, ,

Inilah Holidin, Si Penjaga Sekolah Penangkar Bunga Bangkai Raksasa

Namanya Holidin, seorang warga biasa, tinggal di Desa Tebat Monok, kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Sehari-hari dia bekerja sebagai penjaga sekolah di SLB Negeri Kepahiang. Namun luar biasanya, meski hanya mengenyam pendidikan SMA dan tidak berlatarbelakang pendidikan botani atau konservasi, Holidin mampu menangkar lima jenis  Amorphophallus (suweg, porang, bunga bangkai), puspa langka di kebunnya.

Keberhasilannya turut banyak mengundang apresiasi dari berbagai kalangan. Tak heran bila sekarang banyak wisatawan dan peneliti dari dalam dan luar negeri mengunjungi kebun si penjaga sekolah ini, sekedar untuk mendengar pengalamannya.

Menurut Holidin, dia mulai terpikir menangkarkan Amorphophallus setelah melihat gambar Amorphophallus titanum atau bunga bangkai raksasa pada uang kertas Rp 500 tahun 1982. Dalam kesederhanaan berpikirnya, Holidin merasa ‘ada sesuatu’ sehingga bunga dalam gambar tersebut perlu dicetak diatas lembaran uang kertas negara.

Holidin mulai belajar menangkarkan Amorphophallus sejak 1998, setelah mengaku terpesona melihat batang dan bunga tanaman tersebut bermekar indah meski “berbau kurang sedap.” Namun sayangnya, keesokan paginya bunga yang dilihatnya dirusak, entah oleh siapa. Sejurus waktu kemudian, kembali Holidin melihat Amorphophallus mekar. Namun, lagi-lagi dirusak. Memberanikan diri, Holidin pun meminta izin memindahkan umbi bunga Amorphophallus yang mekar dan dirusak tersebut pada pemilik kebun.

“Saya berpikir kurang tepat kalau ditanam di lahan sekitaran rumah. Bagusnya, saya tanam di kebun,” kenang Holidin.

A. titanum diabadikan dalam uang rupiah. Sumber: BI
A. titanum diabadikan dalam uang rupiah Rp 500 terbitan 1982. Sumber: BI

Untuk memindahkan umbi sebesar 80 kilogram tersebut, Holidin membutuhkan enam orang untuk memindahkan dengan karung dan tandu sejauh jarak 500 meter. Seluruh proses membutuhkan waktu sekitar enam jam, “agar tidak tergores atau lecet”.

Di kebunnya, umbi tersebut dia potong dan bagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil dan ditanam dengan kedalaman sekitar 30 centimeter dari muka tanah. Perasaan kecewa sempat dirasakan oleh Holidin ketika satu persatu bakalan tunas Amorphophallus mati membusuk. Namun, kekecewaan tersebut berubah saat melihat tunas baru tumbuh dari umbi yang sama. Setelah berulangkali proses terjadi, untuk pertamakalinya dalam lima tahun Amorphophallus yang ditangkarnya mekar pada tahun 2003.

“Untuk saat ini, jenis Amorphophallus titanum tinggal sekitar 50 umbi, banyak yang dirusak babi hutan, Amorphophallus gigas tinggal sekitar 10 umbi, Amorphophallus paeonifolius 3 umbi, Amorphophallus muelleri 15 umbi, dan Amorphophallus variabilis sekitar 30 umbi,” ucap Holidin fasih menjelaskan jenis Amorphophallus yang ditangkarnya kepada Mongabay Indonesia.

Jenis Amorphophallus adalah tumbuhan yang termasuk dalam marga talas-talasan (Araceae), dengan bentuk umbil bulat, bulat gepeng hingga silindris memanjang. Jenis Amorphophallus di seluruh dunia diperkirakan sekitar duaratus, sekitar 25 diantaranya ada di Indonesia dengan 18 diantaranya endemik. Amorphophallus tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi.

Tumbuhan ini memiliki fase generatif dan vegetatif secara bergantian. Pada fase vegetatif hanya tumbuh batang daun, pada fase generatif dikenal dengan tumbuhnya bunga. Apabila mengalami penyerbukan bunga akan berubah menjadi buah.

Holidin memegang batang A. Titanum
Holidin dan batang A. titanum raksasa. Foto: Dedek Hendry

Awalnya Dapat Banyak Ejekan

Saat memulai menangkarkan Amorphophallus, Holidin mengaku mendapat banyak ejekan dan cemoohan dari para tetangganya. Alih-alih menangkarkan Amorphophallus, menurut warga lain lebih baik waktunya dia pergunakan untuk mengurus kebun atau menanam komoditi yang bernilai ekonomis. Tak jarang, tanaman dan bunga Amorphophallus yang dia tangkarkan dirusak oleh warga.

“Tidak saya hiraukan. Saya pikir, kalau bukan saya, siapa lagi?” kata Holidin.

Sejalan dengan waktu, Holidin makin mengenal beragam jenis Amorphophallus. Dari interaksinya dengan para peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Holidin mengaku mendapat banyak informasi dan buku tentang berbagai jenis Amorphophallus yang ada. Itu pula yang mendorongnya untuk menambah koleksi Amorphophallus, yang tidak lagi sebatas Amorphophallus titanum.

Jika menemukan Amorphophallus jenis baru, dia pun meminta izin kepada pemilik lahan untuk memindahkan umbinya. Usaha tersebut bukannya tanpa kendala. Selain ada warga yang enggan memberikan dan memilih membunuh Amorphophallus dengan semprotan herbisida, sebagian lagi malah meminta uang. Jika menemukan situasi demikian, Holidin memilih memberikan uang ala kadarnya sesuai kemampuan, karena kuatir jenis Amorphophallus tersebut tidak akan diketemukannya lagi di tempat lainnya.

“Saya pikir, saya bisa membantu pemerintah untuk pelestarian tumbuhan langka, walau saya tidak punya ilmu tentang Amorphophallus. Saya senang lihat bunga yang mekar, tambah semangat lagi kalau lihat ada yang berbuah. Saat bijinya ditanam, ada juga yang tumbuh,” jelas Holidin, pria kelahiran 14 Mei 1967 ini.

Siklus hidup dari A. titanum. Sumber:
Siklus hidup generatif dan vegetatif dari A. titanum. Sumber: botit.botany.wisc.edu
Sebuah dokumentasi lama dari Tropenmuseum
Sebuah dokumentasi lama awal abad ke-20 dari Tropenmuseum, terlihat A. titanum dalam fase generatif dan vegetatif di lokasi sama di Sumatera. Sumber Wikipedia

Kurang Dapat Apresiasi Pemerintah

Kegiatan Holidin menangkar Amorphophallus semata-mata untuk berpartisipasi melestarikan alam. Namun sayangnya, kegiatan ini tidak diapresiasi atau didukung oleh Pemda. Padahal bersama dengan Rafflesia arnoldii, Amorphophallus titanum merupakan flora identitas Provinsi Bengkulu sesuai Keputusan Mendagri no. 48/1989 tentang Pedoman Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah. Kondisi sebaliknya terjadi di luar negeri, saat banyak Kebun Raya terkemuka saling berlomba untuk menangkarkan Amorphophallus. Bahkan Botaniche Gärten Bonn di Jerman menggunakan Amorphophallus titanum sebagai simbol mereka.

“Saya bukannya minta bayaran, namun upaya penangkaran ini membutuhkan biaya. Terus terang saya terbatas secara keuangan. Masa saya harus bohong [jika Pemda tidak bantu] hanya untuk menjaga nama baik mereka,” ungkap Holidin.

Holidin khawatir tidak adanya apresiasi Pemda akan mengakibatkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi melestarikan Amorphophallus. Saat ini, Holidin mentransferkan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang dia miliki kepada empat orang anaknya dengan harapan salah satunya dapat meneruskan pelestarian puspa langka ini.

Dia pun berharap pelaksanaan International Symposium on Indonesian Giant Flowers – Rafflesia and Amorphophallus yang akan diadakan pada 14-17 September 2015 di Bengkulu dapat menggugah kepedulian masyarakat dan Pemda Bengkulu akan pentingnya nilai puspa langka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,