,

World Ocean Day, Momentum Perbaiki Data Dan Penelitian Kelautan Indonesia

Setiap tanggal 8 Juni, diperingati sebagai Hari Samudera Dunia atau World Oceans Day. Untuk tahun 2015, Hari Samudera Dunia mengambil tema healthy oceans, healthy planet.  Tema itu dimaksudkan bahwa laut diibaratkan seperti jantung bumi yang memompa darah kehidupan dan terhubung ke setiap makhluk hidup, termasuk manusia di bumi.

Laut berfungsi penting dalam kehidupan di bumi, seperti mengatur iklim, menghasilkan oksigen, menghidupi jutaan orang, menyediakan obat-obatan dan habitat bagi satwa-satwa yang mempesona. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaga dan merawat kondisi laut dunia.

“Kita harus memastikan bahwa laut terus memenuhi kebutuhan kita tanpa mengorbankan orang-orang dari generasi yang akan datang. Laut mengatur iklim planet dan merupakan sumber nutrisi yang signifikan. Laut menjadi bagian penting perdagangan global, sementara isi dalam laut menjadi solusi kebutuhan energi manusia saat ini dan masa depan,” kata Sekjen PBB, Ban Ki-moon dalam laman World Oceans Day.

Mengenai kondisi samudera dunia, Komisi Kelautan Dunia (Intergovernmental Oceanographic Commission/IOC) dari UNESCO mempunyai alat ukurnya, yaitu Ocean Health Index (OHI).

Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan yang dihubungi Mongabay, Senin (08/06/2015) mengatakan ada beberapa indikator OHI, seperti produk alamiah laut, perikanan tangkap, perikanan budidaya, perlindungan kawasan pantai, tempat wisata dan pariwisata, dan kegiatan ekonomi dari laut.

“OHI sebagai gambaran umum untuk membantu kita mengetahui kondisi laut. Nilai OHI dari 0 – 100. Semakin tinggi nilai OHI, akan semakin baik,” kata Alan. Secara keseluruhan, nilai rata-rata OHI global adalah 60, yang berarti kurang baik. Sedangkan nilai OHI Indonesia adalah 62.

“Kita perlu mendetilkan kondisi setiap perairan kita sesuai parameter OHI. Itu akan menjadi dasar kebijakan pengelolaan laut kita. Misalnya bagaimana kebijakan pengelolaan untuk Laut Jawa yang sudah tercemar cukup tinggi,” jelas Alan yang juga Pengamat Isu Kemaritiman Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Dia mengibaratkan OHI sebagai ‘rem’ apabila pembangunan perikanan dan kelautan menjadi ‘gas’.  “Pembangunan itu harus menyesuikan kondisi laut kita. Implikasinya sangat luas, seperti penetapan tata ruang darat dan laut, pembatasan perikanan tangkap dan moratorium,” katanya.

Maka kualitas data perikanan dan kelautan,termasuk OHI menjadi sangat penting untuk menentukan kebijakan pengelolaan laut dan perikanan kita. “Bicara mengenai data, ini momentum untuk memperbaiki kualitas data perikanan dan kelautan kita. Sekarang data stok ikan saja kita belum ketahui pasti. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) baru meluncurkan penelitian stok ikan nasional. Data penangkapan ikan masih simpang siur dan tersebar. Ini momentum untuk merapikan data, sehingga bila parameter itu dimasukkan ke OHI, data yang keluar akan valid,” jelasnya.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando
Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Senada dengan data penangkapan, data mengenai perikanan budidaya laut juga sangat kurang. “Budidaya laut terkait dengan parameter ekonomi dan ketergantungan masyarakat terhadap sekitar sebagai mata pencaharian. Apakah perikanan budidaya sudah optimal? Tapi nelayan kita masih jauh dari sejahtera. Jangan bandingkan dengan nelayan di Jepang dan Korea. Bila kita bandingkan dengan Vietnam saja, keberpihakan terhadap nelayan masih kurang,” jelasnya.

Perikanan budidaya kita masih sangat rendah efisiensinya, sehingga pemerintah perlu membantu dengan peningkatan kemampuan, dan akses permodalan. “Meski sekarang OJK (otoritas jasa keuangan) dan KKP ada Program Jaring. Tapi masyarakat belum merasakan secara riil mengakses modal. Lagi-lagi ini bicara data, siapa yang berhak untuk akses data,” katanya.

Healthy dan wealthy ocean. Saya setuju dengan tema tahun ini. Percuma kalau laut kita sehat, tapi masyarakat belum sejahtera. Nelayan sudah sangat maju, tapi laut tidak berkelanjutan. Bagaimana supaya mensejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir,” katanya.

Sementara, Peneliti Kelautan pada Regional Climate Projections Consortium and Data Facility in Asia and the Pacific, Agus Supangat yang dihubungi Mongabay mengatakan Indonesia belum mempunyai roadmap pengembangan kelautan dan perikanan. Serta belum mempunyai database kelautan yang lengkap dan komprehensif.

“Kita tidak punya data tentang pengaruh pemanasan global di laut dan pengasaman laut. Kita hanya punya data dari modelling. Kita juga tidak punya cukup peneliti dan peralatan untuk mendapatkan data time series kelautan,” katanya.

Oleh karena itu, World Oceans Day menjadi momentum yang tepat untuk membuat roadmap pengembangan pengelolaan kelautan, termasuk lembaga yang terkait, peneliti dan peralatan penelitian. “Ini tugasnya Menteri Koordinator Kemaritiman, mengkoordinasikan lembaga terkait,” tambahnya.

Kapal penelitian Baruna Jaya milik LIPI. Foto : deepsea.lipi.go.id
Kapal penelitian Baruna Jaya milik LIPI. Foto : deepsea.lipi.go.id

Hal tersebut diakui oleh Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), Zainal Arifin. Banyak kendala untuk membangun database kelautan yang komprehensif, antara lain masalah anggaran penelitian yang kecil, sumber daya berupa peneliti dan peralatan yang kurang memadai.

“Dana riset kita kecil sekali. Kurang dari 1 persen dari PDB (produk domestik bruto). Meski sekarang trennya membaik karena Presiden Jokowi mencanangkan poros maritim,” kata Zainal.

Untuk SDM, peneliti kelautan terkonsentrasi di Jawa dan Bali. “Di beberapa universitas ada peneliti. Misal di Sulawesi ada di Universitas Hasanudin Makassar dan Universitas Sam Ratulangi Manado, dan Universitas Pattimura Maluku,” katanya.

Para peneliti tesebut juga banyak yang belum tersertifikasi, sehingga hasil penelitian bisa berbeda. “Misalnya pengecekan terumbu karang di Indonesia timur dan Indonesia barat. Karena berbeda skill, maka hasilnya bisa berbeda. Oleh karena itu LIPI membuat program Coremap untuk melakukan sertifikasi,” lanjut Zainal.

Sedangkan untuk peralatan penelitian, dia mengatakan Indonesia belum mempunyai peralatan untuk mendapatkan data real time. “Kita dalam proses untuk mendapatkan peralatan itu. Misal untuk melakukan monitoring suhu air laut. Selain data dari satelit, kita juga pasang buoy di beberapa staisun KKP dan LIPI. Tetapi peralatan kita untuk area pesisir, sudah oke,” katanya.

Zainal mengakui Indonesia belum mempunyai data series yang lengkap. Berbagai lembaga yang terkait dengan data kelautan seperti Balai Litbang KP KKP, BMKG, LAPAN dan LIPI.

Sedangkan untuk roadmap pengembangan kelautan Indonesia, Zainal juga belum mengetahui hal tersebut. “Saya kurang tahu (tentang roadmap kelautan). Roadmap mungkin ada. Harusnya tanya ke rekan-rekan di KKP,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,