,

Satgas : Pelanggaran Peraturan Kapal Tertinggi Ada Di Maluku

Deputi Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Yunus Husein,  dalam rapat koordinasi dengan jajaran aparat penegak hukum dalam bidang tindak pidana penangkapan ikan ilegal di Ambon Kamis pekan lalu (04/06/2015) menjelaskan bahwa Maluku menempati urutan pertama jumlah pelanggaran kepatuhan kapal.

“Perairan Maluku merupakan wilayah dengan angka pelanggaran tertinggi di Indonesia yang melibatkan 350 kapal bermasalah. Mayoritas pelanggaran terjadi di sekitar kepulauan Aru,” kata Yunus dalam siaran pers yang diterima Mongabay pada Senin (08/06/2015).

Satgas menemukan bahwa 95 persen kapal-kapal bermasalah di perairan Maluku tersebut mempekerjakan nahkoda dan ABK asing tanpa surat-surat lengkap, memiliki banyak bendera, VMS yang tidak aktif sehingga posisi kapal tidak dapat diketahui.

Kapal-kapal tersebut juga kerap melakukan transshipment ilegal dan membawa bahan bakar ilegal. Dalam kasus Benjina, terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, imigrasi, perdagangan manusia dan kerja paksa.

Dalam upaya pemetaan kepatuhan kapal, tim Satgas juga menemukan 200-an pelanggaran di Sulawesi Utara, 150 di Bali, 140 di Papua, 90 di Papua Barat, dan 60 pelanggaran di Kepulauan Riau. Sama halnya dengan pelanggaran di perairan Maluku, dengan tambahan pelanggaran seperti penangkapan dan ekspor ikan yang dilindungi, impor barang illegal, badan hukum fiktif serta mark-down ukuran berat  kapal.

“Sesuai dengan strategi kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebanyak 62 kapal bermasalah telah ditenggelamkan guna memberikan efek gentar,” ujar Yunus.

Dia menjelaskan satu kapal Malaysia ditenggelamkan di perairan Aceh; 28 kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Kepulauan Riau; satu kapal Malaysia di Sumatera Utara, 6 kapal dari Vietnam, Thailand dan Cina ditenggelamkan di Kalimantan; 9 kapal Indonesia ditenggelamkan di Papua, dan 17 kapal dari Filipina dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Sulawesi Utara.

Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro
Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan ditemukannya laporan kapal ikan yang melanggar ketentuan Undang-undang No.45/2009 tentang Perikanan menunjukkan bahwa pencurian ikan (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing) telah merugikan bangsa Indonesia dalam jumlah yang cukup besar.

“KIARA menyebut sedikitnya Rp30 triliun dari ikan yang dicuri dan Rp80 triliun dari potensi pajak dan PNBP yang hilang,” kata Halim yang dihubungi Mongabay pada Senin (08/06/2015).

‎Dia melanjutkan laporan Satgas Illegal Fishing tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengumuman kepada publik, perbaikan/penguatan kebijakan dan penindakan hukum secara tegas kepada kapal ikan, baik korporasi maupun perorangan

‎Mengenai penegakan hukumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan harus ambil peran aktif untuk melakukan dialog secara intensif dengan para penegak hukum, seperti Kepolisian RI, Panglima TNI (membawahi TNI AL), Bakamla, Jaksa Agung dan Hakim Pengadilan Perikanan

Indonesia juga perlu meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam memerangi IUU Fishing. “Dalam konteks inilah, peran Pemerintah Indonesia harus lebih aktif, terutama menyediakan ruang dan insentif bagi masyarakat pelaku perikanan skala kecil dalam mengamankan perairan nasional dari ancaman kedaulatan, keberlanjutan sumber daya laut bagi kesejahteraan masyarakat,” lanjutnya.

Halim melihat koordinasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan belum cukup maksimal dan belum terkoordinasi dengan aparat penegakan hukum yang lain. Bahkan belum sepehaman. “‎Belum menusuk jantung pemahaman mereka,” tambahnya.

Penguatan pengadilan perikanan

Terkait penegakan hukum kasus kelautan dan perikanan, Mahkamah Agung (MA) didukung Uni Eropa dan United Nations Development Programme (UNDP) melakukan penguatan koordinasi dan penanganan perkara-perkara kelautan dan perikanan di Maluku.

MA bekerja sama instansi terkait seperti KKP, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian Daerah, Pengadilan Tinggi Maluku dan Pengadilan Negeri Ambon, menggagas upaya-upaya pembentukan tim ahli, perumusan modul pelatihan dan Panduan Teknis Lapangan serta pembentukan satuan pelatih, yang direncanakan rampung sebelum akhir 2015.

“Upaya penegakan hukum bidang perikanan dan kelautan memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga nomenklatur pengadilan perikanan mempersempit cakupan penanganan masalah ini karena terdapat banyak isu lain dalam penanganan perkara  perikanan dan kelautan.” jelas Kepala Bagian Program Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, Abdullah dalam rapat tim ahli di Ambon.

Abdullah mengungkapkan bahwa kondisi penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan saat ini masih terhalang oleh penerapan pasal-pasal hukum yang sangat lemah, keterbatasan keterampilan dan pengetahuan penegak hukum dalam menerapkan dakwaan yang non-konvensional/korporasi, minimnya koordinasi antar penyidik dan antar kementerian-lembaga, dan penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi hasil putusan pengadilan. Selain itu, ada keterbatasan sumberdaya dan anggaran pemerintah dalam menangani perkara-perkara perikanan dan kelautan.

Minimnya hakim dan jaksa yang telah bersertifikasi perikanan juga merupakan hambatan penanganan dan penyelesaian perkara. Untuk jaksa, selama ini belum ada penunjukan jaksa khusus perikanan, tetapi masih harus ditangani oleh jaksa umum yang juga menangangi kasus lain seperti tipikor. Selain itu, kemampuan Badiklat masih sangat terbatas dan tergantung dengan permintaan untuk pelatihan sertifikasi jaksa perikanan.  Hal ini mempengaruhi proses penyusunan tuntutan, dakwaan dan pembuktian yang dilakukan oleh kejaksaan.

Sedangkan pakar peradilan UNDP, Bobby Rahman, menjelaskan bahwa kejahatan sektor kelautan dan perikanan merupakan kejahatan lintas sektor. Sehingga perlu perlu undang-undang lain untuk menjerat pelaku.

“Ada begitu banyak pelanggaran terkait lainnya dalam perkara perikanan dan kelautan seperti pelanggaran undang-undang TPPU, suap, gratifikasi dan penghindaran pajak,” jelas Bobby. “Selain itu, banyak pula pelanggaran undang-undang pelayaran, pajak, imigrasi, perikanan, ekspor-impor, PMA, migas, kepabean, hayati, dan masih banyak lagi sehingga penguatan koordinasi jajaran penegak hukum dan pengadilan khusus perikanan harus bersifat mutlak.”

Terkait pendekatan multidoor dalam penanganan perkara perikanan dan kelautan, Bobby menilai masih minim sekali koordinasi dan  pengetahuan tentang UU diluar bidang perikanan sehingga perlu merangkul pihak terkait lainnya serta mengintensifkan upaya-upaya pelatihan  teknis melibatkan Kepolisian (Reskrimsus dan Polair), KKP, PSDKP, TNI AL – Danlantamal, Kejaksaan, Pengadilan Perikanan, Bea Cukai, Imigrasi, Syahbandar Perikanan dan Syahbandar Umum dan Karantina.

Oleh karena itu, MA dan KKP akan mengembangkan modul pelatihan yang mencakup isu-isu tata kelola perikanan (bentuk fisik kapal, bentuk perijinan), tipologi tindak pidana di laut, tindak pidana korporasi, hukum acara dan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan/TP di laut, sistem pembuktian, persamaan persepsi tentang surat dakwaan, eksekusi (barang bukti dan denda), dan integrasi sistem penelusuran perkara. Berbagai pelatihan terpadu ini diharapkan bisa diberikan pada November 2015.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,