,

Berdasarkan Prasasti Talang Tuo, Perayaan Hari Bumi Setiap Tahun Diusulkan pada 23 Maret. Alasannya?

Selama ini kita merayakan Hari Bumi setiap tahun pada 22 April. Namun, perayaan Hari Bumi tersebut dinilai tidak mencerminkan karakter alam Indonesia.

Sebuah gagasan dilemparkan budayawan Taufik Rahzen, yang mengusulkan peringatan Hari Bumi di Indonesia dirayakan pada 23 Maret. Tanggal ini berdasarkan Prasasti Talang Tuo, prasasti terkait Kerajaan Sriwijaya, yang diperkirakan dibuat Raja Sriwijaya saat matahari tepat berada di atas khatulistiwa (Ekuinoks Maret).

Gagasan Taufik Rahzen ini disampaikan pada Seminar International “Budaya Melayu Sebagai Akar Tradisi Nusantara” yang diselenggarakan Yayasan Alam Melayu Sriwijaya dengan Lembaga Kajian Indonesia (LKI) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Sriwijaya, di Kuto Besak Theater, Palembang, Senin (08/06/2015).

“Penetapan Hari Bumi pada 23 Maret ini didasarkan lahirnya Prasasti Talang Tuo,” kata budayawan Taufik Rahzen. “Prasasti ini merupakan sikap manusia di Nusantara terhadap bumi sebagai perwujudan dari hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan,” katanya.

“Kita mengusulkan penetapan Hari Bumi tersebut dilakukan pada 23 Maret 2016 nanti di Palembang,” kata Taufik.

Dikutip Taufik, sebagian terjemahan prasasti yang dilakukan George Coedes, menyebutkan:

Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.

Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.

Prasasti Talang Tuo membuktikan bahwa bangsa Indonesia atau bangsa di Nusantara ini sudah lama peduli dengan bumi. “Berbeda dengan karakter peringatan Hari Bumi yang ada saat ini, termasuk yang dirayakan Bangsa Indonesia, yang jatuh setiap 22 April, yang digagas Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson sejak 1970. Peringatan ini lebih banyak mengungkapkan keprihatinan atau protes terhadap kerusakan bumi, maka Prasasti Talang Tuo lebih mengekspresikan kecintaan manusia terhadap bumi,” ujar Taufik.

Sebenarnya, perayaan Hari Bumi pada 23 Maret hampir bersamaan dengan peringatan Hari Bumi yang dilakukan PBB pada 20 Maret, yang dicanangkan aktivis perdamaian John McConnell pada 1969. Ini diambil saat matahari tepat berada di atas khatulistiwa (Ekuinoks Maret).

“Bisa saja Prasasti Talang Tuo itu dibuat pada saat Ekuinoks Maret di Palembang. Sebagaimana kita ketahui, peristiwa Ekuinoks Maret selalu mengalami pergeseran tempat,” katanya.

“Tetapi peringatan Hari Bumi pada 23 Maret bukan berarti kita tidak memperingati Hari Bumi yang sudah terbiasa pada 22 April. Itu sebuah tradisi yang baik, yang juga pantas dirayakan, meskipun tidak mencerminkan karakter wilayah tropis seperti di Indonesia,” katanya.

Sebagai informasi, Prasasti Talang Tuo ditemukan Residen Palembang Louis Constant Westenenk pada 17 November 1920 di Kaki Bukit Siguntang, yang kini menjadi Taman Bukit Siguntang di Palembang. Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya cukup baik, berukuran 50 x 80 centimeter. Prasasti berangka 606 Saka (23 Maret 684 Masehi) ini menggunakan aksara Pallawa berbahasa Melayu yang terdiri 14 baris.

Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.p, kali pertama mampu dibaca dan dialihaksarakan oleh Van Ronkel dan Bosch yang dimuat di Acta Orientalia.

Bumi, planet tempat manusia hidup memang bukan untuk sekadar diperingati saja setiap tahunnya tetapi harus ada aksi aksi mencintai dan menyelamatkan bumi dari kerusakan. Foto: Rahmadi Rahmad
Bumi, planet tempat manusia hidup memang bukan untuk sekadar diperingati saja setiap tahunnya, tetapi harus ada aksi mencintai dan menyelamatkan bumi dari kerusakan. Foto: Rahmadi Rahmad

Pemimpin peduli lingkungan hidup

Dijelaskan Taufik, Prasasti Talang Tuo itu sangat jelas menunjukkan bagaimana seorang pemimpin Kerajaan Sriwijaya sangat peduli dengan bumi atau lingkungan hidup, dengan membuat sebuah taman bernama Sriksetra. Tanaman yang disebutkan sangat jelas misalnya pohon kelapa, pinang, aren, sagu, serta bambu haur, waluh, pattum, dan sebagainya. Sayangnya, sebagian besar jenis tanaman yang tumbuh di wilayah rawa gambut tersebut, sudah sulit ditemukan, seperti sagu dan aren.

“Ini jelas sekali jika pemimpin Sriwijaya sangat menjaga bumi. Mereka yang menjaga bumi sama seperti menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, dengan makhluk hidup lainnya, juga dengan yang mahakuasa,” katanya.

Karakter pemimpin Sriwijaya yang merupakan produk dari kebudayaan melayu, yang sangat peduli dengan lingkungan hidup, sebelumnya dibenarkan Abdullah Idi, guru besar Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.

“Pemimpin melayu yang mampu melahirkan berbagai kebudayaan besar karena dipercaya karena kecerdasannya, taat beragama, pekerja keras, peduli dengan alam, dan memahami seni dan budaya,” katanya.

Taufik Rahzen saat memaparkan gagasannya mengenai peringatan Hari Bumi. Foto: Taufik Wijaya
Taufik Rahzen saat memaparkan gagasannya mengenai peringatan Hari Bumi. Sumber foto: Kebudayaan.kemdikbud.go.id

Pemerintah Sumsel mendukung

Irene Camelyn, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumatera Selatan, menilai gagasan melaksanakan peringatan Hari Bumi berdasarkan lahirnya Prasasti Talang Tuo sangat bagus. “Kami jelas mendukungnya. Sebab, gagasan tersebut bukan hanya terkait dengan budaya, sejarah, juga soal visi pembangunan ke depan bangsa ini yang berpijak pada kearifan terhadap alam, guna membahagiakan manusia, serta meningkatkan ketaatan manusia pada Tuhan YME,” katanya.

Kegiatan tersebut, kata Irene, bukan semata terkait dengan para aktifis budaya, akademisi, juga para aktifis lingkungan hidup. Selanjutnya, peringatan Hari Bumi tersebut akan melahirkan berbagai kegiatan lainnya, yang mampu menggerakan berbagai kalangan untuk peduli terhadap bumi.

“Sehingga pada puncak penyelenggaraan ASIAN Games di Palembang, Palembang sebagai kota tertua di Nusantara, benar-benar sebagai kota yang mencerminkan peduli pada manusia, alam, juga dengan Tuhan,” ujarnya.

Seminar ini selain menampilkan Taufik Rahzen dan Abdullah Idi, juga menampilkan Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia, Achadiati Ikram dari Universitas Indonesia, serta Timothy McKinnon, pakar linguistik dari Amerika Serikat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,