,

Peta Jalan, Menuju Pengakuan Hak dan Wilayah Adat di Pulau Enggano

Para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama dengan para kepala suku, pemerintah, akademisi, jurnalis dan penggerak organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan workshop untuk merumuskan peta jalan pengelolaan pulau Enggano (23-25/05). Pulau Enggano termasuk wilayah terluar NKRI yang terletak di pesisir Bengkulu dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Peta jalan itu, pertama, mengupayakan pengakuan kelembagaan adat dalam sistem pemerintahan desa yang diputuskan dengan surat keputusan kepala daerah, kedua, mengupayakan pengakuan hak-hak atas tanah adat yang diputuskan dengan surat keputusan kepala daerah, dan ketiga, membentuk desa adat yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pulau Enggano termasuk gugus kepulauan terluar Indonesia, memiliki luas 37.971 hektar dan didiami 3.400 jiwa. Berdasarkan sejarah, awalnya masyarakat adat Enggano terdiri dari suku Ka’ahoa, Kaitora dan Ka’arubi. Sempat berkembang menjadi 44 suku, namun akibat perperangan antar suku dan wabah penyakit, jumlah suku berkurang dan tinggal menjadi lima suku. Yakni, Ka’ahoa, Kaitora, Ka’arubi, Kauno dan Kaharuba. Selanjutnya, masyarakat adat Enggano menetapkan dan memberikan nama suku Kaamay kepada para pendatang.

Dalam struktur lembaga adat, tiap suku dipimpin oleh kepala suku. Dari enam kepala suku tersebut dipilih salah seorang sebagai koordinator kepala suku. Dalam menjalankan tugasnya, kepala suku dibantu kepala pintu suku. Saat ini, jumlah kepala pintu suku berjumlah 14 orang. Secara administrasi pemerintahan, warga enam suku Enggano berdomisili Desa Malakoni, Meok, Banjarsari, Kaana, Apoho, dan Kahyapu.

Fasilitator kegiatan ini, Yanto Zakaria, mantan staf ahli RUU Desa DPR RI, meminta agar hasil rumusan dan kesepakatan ini dapat dikonsultasikan kepada warga suku yang ada. Menurutnya, tantangan masyarakat adat Enggano untuk memperoleh pengakuan hak dan wilayah adat tidaklah ringan. Di satu sisi, warga suku harus memiliki pemahaman yang tepat mengenai desa adat, sehingga tidak ada yang salah menafsirkannya. Di sisi yang lain, ada kecenderungan pemerintah daerah mengalami kegamangan dengan desa adat.

“Bisa saja dibentuk satu desa adat dengan wilayah satu pulau atau enam desa adat, tergantung kajian dan kesepakatan warga suku,” terang Yando mengenai jumlah desa adat yang potensial dibentuk. Diapun menambahkan bahwa pemerintah masih berorientasi pada stabilitas keamanan politik dan belum meyakini tentang multikulturalisme dan keberagaman masyarakat.

Harus Didukung Semua Pihak

Koordinator Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan LIPI, Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D mengatakan, workshop dilaksanakan untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Enggano memperoleh pengakuan hak dan wilayah adat. Bila diakui, maka masyarakat adat Enggano dapat melakukan pengelolaan sumberdaya alam sesuai dengan hukum adat dan kearifan yang dimiliki.

Menurut Dedi, banyak hasil penelitian membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat lebih efektif, adil dan berkelanjutan dibandingkan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh negara.

“Mengembalikan pengelolaan sesuai hukum adat tidak berarti mengadopsi seutuhnya seperti pada zaman dahulu, tetapi tetap perlu menyesuaikannya dengan realitas kekinian dan mengantisipasi masa depan,” kata Dedi sembari menambahkan LIPI juga telah menurunkan tim peneliti untuk meneliti potensi keanekaragaman hayati dan ancaman perusakan lingkungan di pulau Enggano.

Peta tata guna lahan hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat Enggano.
Peta tata guna lahan hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat Enggano. Klik pada gambar untuk memperbesar

Pakar hukum adat dari Universitas Bengkulu Andri Harijanto, SH, M.Si mengatakan, syarat agar masyarakat adat memperoleh pengakuan atas hak dan wilayah adatnya adalah adanya masyarakat adat, adanya wilayah adat, adanya harta kekayaan bersama milik masyarakat adat, adanya hukum adat, dan adanya struktur atau fungisonaris hukum adat, yang semuanya sudah dimiliki oleh Masyarakat Adat Enggano. Sehingga, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah enggan mendukung perjuangan Masyarakat Adat Enggano.

“Praktek eksploitasi sumber daya alam yang telah dan masih terjadi di Pulau Enggano harus segera dihentikan. Bila tidak, penghancuran yang terjadi. Untuk menyelamatkan pulau Enggano dari kerusakan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum adat adalah jawabannya,” jelasnya.

Menurut Andri, yang pernah lama melakukan penelitian hukum adat Enggano, pengelolaan sumberdaya alam yang mempedomani hukum adat akan berdampak positif untuk menekan laju kerusakan lingkungan di Enggano, yang merupakan ekosistem pulau yang tergolong rentan.

Sejauh ini, penggunaan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak tertata dengan baik di Enggano telah mengakibatkan abrasi sepanjang sepuluh meter dan pemukiman warga mulai digenangi banjir. “Selama ini belum pernah terjadi (banjir). Pertengahan bulan April lalu, pertama kali terjadi. Padahal, hujan yang turun hanya setengah hari,” tutur Harun, salah satu perwakilan masyarakat asal Enggano.

Mengacu aturan adat, sambung Harun, pemanfaatan sumber daya alam harusnya tidak bersifat eksploitatif. Misalnya, penebangan kayu hanya diperbolehkan untuk membangun rumah, tidak untuk diperjualbelikan. Pohon yang tumbuh di pinggir sungai, pesisir pantai dan bakau dilarang untuk ditebang. Warga suku yang melakukan penebangan juga diwajibkan melakukan penanaman kembali, termasuk mengelola berbagai jenis keragaman hayati alam termasuk satwa seperti beo, betet, rusa, sapi dan kerbau liar, penyu dan buaya. “Penangkapan tidak boleh untuk tujuan diperjualbelikan,” jelas Harun.

Harun pun berharap aturan yang dibuat ini dapat mengakui hak-hak adat untuk pengelolaan lahan, termasuk masyarakat memiliki hak untuk memutuskan menerima atau menolak investasi luar yang akan masuk ke pulau.

“Kami khawatir, tanah adat kami yang kini masih diklaim sebagai milik negara diincar oleh pemilik modal untuk digunakan membuka perkebunan sawit. Kalau saja diberi izin oleh pemerintah untuk pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran, masyarakat adat Engganolah yang terancam,” jelasnya. Harun meyakini pembukaan perkebunan sawit akan mengancam keberlanjutan sumber-sumber mata air dan aliran air di Enggano.

Camat Enggano, Marlansius dalam sambutannya mengatakan, pengakuan hak dan wilayah adat Enggano diperlukan untuk kejelasan dan kepastian. Marlansius sangat mendukung perjuangan masyarakat adat Enggano dan siap memfasilitasi upaya-upaya yang dilakukan sesuai kewenangannya.

“Kalau sudah ada ketetapan [pengakuan], saya yang akan pertama kali mempertahankan hak masyarakat adat Enggano. Jadi, tidak akan ada lagi istilah masyarakat adat Enggano disisihkan atau ditinggalkan dalam pelaksanaan pembangunan,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,