, , ,

Laporan WWF Nyatakan Puluhan Juta Hektar Hutan Indonesia Bakal Hilang

Pada periode 2010-2030, Sumatera, Kalimantan dan Papua, berpotensi mengalami deforestasi lebih dari 27 juta hektar kalau tak ada upaya perbaikan tata kelola kehutanan. Faktor terbesar penggerak deforestasi di Indonesia, didominasi perkebunan skala besar dan infrastruktur.  Namun, di Sumatera disebutkan penggerak deforestasi utama pertanian skala kecil dan kolonisasi. Sedangkan tambang dan HTI, dinilai tak menjadi ancaman penting lagi sebagai pendorong deforestasi di ketiga pulau itu.  Demikian hasil laporan bagian terakhir dari WWF Living Forest Report, Saving Forests at Risk,  yang dirilis Selasa (28/4/15) di Jakarta, bersamaan dengan acara Tropical Landscapes Summit 2015.

Laporan itu menyebutkan, dalam masa 2010-2030, diperkirakan 170 juta hektar atau 80% hutan dunia hilang di 11 daerah yang disebut deforestation fronts. Wilayah-wilayah itu adalah, Amazon, Atlantic Forest dan Gran Chaco, Borneo, Cerrado, Choco-Darien, Congo Basin, Afrika Timur, Bagian Timur Australia, Greater Mekong, New Guinea (termasuk Papua dan Papua Barat) dan Sumatera.

“Tekanan utama terhadap hutan di 11 wilayah itu antara lain perkebunan skala besar, peternakan komersial, infrastuktur, sampai perkebunan skala kecil,” kata Rodney Taylor, Direktur Program Hutan WWF Internasional di Jakarta.

Tampak dalam tabel penggerak deforestasi itu, di Sumatera dengan lima juta hektar hutan hilang, terutama oleh perkebunan skala kecil, kolonisasi dan infrastruktur. Sedang perkebunan besar, HTI maupun tambang dinilai bukan pemicu nomor wahid deforestasi.

Di Kalimantan,  dengan perkiraan kehilangan 22 juta hektar, penggerak utama deforestasi hanya perkebunan skala besar.  Sedang di New Guinea, mencakup Papua dan Papua Barat, dengan prediksi tujuh juta hektar hutan hilang faktor utama kerusakan perkebunan skala besar. “Katagori ini tak terlalu sientifik. Itu pandangan ahli. Ini proyeksi masa depan kala tak ada perbaikan,”ucap Taylor.

Budi Wardhana, Direktur Kebijakan dan Transformasi WWF Indonesia mengatakan, sebetulnya deforestasi di Indonesia pada level nasional dari tahun ke tahun menurun. Namun, katanya, ada beberapa hal perlu diamati seperti kecenderungan kenaikan dalam lima tahunan.

“Kalau dari tahun ke tahun ada penurunan, tapi kalau kita ambil faktor penggerak deforestasi, 20012-2014 ada kecenderungan mulai naik lagi. Ini punya nilai koresasi dengan nilai delapan. Model yang bisa dipercaya untuk menggambarkan kondisi ke depan,” ujar dia.

Menurut dia, pengumpulan data dalam 10 tahun, rata-rata deforestasi, terjadi di kawasan-kawasan bukan kehutanan, misalkan, perkebunan, pertanian, infrastuktur.

Dari laporan itu, terlihat juga ada 13% kawasan lindung dan konser terdeforestasi. Penyebabnya, bisa karena pemberian izin tak singkron, atau pengawasan lemah.

Titik-titik wilayah dan besaran deforestasi termasuk di tiga pulau di Indonesia. Sumber: WWF
Titik-titik wilayah dan besaran deforestasi termasuk di tiga pulau di Indonesia. Sumber: WWF

Di Sumatera, katanya,  deforestasi terjadi di hutan produksi dan konservasi yang menunjukkan tak ada pengawasan. Di daerah ini, juga terjadi trend kenaikan deforestasi pada tahun-tahun pilkada. “Kalau diteruskan pola seperti ini, ada kecenderungan naik.” Dia mengatakan, 21% wilayah konservasi di Indonesia di Sumatera. “Di tesso Nillo itu hampir 50% deforestasi,” ujar dia.

Untuk Kalimantan, 54% pembukaan kawasan hutan bukan untuk kepentingan kehutanan seperti perkebunan sawit. Sedang tekanan terhadap kawasan lindung dan konservasi relatif kecil, berkisar 4%. “Sama, terjadi peningkatan deforestasi pada masa-masa pilkada.”

Sedang di Papua, tekanan terhadap hutan terjadi cukup besar di kawasan konservasi dan hutan konversi. Pembukaan kawasan untuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) menjadi pendorong deforestasi penting di wilayah ini.

Budi mengatakan, laporan WWF ini adalah skenario bila tak ada perbaikan keadaan dalam mengurangi tekanan hutan. “Jangan lupa, kalau di hutan itu rumah masyarakat adat dan keragaman hayati. Satwa-satwa itu bertahan adalah indikator kesehatan hutan. Fungsi beri tanda, kita harus mengendarai, dan mengkonsumsi alam dengan benar agar masa depan aman.”

Solusi

Dari temuan laporan ini, kata Taylor, WWF mengusulkan beberapa solusi mengatasi tekanan terhadap hutan. Pertama, memperluas dan memperkuat perlindungan hutan. Yakni, dengan memperbaiki tata kelola kawasan lindung dan konservasi termasuk melindungi masyarakat adat.

Kedua, meningkatkan nilai jasa ekosistem. Hutan, katanya, memberikan banyak manfaat dari pasokan air bersih, sampai ‘rumah’ bagi spises dan situs-situs budaya.

Ketiga, perluasan skala REDD+. Dengan skema REDD+, menyediakan insentif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, bisa membantu mengurangi ancaman terhadap hutan.

Keempat, zero deforestasi. Di mana perusahaan-perusahaan berkomitmen dan menjalankan bebas deforestasi dari rantai pasokan mereka. Kelima, pembangunan infrastruktur yang ramah hutan dan lingkungan. Proses ramah hutan ini, katanya, dilakukan dari pembiayaan, pembangunan sampai kebijakan infrastruktur seperti jalan, bendungan dan tambang. Pengamanan hutan mesti dibangun dalam semua proyek infrastruktur.

Di Indonesia, katanya, moratorium izin di hutan dan lahan gambut bisa menjadi kesempatan mengkaji langkah-langkah dalam menghentikan deforestasi dan mengembangkan ekonomi lebih hijau.

Sebelumnya, bagian lain dari The Living Forests Report yang telah diluncurkan adalah: Forests for a Living Planet; Forests & Energy; Forests & Climate dan Forests & Wood Products. Laporan lengkap bisa dilihat di sini.

Faktor penyebab tekanan terhadap hutan di 11 wilayah di dunia, termasuk di Indonesia. Sumber: WWF

Faktor penyebab tekanan terhadap hutan di 11 wilayah di dunia, termasuk di Indonesia. Sumber: WWF
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,