, ,

DPRD Bentuk Pansus Kerusakan Lingkungan Kawasan Danau Toba

Hasil rapat dengar pendapat, antara anggota DPRD Sumatera Utara, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, perusahaan, serta masyarakat adat, mengambil kesimpulan terjadi kerusakan hutan dan lingkungan cukup parah di kawasan Danau Toba. Untuk itu, DPRD Sumut membentuk panitia khusus membahas masalah ini.

Wagirin Arman, anggota DPRD Sumut mengatakan, ekspos Jalin D’Toba, maupun dinas terkait terungkap, kerusakan hutan dan lingkungan di Toba, indikasi dampak aktivitas lima perusahaan. Perusahaan-perusahaan  itu adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Inalum, PT Aqua Farm Nusantara, PT Allegrindo, PT Gorga Duma Sari, dan PT Simalem Resost.

“Jawaban perusahaan normatif, baik TPL, Aqua Farm dan perusahaan lain. Data sangat meragukan, hingga patut pembentukan pansus terkait pengelolaan kawasan Danau Toba, ” katanya.

Pansus ini penting guna mengetahui kerusakan Toba lebih mendalam. “Wisatawan tidak berminat datang ke Danau Toba. Kawasan ini rusak. Dampak sangat besar karena kerusakan lingkungan dan hutan disana.”

Sutrisno Pangaribuan, Komisi A DPRD Sumut, menambahkan, mereka akan audit kelapangan guna mengetahui penyebab kerusakan.  Untuk TPL, dia mendukung audit ulang dan peninjauan izin yang akan diajukan ke pemerintah pusat. Selama investigasi, TPL diminta tak menebang, sampai keputusan final DPRD Sumut.

Debit air Toba , katanya, makin berkurang karena pendangkalan. Di Kabupaten Dairi ada 11 sungai makin mengecil. “Di hulu rusak, hingga hilir tidak maksimal mengakibatkan sedimentasi terganggu menyebabkan banjir.”

Sedang Sarma Hutajulu, juga anggota DPRD Sumut, menyatakan fakta yang disampaikan masyarakat dengan pemerintah sangat berbeda. Pemerintah,  berkutat pada aturan, tetapi malah kerap dilanggar.

Di Toba Samosir, katanya, kualitas udara tercemar pabrik TPL. Di Toba, Aqua Farm membuang pakan ikan, mengakibatkan air tercemar ingga kualitas buruk, bau, dan tidak layak minum. Jauh masa lalu, air Toba bisa diminum.

“Paradigma pemerintah harus diputar. Kok masyarakat yang ditekan supaya menuruti kemauan mereka. Masyarakat gak tau green blue, tetapi yang mereka tahu kualitas air sudah rusak.”  Terutama TPL, katanya, sepanjang belum ada penyelesaian, tidak boleh penebangan dan tidak kriminalisasi masyarakat adat.

AKsi protes warga atas kerusakan kawasan di sekitar Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro
AKsi protes warga atas kerusakan kawasan di sekitar Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro

Protes warga

Akhir Januari lalu, ratusan masyarakat adat Batak di sekitar Danau Toba, turun aksi.

Mereka mendesak,  Presiden Joko Widodo mencabut izin lima perusahaan itu karena dinilai merusak lingkungan. Sambil membawa tampan berisi kemenyan, masyarakat adat ini berjalan kaki dari Lapangan Merdeka Medan menuju DPRD Sumut, Medan.

Sebastian Hutabarat, koordinator aksi, mengatakan kehadiran perusahaan di  kawasan Toba menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat.

Kerusakan Toba, katanya,  terjadi izin kepada setidaknya lima perusahaan itu. Mereka berharap, Jokowi mengambil sikap tegas menyelamatkan kawasan Danau Toba.“Kawasan Toba hancur. Jokowi harus berani mengambil sikap tegas menutup perusahaan-perusahaan yang merusak alam di Tano Batak. Kami menagih janji ketika kampanye akan menyelamatkan lingkungan,” kata Hutabarat.

Dia mengatakan, TPL, berdiri sejak 26 April 1983 di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir, menyebabkan kawasan hutan hancur. Perusahaan ini membuka pabrik dekat perkampungan padat penduduk. Sejak berdiri hingga kini, perusahaan sebelumnya bernama PT Inti Indorayon ini, berkonflik dengan masyarakat adat. Perusahaan melanggar UU  Lingkungan Hidup. Pabrik memproduksi kertas ini, dianggap tidak sesuai daya dukung lingkungan.

“Kacaunya, meskipun banyak penolakan atas perusahaan ini, namun pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, bukan menghentikan, malah hanya revisi konsesi menjadi 188.055 hektar,” katanya.

Menurut dia, hutan terbabat dan rusak, penebangan kayu alam terus terjadi. “Semua disulap menjadi eukaliptus. Terjadi perubahan fungsi hutan, tanaman endemik seperti kemenyan dirusak dan terancam punah. Banjir, longsor, spesies endemik mati.”

Edward Tigor Siahaan, masyarakat adat menambahkan, selain TPL, ada Aqua Farm. Perusahaan lainn, PT Gorga Duma Sari, milik pengusaha lokal yang mendapatkan izin 800 hektar. Hutan Tele ditebang lalu jadi sawit dan hortikultura, persis di Desa Partungkot Naginjang, Samosir. Kementerian Lingkungan Hidup sampai turun menyegel perusahaan ini agar menghentikan operasi. Bahkan, kasus illegal logging perusahaan ini sudah masuk proses hukum.

Tigor mengatakan,  kerusakan Toba juga diduga dampak perusahaan Allegrindo, peternakan babi. Perusahaan terletak di Urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun ini membuang limbah langsung ke Toba, persisi di Desa Salbe, Kecamatan Pardamean. Badan Lingkungan Hidup Sumut, menyatakan Amdal perusahaan tak lengkap.

Terakhir, PT Inalum, pengolahan alumunium.  “Tano Batak terluka. Kawasan Danau Toba tak lagi menjadi berkat bagi masyarakat. Pariwisata terpuruk, karena air tercemar, hutan dan lingkungan rusak. Ini karena perusahaan-perusahaan itu. Pemerintah andil di memberikan izin,” kata Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak, Guru Besar Sosiolog-Antropologi Universitas Negeri Medan.

Danau Toba, kini dipenuhi tambak-tambak yang setiap hari pakan yang dilempar ke danau menyumbang sedimentasi. Hari demi hari, pendangkalan dan pencemaran air pun terjadi. Foto: Sapariah Saturi
Kementerian Lingkungan Hidup saat menyegel PT GDS agar berhenti aktivitas sementara. Tampak juga kayu-kayu alam dari Hutan Tele, yang ditebang dan siap angkut. Foto: Wilmar Simandjorang
Aksi warga meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian serius pada keselamatan Danau Toba, yang dikepung kerusakan hutan dan lingkungan sekitar. Foto: Ayat S Karokaro
Aksi warga meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian serius pada keselamatan Danau Toba, yang dikepung kerusakan hutan dan lingkungan sekitar. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,