,

Burung Bermigrasi, Apa yang Dicari?

Istilah migrasi bukan hanya dikenal oleh manusia, tetapi juga ada dalam kehidupan burung. 

Dalam kamus Dictionary of Birds disebutkan bahwa migrasi merupakan pergerakan populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiaknya itu tidak memungkinkan. Di tempat baru tersebut, burung-burung ini tidak akan berbiak, dan baru berbiak jika sudah kembali ke tempat asal pada musim berbiak berikutnya (Campbell, 1985).

Berkaca dari makna tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan migrasi yang dilakukan burung tersebut merupakan cara untuk beradaptasi berkaitan dengan ketersedian pakannya di alam akibat perubahan cuaca di tempat asalnya.

Secara garis besar, migrasi burung ini dapat dicermati dari lokasi dan waktu. Berdasarkan lokasi, migrasi ini terbagi atas migrasi arah (latitudinal migration) yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kondisi alam yang lebih baik, dan migrasi ketinggian (altitudinal migration). Untuk yang ini, perpindahan dilakukan karena perbedaan ketinggian di tempat hidupnya, bisa jadi karena bencana alam.

Sementara, migrasi berdasarkan waktu dikenal dengan istilah migrasi balik (return migration). Migrasi balik inilah yang paling populer yaitu burung yang berada di belahan bumi utara kala musim dingin datang akan berangkat ke bumi belahan selatan yang sedang musim panas. Tujuannya jelas untuk mencari makan. Ketika musim dingin di tempat asalnya, barulah ia akan kembali lagi.

Burung pemangsa, misalnya. Untuk mencapai Indonesia yang berada di ujung selatan Jalur Asia Timur (Eastern Asia Flyway), mereka akan bermigrasi melalui dua koridor. Koridor pertama adalah Koridor Daratan Timur (Eastern Inland Corridor) yang melalui jalur ini para raptor akan terbang dari tenggara Siberia melalui timur Tiongkok menuju semenanjung Malaysia, lalu mendarat di Indonesia yaitu Jawa, Bali, dan Lombok. Sementara Koridor Pasifik (Pacific Corridor) akan dilalui oleh burung-burung dari timur Rusia yang melewati Kepulauan Jepang dan Taiwan, lalu ke selatan Filipina dan menepi di wilayah Sunda Besar.

Peta jalur migrasi burung pemangsa. Sumber: Raptor Indonesia

Diperkirakan, sekitar satu juta individu burung pemangsa ini akan melintasi Koridor Daratan Timur yang panjangnya diperkirakan sekitar tujuh ribu kilometer.  Sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus) maupun elang-alap nipon (Accipiter gularis) selalu menggunakan jalur ini saban tahunnya. Sedangkan yang mengunakan jalur Koridor Pasifik yang diperkirakan panjangnya sekitar lima ribu kilometer ini adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis) maupun elang buteo (Buteo buteo).

Pada dasarnya, jalur yang dipakai burung-burung ini saat migrasi merupakan jalur yang tetap. Umumnya, wilayah daratan yang digunakan dan menghindari perairan terlebih yang lebarnya mencapai 25 kilometer. Karena jalurnya yang tetap ini, pengembaraan yang dilakukan kala menuju maupun meninggalkan tempat persinggahannya kala musim dingin tersebut dapat diketahui.

Wilayah yang akan dilaluinya ini memiliki tanda seperti daratan yang sempit, punggung bukit yang panjang, maupun daerah semenanjung. Mengapa daerah seperti ini yang dicari? Karena, koridor ini terbukti ampuh dalam hal menghemat energi serta dapat menghindari perairan lebar yang pastinya butuh energi besar untuk melintasinya.

Trinil-lumpur asia (Limnodromus semipalmatus) yang sudah memiliki tagging bendera oranye-hitam, kode burung pantai migrasi yang singgah di Sumatera. Foto: Iwan Londo

Indonesia wilayah penting

Sebagai negara yang merupakan jalurnya burung migrasi, wilayah Indonesia memiliki lokasi yang telah teridentifikasi sebagai daerah persinggahan burung. Bukan hanya burung pemangsa, tetapi juga burung pantai, burung laut dan burung paserin guna menghindari cuaca ekstrim yang tengah berlangsung di negara asalnya.

“Ancaman utama yang dihadapi para burung dalam pengembaraannya adalah hilangnya habitat alami akibat pembangunan juga alih fungsi lahan. Pengaruh teknologi energi juga perlu diperhatikan meski harus ada penelitian. Indonesia hasil peduli dengan kondisi ini,” ungkap Fransisca Noni dari Burung Nusantara saat Perayaan Hari Migrasi Burung Sedunia atau World Migratory Bird Day (WMBD) 2015 di Hutan Lindung Angke-Kapuk, Jakarta, Sabtu (9/05/15).

Perayaan Hari Migrasi Burung Sedunia di Jakarta. Foto: Shinta Idriyanti
Perayaan Hari Migrasi Burung Sedunia di Jakarta. Foto: Shinta Idriyanti

Sebanyak 16 titik pengamatan yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Nusa Tenggara yang dikoordinir oleh gabungan kelompok pengamat burung, lembaga swadaya masyarakat (LSM), komunitas fotography dan pemerintah setempat memberi perhatian penuh perayaan tahunan yang kali ini berlangsung pada 9 dan 10 Mei 2015. “Dengan mengusung tema  “Energy – Make it Bird Friendly!” diharapkan keberadaan burung migrasi ini tetap terjaga kelestariannya,” urai Noni.

Adam Komara Sudrajat, Koordiantor WMBD Jakarta, menuturkan bahwa dampak dari pembangunan dan teknologi masa kini berpengaruh terhadap habitat burung endemik Indonesia. Bahkan, berdampak pada tidak tersedianya ruang singgah bagi burung pengembara akibat hilangnya habitat mereka yang telah berganti perumahan atau daerah industri . Sebagaimana yang terlihat di Hutan Lindung Angke-Kapuk.

“Berdasarkan pengamatan, jenis seperti burung gereja dan tekukur hanya mencari makan dan bersosial di jalan atau dekat bangunan. Sedangkan jenis lain seperti tangkar centrong, kareo padi, kipasan belang, dan remetuk laut hanya mencari pakan dan terbang di seputaran hutan lindung. Hutan ini penting sebagai perlindungan terakhir burung di Jakarta,” ujarnya.

Burung migran di Pantai Trisik, Yogyakarta. Foto: Aji Wihardandi

Rochmat Jati Saputro, anggota klub pengamat burung Kepak Sayap Universitas Negeri Solo, menuturkan minimnya lokasi singgah seperti hutan kota, menyebabkan burng migrasi kesulitan mencari tepat istirahat. Padahal di lokasi persinggahan itu, para burung pendatang tidak sekadar istirahat tetapi juga mencari makan. “Di Solo, menjelang sore, ratusan layang-layang batu bertengger di kabel bahkan lampu penerang kota akibat kurangnya ruang hijau,” jelasnya.

Sementara dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, dari hasil pengamatan diketahui bahwa terik australia, jenis gajahan, jenis cerek, trinil, dan jenis biru laut singgah di wilayah tersebut. “Artinya, Kupang merupakan salah satu lokasi persinggahan burung pantai yang penting untuk dijaga kelestarian wilayahnya,” ungkap Oki Hidayat dari Kupang Birdwatcher Society.

Sebagai wilayah penting persinggahan burung, Noni berharap, pembangunan wilayah Indonesia tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi semata. Tetapi, harus berwawasan lingkungan yang tidak perlu ditawar lagi. Bila wilayah persinggahan burung berupa hutan maupun lahan basah hilang maka secara nyata kita telah menghancurkan kehidupan burung migran tersebut. “Pembangunan harus dilakukan, namun teknologi ramah burung dan ramah satwa liar harus diciptakan yang merupakan tantangan kita bersama mewujudkannya,” jelas Noni.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,