,

Belajar dari Pahmungan, Adat Terus Menjaga Repong Damar

Jemi Delvian, vokalis dan penulis lagu dari Hutan Tropis Band, sebuah kelompok musik peduli lingkungan hidup, tampak tertegun dengan kerimbunan dan hijaunya repong damar di Pekon (Desa) Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Dia tak menyangka repong seluas 17.500 hektar tersebut ditanam oleh warga turun-temurun. Jemi awalnya menyangka repong damar tersebut adalah bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

“Kami menyebutnya kebun atau hutan adat. Tapi ada juga yang menyebutnya hutan desa,” kata Efendi (34) yang akrab dipanggil “Bawon”, warga Pekon (desa) Pahmungan, pekan lalu. “Secara ekologis repong damar ini nilainya tinggi. Selain sebagai penyangga kawasan TNBBS, juga sebagai daerah tangkapan air, dan menjadi habitat sejumlah burung dan binatang lainnya,” kata Jemi. “Wajar saja jika daerah ini menerima Kalpataru pada 1997 lalu,” sambungnya.

Kekaguman Jemi terhadap repong damar cukup beralasan. Kesan hijau dan teduh sangat dirasakan pada wilayah yang jaraknya sekitar lima kilometer dari garis pantai yang menghadap langsung Samudera Hindia tersebut.

Pohon-pohon damar mata kucing (Shorea javanica) yang menjulang tinggi, rimbun, yang bercampur dengan tanaman hutan lainnya seperti duku, durian, manggis, petai, jengkol, nangka, cempedak, serta ramainya kicauan burung.

Apa yang menyebabkan repong damar terjaga hingga saat ini?

“Adat kami yang menjaganya. Kami menjaga repong damar karena ini merupakan peninggalan leluhur kami, puyang kami. Jika kami merusaknya, kami takut kualat,” kata Bawon yang memiliki dua anak ini.

“Pohon damar yang ditebang hanya yang berusia tua. Itu pun untuk kepentingan yang jelas, seperti untuk membuat rumah. Kalau ada pohon damar yang roboh boleh saja diolah,” ujarnya.

Memang dengan kondisi ekonomi yang kian tidak baik ini, sementara harga getah damar di tingkat petani kurang baik sekitar Rp15 ribu per kilogram, menyebabkan sejumlah warga menjual atau menebang pohon damarnya. “Tapi dia terkena sanksi dari masyarakat. Selain terus menjadi bahan pembicaraan, juga diwajibkan menanam kembali pohon damar,” ujar Bawon.

Dulu, tahun 1980-an, kata Bawon, berdasarkan informasi yang didapatkannya dari orangtuanya, saat berlangsung “revolusi hijau” yang dijalankan pada era pemerintahan Soeharto, pernah ada perusahaan yang ingin membuka perkebunan sawit di area repong damar. Banyak pohon damar yang ditebang. “Warga melawan dan protes. Akhirnya perkebunan sawit tersebut terhenti,” ujarnya.

Untuk membuat sebuah repong damar, jelas Bawon, tidaklah mudah. Perlu kerja keras dan keuletan. Pohon damar mata kucing merupakan salah satu species famili Dipterocarparceae sangat sulit dikembangkan.

“Bawalah bibit ini ke daerah lain, mungkin sulit tumbuh. Kalaupun tumbuh, mungkin tidak menghasilkan getah. Di sini saja sulit tumbuh jika lahannya tidak dikelola secara baik.”

Adapun tahapan membuat repong damar. Pada tahun pertama, yakni tahapan darak, yakni membuka lahar belukar yang kemudian dilakukan penanaman padi, sayuran dan buah-buahan.  Tahun kedua, kembali menanam padi dan kopi.

Tahun ketiga hingga delapan, penanaman bibit damar, pohon buah-buahan, di sela-sela tanaman kopi. Selanjutnya pohon damar ditunggu hingga 20 tahun untuk disadap. Repong damar yang sudah dibuat oleh satu kepala keluarga tidak akan digugat warga lainnya. Ini berlaku hingga keturunan mereka.

Jemi Delvian, vokalis Hutan Tropis Band yang tengah menyadap getah damar di Pekon Pahmungan. Foto: Taufik Wijaya
Jemi Delvian, vokalis Hutan Tropis Band tengah mencoba menyadap getah damar. Foto: Taufik Wijaya

Setelah dua kali gagal memanjat pohon damar di kebun milik warga, Jemi akhirnya mampu memanjat pohon damar dengan menggunakan seutas tali dan kakinya menginjak lubang patik yang sudah diambil getahnya. Setelah mengambil getah damar dari sejumlah lubang patik, dia pun kelelahan.

Capek betul. Kalau melihatnya seperti gampang nian,” kata Jemi.

Ternyata pekerjaan yang cukup melelahkan dan berisiko terjatuh itu, bukan hanya dilakukan kaum lelaki. Para ibu pun melakukannya.

“Tidak pernah kejadian jatuh yang membuat warga menjadi cidera atau meninggal dunia. Yang baru belajar ada saja yang jatuh. Tapi jatuhnya tidak terlalu tinggi,” kata Bawon.

Hampir semua warga dari 350 kepala keluarga di Pekon Pahmungan, hidupnya bergantung dengan repong damar.

Beragam pekerjaan yang lahir dari repong damar. Penyadap getah sekaligus pemilik kebun, kemudian penghadang atau penampung getah damar dari petani, portir atau buruh pengangkut, penyortir, pedagang pengumpul, hingga eksportir damar.

Pohon damar yang akan disadap getahnya, harus dibuat takik yang berbentuk lupis. Pohon damar berukur sedang, dapat dibuat tiga lajur takik. Yang berukuran besar hingga empat lajur takik.

Peremajaan. Pohon-pohon damar muda yang ditanam warga. Foto: Taufik Wijaya
Peremajaan. Pohon-pohon damar muda yang ditanam warga. Foto: Taufik Wijaya

Getah yang keluar dan tertampung ditakik akan diambil setelah 30 hari. Getahnya sudah kental dan tidak lengket di tangan. Setiap takik pada pohon damar yang baik, dapat menghasilkan setengah kilogram getah. Tapi umumnya sekitar seperempat kilogram. Namun saat harga getah damar rendah, petani terkadang mengambil getahnya seminggu sekali. Getah damar yang encer dan lengket itu kemudian dioplos dengan tepung terigu.

Saat diambil pemanjat, getah ini ditampung dalam tembilung, wadah berbentuk kerucut yang terbuat dari pelepah pinang. Getah itu kemudian dikumpulkan dalam bebalang atau keranjang bulat panjang yang terbuat dari rotan yang mampu menampung 50 kilogram getah damar.

Saat diturunkan, getah damar di dalam bebalang ini langsung dibeli oleh penghadang. Kemudian dibawa buruh angkut ke tempat penyortiran. Kenapa disortir? Karena getah yang diambil dari pohon banyak bercampur dengan ranting, daun, atau serpihan kayu. Kondisi getah damar ini disebut damar asalan.

Selain membersihkan kotoran, getah damar juga dibagi berdasarkan ukuran dan gradenya. Ada tiga kualitas, kualitas A yakni getah damar berwarna kuning bening dan berbentuk bongkahan dengan ukuran diameter lebih dari 3 cm, kualitas B getah damar yang agak kotor dengan ukuran bongkahan 1-3 cm, dan kualitas C untuk getah damar berupa bongkahan dengan ukuran 0,5 -1 cm.

Suasana pemukiman di Pekon Pahmungan. Foto: Taufik Wijaya
Suasana pemukiman di Pekon Pahmungan. Foto: Taufik Wijaya
Depot kayu yang tak jauh dari Pekon Pahmungan. Sebagian besar kayu yang dijual kayu damar. Foto: Taufik Wijaya
Depot kayu yang tak jauh dari Pekon Pahmungan. Sebagian besar kayu yang dijual kayu damar. Foto: Taufik Wijaya

Hasil sortiran, oleh penghadang dijual kepada pengumpul di desa, kemudian dijual pengumpul besar yang kemudian dijual kepada eksportir di Jakarta.

Selain mengandalkan getah damar, masyarakat di Pekon Pahmungan, juga mengandalkan pendapatan dari buah tahunan seperti duku, durian, petai, manggis, atau jengkol. “Ya, apa yang ada di dalam kebun. Tidak semua kebun memiliki banyak pohon buahan itu. Kalau kebun saya termasuk yang lengkap,” kata Rodayah (58).

Jemi menilai apa yang diperjuangkan masyarakat di Pekon Pahmungan merupakan bentuk pelajaran yang baik bagi pemerintah maupun masyarakat di sekitar hutan lainnya di Indonesia.

“Pelajaran penting yakni bagaimana adat mampu menjaga hubungan harmonis masyarakat dengan hutan. Jika adat seperti ini di daerah lain di Indonesia, khususnya di Sumatera terjaga, maka hutan kita pun akan selamat dan lestari,” katanya. “Keberadaan Pekon Pahmungan sebagai bukti hutan adat lebih ampuh dibandingkan aturan lainnya,” tegas Jemi.

Namun pemerintah harus tetap hadir. Selain mengatur stabilitas harga getah damar, juga membantu kebutuhan lainnya dari masyarakat. Baik terkait pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik lainnya.

“Semua warga di sini rata-rata berpendidikan SLTA. Mereka membiayai sendiri pendidikannya. Coba kalau ada program pendidikan gratis untuk SLTA, mungkin sudah banyak yang dapat kuliah,” kata Jemi yang berjanji akan membuat sebuah lagu mengenai repong damar di Pesisir Barat Lampung.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,