Menyelamatkan Lingkungan, Berawal dari Revolusi Mental

 *Agus Supangat, Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Tulisan ini merupakan opini penulis.

Dalam hidupnya, manusia akan selalu berhadapan dengan tantangan dan perubahan. Yang sering terjadi, sebagian besar bukanlah kesulitan itu sendiri, namun reaksi pikiran kita. Bayangkan jika Anda adalah seseorang yang tidak bisa berenang. Suatu hari, tiba-tiba ada rekan mengajak Anda menyelam di kawasan Raja Ampat, Papua Barat yang keindahan bawah lautnya sudah sangat terkenal di dunia.

Jika menyukai tantangan, anda akan berkata, “Oke. Beri saya waktu belajar berenang dan menyelam. Saya pasti bisa, tapi tolong beri waktu.” Kemungkinan kedua, nyali Anda langsung ciut karena sudah berpikir macam-macam: berenang saja tidak bisa, apalagi menyelam. Bisa mati tenggelam aku! Jadi Anda akan menjawab, “Kamu gila ya ngajak saya nyelam? Berenang saja nggak bisa!”

Bukankah ini yang sering kita alami dalam mengarungi tantangan yang datang dalam kehidupan?

Hal yang sama berlaku saat Anda disodori tawaran meminimalisasi pemanasan global. “Kita perlu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Cuaca dan iklim makin tak tentu. Lakukan sesuatu untuk menguranginya. Yuk, naik angkutan umum, hemat energi, jaga hutan, atau apapun…” Bagaimana reaksi Anda jika ada tawaran semacam ini? Tidak peduli atau malah tertawa terbahak-bahak?

Mungkin Anda berpikir bahwa ide mengurangi dampak perubahan iklim adalah ide filosofis yang tak terjangkau. Mungkin pula Anda berpikir tidak mungkin karena dampak perubahan iklim sudah tak dapat dicegah. Kemacetan saja sudah mengesalkan karena pekerjaan terganggu, apalagi harus memikirkan cara mencegah perubahan iklim. Lagipula, belum tentu banjir disebabkan perubahan iklim. Bisa saja karena tingginya curah hujan yang berlangsung berhari-hari tanpa henti.

Manusia memang memiliki pilihan bebas. Yang perlu dicatat, kita tidak perlu berpikir muluk untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Semua dapat dilakukan sesuai dengan bidang Anda masing-masing.

Jika Anda adalah musisi, buatlah musik-musik yang menginspirasi orang lain untuk peduli pada isu perubahan iklim. Jika Anda adalah pengusaha, jadilah pengusaha yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Jika Anda adalah arsitek, rancanglah desain bangunan yang ramah lingkungan. Jika Anda adalah chef, buatlah masakan sehat yang tidak merusak lingkungan. Jika Anda adalah orang tua, berikan contoh yang baik pada anak-anak bagaimana caranya merawat dan menjaga lingkungan

Percayalah bahwa jika masing-masing pihak menjalankan tugas masing-masing sesuai fungsinya, “harmoni” akan tercipta. Sebuah blender atau juicer dapat menghasilkan jus yang nikmat jika listrik menyala dan setiap fungsi mesin berjalan sempurna. Salah satunya rusak akan menghambat yang lain. Demikian pula dengan perubahan iklim.

Jika hanya ilmuwan atau seniman yang bergerak tanpa dukungan pemerintah, penanganan dampak melambat. Tantangan baru dapat teratasi jika seluruh pihak yang terlibat mau bergerak bersama. Sebelum kerjasama terjadi, perlu keinginan bersama meski bukan merupakan hal mudah.

Berita baiknya, tantangan membuat karakter kita makin teruji.

Anak-anak sedang belajar mengidentifikasi daun di Sekolah Alam  Bentangor Pampang Environmental Education Center milik Yayasan Palung yang terletak di Desa Pampang Harapan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : Petrus Kanisius
Anak-anak sedang belajar mengidentifikasi daun di Sekolah Alam Bentangor Pampang Environmental Education Center milik Yayasan Palung yang terletak di Desa Pampang Harapan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : Petrus Kanisius

Jika Jepang tak sering dilanda gempa, kecil kemungkinan daya inovasi mereka dalam merancang struktur bangunan yang kokoh teruji. Kecil kemungkinan mereka menjadi bangsa yang tahan banting. Tsunami hebat yang kerap menerjang Jepang justru melahirkan daya cipta yang hebat. Keamanan nuklir mereka makin teruji. Ego tereduksi, kedisiplinan dan kerja keras pun makin terasah.

Dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di negara kita mungkin tak seheboh tsunami Jepang. Para ilmuwan telah sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia itu sendiri. Artinya, potensi bencana dapat kita minimalisir meski terkadang tak dapat kita hindari.

Barang bukti begitu nyata seperti fenomena cuaca ekstrim yang telah kita alami. Bagi Anda yang tinggal di ibukota, cuaca awal tahun 2015 mungkin menjadi momok mengerikan. Banjir dan kemacetan parah tak terhindarkan bahkan istana presiden ikut terendam air.

Saat bersamaan, banjir juga juga melanda seantero tanah air hingga menyebabkan tanah longsor yang merobohkan sejumlah rumah dan menewaskan warga. Para turis yang sekadar ingin berlibur pun terpaksa harus gigit jari.

Pertanyaannya, apakah aneka tantangan ini menjadikan kita sebagai bangsa dan individu yang makin tangguh seperti Jepang atau malah menciptakan pesimisme? Apakah tantangan merupakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas atau justru membuat nyali ciut dan kemudian menyerah begitu saja sebelum bertanding?

Selama ego belum disingkirkan jauh-jauh, seruan untuk sesegera mungkin mengatasi perubahan iklim hanya menjadi angin lalu.

Itu sebabnya upaya dunia menyatukan suara dalam mengurangi dampak perubahan iklim seringkali menemui jalan buntu, terutama pada level pemerintah. Kepentingan “nasional” masih menjadi alasan utama meski tak ada yang menampik bahwa mencegah dampak buruk perubahan iklim sesungguhnya menjadi kepentingan negara manapun. Bagaimanapun, kita hidup dalam satu bola dunia yang sama.

Lakukanlah apa yang dapat Anda lakukan.

Tulisan dengan contoh kasus perubahan iklim ini tak bertujuan melemparkan kritik pedas dan tajam pada siapapun namun untuk menggerakan kesadaran setiap pembaca: kita semua. Kita tidak dapat memaksa orang lain melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan, namun kita dapat memaksa diri melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Jika tidak ingin melihat Indonesia terpuruk, jelas bahwa akar pertama yang perlu kita benahi adalah pola pikir seluruh lapisan masyarakat yang kuncinya datang melalui pendidikan dibarengi teladan para pimpinan, pendidik, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, dan seluruh elit yang duduk sebagai pemimpin bangsa ini. Tanpa disertai teladan, apa yang diajarkan hanya menjadi pepesan kosong. Ia tak lebih dari retorika atau perkataan motivasi yang belum tentu berkuasa mengubah keadaan.

Bayangkan jika saat ini pemerintah menggalakkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup tapi pada saat bersamaan memberikan ijin bagi pengusaha untuk membuka lahan-lahan baru secara tidak bertanggung jawab. Bayangkan pula jika kita mengaku sebagai aktivis lingkungan hidup yang aktif membuat kegiatan dimana-mana, namun dalam keseharian masih membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah.

Para pendidik perlu memberi teladan untuk melahirkan generasi muda yang cinta lingkungan. Para pengusaha perlu memberi teladan dengan tidak mengeksploitasi lingkungan demi profit semata. Para aparatur negara perlu memberi teladan sebagai pelayan masyarakat. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu memberi teladan nyata lewat tindakan dan keseharian.

Inilah hakikat ‘Etika Lingkungan‘ dalam spektrum bernegara: sederhana tapi butuh perjuangan kuat dan komitmen terus menerus buat mewujudkannya.

Etika Lingkungan artinya revolusi mental yang datang dari mentalitas diri kita. Artinya, seharusnya datang dari diri sendiri, bukan karena program pemerintah semata. Jika mental kita sudah terevolusi, tugas selanjutnya adalah menjadi inspirasi bagi orang lain agar mereka pun mengalami revolusi serupa. Menginspirasi artinya memberi contoh melalui perbuatan, bukan perkataan semata.

Pilihan untuk mewujudkan Etika Lingkungan kini ada di tangan Anda.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,