,

Kedaulatan Pangan, Misi yang Belum Menyentuh Harkat Petani

Gatot Surono meradang. Pada pertemuan Rembuk Jaringan Tani Nasional yang berlangsung di Sekretariat Nasional Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Bogor (15/04), petani asal Desa Kembangan, Buka Teja, Purbalingga, Jawa Tengah, itu menumpahkan keluh kesahnya. Menurutnya, selama 62 tahun “berkarir” sebagai petani, belum ada kebijakan substansional yang benar-benar ia rasakan berpihak pada nasib para pahlawan pangan.

Lelaki 82 tahun ini coba kilas balik perjalanan hidupnya. Saat zaman kemerdekaan, petani begitu dihargai. Betapa tidak, petani selalu menyediakan sumber bahan makanan, apakah jagung, ubi, atau nasi pada para pejuang tanpa diminta. Menurutnya, petani juga siap menjadi prajurit sewaktu-waktu.

Namun, seiring perjalanan kemerdekaan, lamat-lamat keberadaan petani dipinggirkan. Terutama pada Orde Baru. Jiwa petani yang merdeka dibuat tidak mandiri.

Apa buktinya?

Cara petani menanam diatur. Mulai dari benih, pupuk, hingga bahan kimia pengusir hama harus ikut aturan yang telah disediakan. Semua sudah dibuat dalam paket. Petani harus beli, tidak boleh memproduksi bibit lagi. Padahal, pemerintah tidak membuat sendiri, ada perusahaan yang memasok.

“Saya ngeyel,” jelasnya. “Saya tidak mau ikut menanam padi yang diatur itu. Keyakinan saya kuat untuk terus menanan padi rojolele yang asli bibit lokal. Pupuk yang saya gunakan juga pupuk kandang, alami tanpa polesan kimia.”

Namun apes bagi Gatot. Ketidakpatuhannya membawanya berurusan dengan Koramil (Komando Rayon Militer) Purbalingga. Dia ditahan, tanaman padi rojolele-nya seluas setengah hektar dicabut. Tetap Gatot tidak taat, begitu bebas dari penjara, dia menanam kembali padi rojolele. Diapun lalu mengundang petugas yang pernah menahannya untuk menikmati hasil panen.

“Nasinya enak ya Pak,” ungkap sang petugas, yang kaget setelah Gatot membuka rahasia bahwa nasi yang disantapnya itu adalah padi yang sebelumnya dia cabut.

Bagi Gatot, kemerdekaan petani dalam menanam padi adalah harga mati. Meski hanya seorang petani kecil dengan luasan sehektar sawah, Gatot bisa berbangga hati karena di sawahnya terdapat 50 varietas padi termasuk mentik wangi dan pandan wangi organik yang ditanam sejak tahun 2000.

“Sebagian besar bibit yang ada di lokasi AB2TI ini berasal dari saya,” ujarnya bangga.

Ada sekitar 250 varietas padi lokal yang berada di sektretariat AB2TI yang dapat dikembangkan pada sektor pertanian. Foto: Rahmadi Rahmad
Ada sekitar 250 varietas padi lokal di Sekretariat AB2TI yang dapat dikembangkan pada sektor pertanian. Foto: Rahmadi Rahmad
Gatot Surono dapat berbangga hati karena sebagian besar varietas padi yang ada di AB2TI berasal darinya. Termasuk namanya sendiri yang diabadikan "Mbah Gatot". Foto: Rahmadi Rahmad
Gatot Surono dapat berbangga hati karena sebagian besar varietas padi yang ada di AB2TI berasal darinya. Termasuk namanya sendiri yang diabadikan “Mbah Gatot”. Foto: Rahmadi Rahmad

Pemahaman Keliru

Kemerdekaan petani sebagai bagian dari kedaulatan pangan diamini oleh Setiyarman, Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia Jawa Tengah. Menurutnya, selama ini, tidak ada kebijakan yang pro petani, termasuk kebijakan ketahanan pangan yang saat ini diusung oleh pemerintah. Apapun aturan yang dibuat, ujung-ujungnya justru menyengsarakan petani.

Setiyarman ingat betul, bagaimana petani di tempatnya Sukoharjo menderita akibat perundangan tata guna air. Meskipun berada dekat mata air, sumber air tidak dapat mengairi sawahnya. Ironis. Begitu juga dengan kebijakan agraria yang sering membenturkan petani dengan perusahaan. Alih-alih, petani yang dikriminalisasi, sementara perusahaan terus lenggang beroperasi.

Pun, dengan UU Pangan No 18 Tahun 2012 justru menguntungkan perusahaan karena petaninya tetap miskin, harus membeli bibit, pupuk, dan sebagainya. “Bila ingin menciptakan kedaulatan pangan, harusnya petani dahulu yang diperhatikan, sudah berdaulat atau belum?” ujarnya.

Dia pun mengaku cukup bingung dengan kebijakan pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla saat ini yang mencampuradukkan antara konsep “Ketahanan Pangan” dengan “Kedaulatan Pangan”.

Bagi Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, kedua konsep tersebut dicampuradukkan oleh pemerintah maupun lembaga legislatif. Jika ketahanan pangan bersifat murni ekonomi dan kompetitif yang mengacu pada konsep perdagangan liberal internasional ala WTO (World Trade Organization), maka sebaliknya kedaulatan pangan adalah harmonisasi antara petani dan pengelolaan lahan agar tetap terjaga.

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPM) 2015-2019 menyebutkan bahwa kedaulatan pangan merupakan sektor unggulan yang akan diwujudkan dalam strategi pembangunan nasional.

Bagi Andreas, konsep pemerintah saat ini barulah mencoba mencapai swasembada pangan. “Saat ini, kita impor beras 10 persen per tahun atau sekitar 4 juta ton, yang dalam 10 tahun terakhir impor pangan meningkat 346 persen.” Indonesia sendiri berada di urutan 72 dari 109 negara terkait ketahanan pangan.

Andreas kuatir jika petani tidak menjadi subyek kebijakan pertanian, maka ini akan mengulangi apa yang dulu pernah terjadi di era Orde Baru. Bukannya berdaya, petani tergantung kepada benih, pupuk, kredit, sistem infrastruktur dan teknik budidaya yang tidak mereka kuasai. Jangan heran saat petani menjadi obyek, sistem pertanian kita tinggal menunggu kehancuran.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati sebelumnya (09/03), pernah menjelaskan ketidakberdayaan petani akan menyeret petani untuk “tergiur” mengalihfungsikan lahan pertaniannya ke komoditas lain yang lebih produktif, seperti sawit. Atau bahkan menjual lahannya ke usaha non pertanian, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan pangan defisit.

Berdasarkan data penelitian hingga 1 Juli 2014, total pendapatan per rumah tangga petani hanyalah sekitar Rp 12.413.920 atau sekitar Rp 1 juta/bulan yang jauh dari upah minimum regional. Tidak heran jika dari sekitar 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia, sekitar 62,8 persennya adalah petani. Jumlah petani gurem, yang memiliki lahan garapan di bawah setengah hektar pun meningkat dalam 10 tahun menjadi 74,9 persen (2003) jika dibandingkan angka 69,8 (1993).

Andreas berpendapat tidak ada cara lain selain pemerintah harus mendaulatkan petani dahulu baru mendaulatkan pangan. Baginya, terdapat empat hal yang harus diseriusi, yaitu; Pertama memberi petani akses untuk turut menentukan kebijakan baik di level pusat dan daerah. Kedua, memberi petani akses terhadap sumber daya alam produktif, yaitu tanah dan air. Ketiga, petani memiliki akses terhadap permodalan dan asuransi pertanian. Keempat, petani harus dilindungi dari sistem perdagangan internasional yang menghancurkan sistem pertanian.

Sebagai perbandingan, harga beras premium impor di pasaran hanya Rp 7 ribu/kg, sementara harga produksi di tingkat petani berkisar Rp 10 ribu/kg.

Perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Sumber: Presentasi Dwi Andreas Santosa
Perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Sumber: Presentasi Dwi Andreas Santosa

RUU Kedaulatan Pangan

Melihat situasi ini, Ketua Bidang Kajian Strategis Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia, Yeka Hendra Fatika, mencurigai adanya skenario yang tetap menginginkan Indonesia sebagai pasar pangan terbesar di Asia. Menurutnya, Indonesia berada di bawah cengkeraman perusahaan multinasional yang berniat melumpuhkan petani di tingkat tapak dan pada akhirnya akan mengancam kedaulatan pangan nasional.

Bahkan, UU No 18/2012 tentang Pangan, sampai sekarang tidak jelas pelaksanaannya. Sudah dua tahun berjalan, rencana pangan yang dilakukan Kementerian Pertanian hingga Dinas Pertanian sekalipun, tidak tampak hasilnya. “Ini yang menimbulkan desakan agar segera dibuat UU Kedaulatan Pangan yang harus masuk agenda Prioritas Baleg 2015,” ujarnya.

Yeka pun sepakat masalah pangan harus diprioritaskan dengan menggandeng petani sebagai pemeran utamanya. Ada dua agenda besar yang akan kita hadapi dalam waktu dekat, yaitu kesiapan menyambut SDGs (Sustainable Development Goals) yang akan dimulai September 2015 serta Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Januari 2016.

Jika dua hal besar ini tidak dipersiapkan dari sekarang, habislah riwayat pangan kita. “Apa masih berani unjuk gigi kedaulatan pangan sementara petaninya terkapar?” pungkasnya.

Nawa Cita menuju Kedaulatan Pangan. Sumber: presentasi Dwi Andreas Santosa
Nawa Cita menuju Kedaulatan Pangan. Sumber: presentasi Dwi Andreas Santosa
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,