,

Rimbo Sekampung, Hutan Adat Marga Benakat yang Terancam Perkebunan Sawit (bagian – 1)

Minggu (23/08/15) pagi, dengan langkah kecil dan cepat, AS Jauhari (47) memimpin kami menuju hutan Rimbo Sekampung. Kami berjalan sekitar dua kilometer melalui perkebunan rakyat, berupa kebun karet dan tanaman buahan seperti durian dan duku.

Sebelum masuk perkebunan rakyat, kami harus melewati jalan perkebunan sawit milik PT. Surya Bumi Agro Langgeng, sekitar tiga kilometer. Kendaraan yang kami bawa hanya sampai di perbatasan perkebunan sawit tersebut dengan perkebunan rakyat. Selanjutnya kami berjalan kaki.

Kami sampai di tepi Sungai Baung, anak Sungai Benakat.

“Seberang sungai ini adalah hutan Rimbo Sekampung,” kata Jauhari. “Kita harus melewati sungai ini. Tidak ada jembatan menuju hutan,” lanjut lelaki yang mendapat tugas dari marga Benakat untuk menjaga Rimbo Sekampung yang masuk Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Marga Benakat, merupakan satu marga dari suku Lematang Ilir. Sedangkan suku Lematang Ilir adalah satu dari 13 suku yang ada di Sumatera Selatan. 13 suku di Palembang antara lain Komering Ulu, Komering Ilir, Lematang Ilir, Lematang Ulu, Muara Dua, Musi Ilir dan Suku Anak Dalam, Musi Ulu, Ogan Ulu, Ogan Ilir, Palembang dan Banyuasin, Pasemah, Rawas, serta Tebing Tinggi.

Marga Benakat yang saat ini jumlah warganya sekitar 25 ribu jiwa mendiami sembilan desa. Tujuh desa berada di Kabupaten Muara Enim dan dua desa masuk ke Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir), Sumatera Selatan. Kesembilan desa tersebut, Padangbindu, Pagardewa, Betung, Pagarjati, Ramipasai, Suban Ulu, Benakat Minyak, Sungai Baung, serta Desa Hidup Baru. Desa Hidup Baru merupakan desa transmigran hutan tanaman industri (HTI) yang dibentuk pemerintah pada 1990-an.

Hutan Rimbo Sekampung merupakan hutan adat milik marga Benakat. Hutan adat ini bersamaan dengan pengakuan marga Benakat oleh pemerintahan Belanda. Tepatnya pada 1932 oleh de Opzicter Bijhet Boscwesen.

Dulunya marga Benakat mengklaim luas hutan adat tersebut sekitar 6.000 hektar, tapi setelah masuknya sejumlah perusahaan perkebunan sawit dan PT. Musi Hutan Persada (MHP), sebuah perusahaan HTI, yang memiliki konsensi di Kabupaten Muara Enim, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat dan Musirawas, hutan adat tersebut ditetapkan Pemerintah Kabupaten Muara Enim seluas 3.000 hektar.

Kotoran gajah liar. Kawanan gajah yang sering masuk Rimba Sekampung sekitar 30 individu. Foto: Taufik Wijaya
Kotoran gajah liar. Kawanan gajah yang sering masuk Rimba Sekampung sekitar 30 individu. Foto: Taufik Wijaya

Jauhari akhirnya menemukan lokasi penyeberangan yang kebetulan terdapat napal serta bongkahan pohon yang terendam, sehingga kami tidak kesulitan melewati sungai yang airnya berkurang selama musim kemarau ini.

“Kalau musim penghujan, sungai ini sulit sekali dilewati kecuali menggunakan tali atau berenang,” katanya.

Saat berada di tepi hutan Rimbo Sekampung saya menemukan semak, beberapa pohon yang baru tumbuh, serta sejumlah pohon yang usianya puluhan tahun. “Mana pohon yang berusia ratusan tahun?” tanya saya.

“Nanti, kalau kita sudah masuk ke dalam,” jawab Eddy Tumenggung, pemangku adat Marga Benakat, yang menemani saya ke Rimbo Sekampung. “Tahun 1997 wilayah ini termasuk hutan di Sumatera Selatan yang terbakar. Orang-orang kampung banyak yang datang ke sini memadamkan api. Banyak pohon-pohon besar terbakar, tapi memang sebagian pohon yang sudah terbakar diambil warga,” katanya.

Setahun setelah peristiwa kebakaran tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan memenangkan gugatan legal standing terhadap perusahaan PT. MHP di Pengadilan Negeri Palembang, September 1998. Walhi menggugat perusahaan tersebut sebagai penyebab kebakaran hutan di Sumatera Selatan pada akhir 1997.

“Sekarang lokasi ini sudah dipenuhi pohon lagi. Kami terus menjaganya, jangan sampai terbakar atau dirambah orang,” katanya.

Jauhari mengajak kami lebih ke dalam. “Inilah lokasi gajah liar yang setiap tahun pasti berkumpul di sini. Jumlahnya sekitar 30-an individu,” katanya terus menunjuk beberapa kotoran gajah liar yang beserakan.

“Mereka datang ke sini biasanya sekitar Maret-April, sementara Juni dan Juli mereka pergi. Arah perginya ke Musirawas,” kata Jauhari. Dengan keterangan tersebut, kawanan gajah liar diperkirakan merupakan kawanan gajah dari Bukit Barisan Kerinci Sebelat. Koridor gajah ini dari Bengkulu Utara, Jambi, Musirawas, dan Muara Enim.

“Di sini mereka makan bambu, dan daunan dari tanaman liar,” kata Jauhari.

Batang bambu bekas dimakan gajah liar di Rimbo Sekampung. Foto: Taufik Wijaya
Batang bambu bekas dimakan gajah liar di Rimbo Sekampung. Foto: Taufik Wijaya

Jauhari merupakan anak pertama dari Badri. Badri merupakan tokoh marga Benakat, yang memperjuangkan konflik lahan antara marga Benakat dengan PT. MHP terkait dengan hutan Rimbo Sekampung. Badri meninggal dunia pada 2014 lalu.

PT. MHP mendapatkan izin konsensi dari Menteri Kehutanan dengan SK No. 205/Kpts-II/1991 yang kemudian diubah dengan SK Menhut No. 361/Kpts-II/1991, dengan luas lokasi 300.000 hektar di Sumatera Selatan.

Tahun 1992 Camat Gunung Megang mengeluarkan SK No. 593/113/05/1992, yang  mengizinkan Kelompok Tani Tunas Cahaya—sebuah kelompok tani bentukan PT. MHP– melakukan land clearing di Rimbo Sekampung, seluas 300 hektar.

Marga Benakat pun terus melakukan protes. Hingga  1994 PT. MHP mampu menguasai lahan seluas 1.000 hektar di Rimbo Sekampung.

Pada saat itu dibentuk Komite Solidaritas Marga Benakat, yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan pecinta alam di Sumatera Selatan.

Pada 3 Oktober 1994, Pangdam II Sriwijaya mengadakan pertemuan coffee morning yang dihadiri masyarakat Benakat, Walhi Sumsel,  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, instansi terkait di Sumsel, aparat keamanan serta pihak perusahaan. Hasilnya, aktivitas di Rimbo Sekampung dihentikan, baik yang dilakukan masyarakat maupun PT. MHP.

Jalan di perkebunan sawit PT. Surya Bumi Agro Langgeng menuju Rimbo Sekampung. Foto: Taufik Wijaya
Jalan di perkebunan sawit PT. Surya Bumi Agro Langgeng menuju Rimbo Sekampung. Foto: Taufik Wijaya
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,