan biji buah yang terletak didasar mahkota bunga. “Hingga saat inipun, masih menjadi misteri bagaimana proses inokulasi dan perkembangan biji dalam tubuh inang,” tambah Agus Susetya sang penemu Rafflesia bengkuluensis dan Rafflesia lawangensis melanjutkan.

Kematian rafflesia juga cukup tinggi, dari injakan satwa hutan, dimakan oleh tupai dan landak hingga perusakan kuncup atau bunga oleh manusia jahil. Ancaman lebih serius disebabkan oleh pemotongan inang, pembalakan liar dan perladangan yang tidak mendukung siklus hidup rafflesia.

“Meskipun tidak mengalami gangguan akibat aktivitas manusia, populasi rafflesia akan cenderung turun atau sangat rentan mengalami kepunahan. Itu dikarenakan sedikit kuncup yang hidup dan menjadi bunga, dan sedikit bunga yang menjadi buah, serta sedikit biji yang berubah menjadi kuncup,” tutur Agus.

Di Bengkulu, orang asing yang pertama kali melihat rafflesia adalah Dr. Joseph Arnold. Ahli botani dari Inggris itu melihatnya di Pulau Lebar, Bengkulu Selatan pada 1818. Saat melihatnya, Joseph Armold juga belum mengetahui atau memberi namanya. Baru pada 1820, ahli tumbuh-tumbuhan dari Inggris bernama Robert Brown memberi nama Rafflesia arnoldii. Nama diberikan untuk menghormati Sir Stamford Raffles yang merupakan Gubernur Inggris di Bengkulu dan Joseph Arnold.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,