,

Kualitas Udara Pontianak Memburuk, Masyarakat Kian Terpuruk

Kabut asap kembali menyelimuti Kota Pontianak. Bahkan, indeks standar pencemaran udara (ISPU) kurun waktu dua pekan terakhir kian memburuk. Kategorinya berkutat di level sedang hingga tidak sehat. Sedangkan jarak pandang pagi hari tersisa 200 meter.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak melansir, informasi kualitas udara yang dianalisis berdasarkan pantauan alat kualitas udara Particulate Matter (PM10) pada 31 Agustus 2015 pukul 00.00 – 23.50 WIB pada umumnya dalam kategori sedang. Namun, kondisi paling buruk terjadi pukul 07.00 – 08.40 WIB. Saat itu, kualitas udara di level tidak sehat.

Kodisi ini mengundang kekhawatiran warga Pontianak. “Saya cemas dengan kesehatan anak-anak. Soalnya, kondisi udara terburuk itu pada pagi hari di saat anak-anak akan pergi ke sekolah,” kata Maylani, salah seorang warga Jeruju, Pontianak Barat, Selasa (1/9/2015).

Ibu dua anak ini mengatakan harus ada upaya nyata dari pemerintah agar bencana asap tak perlu berulang setiap tahun. “Selama ini kabut asap seperti tradisi tahunan saja. Kita, masyarakat kecil selalu jadi korban. Harusnya pemerintah punya langkah konkrit dalam mengatasi bencana ini. Cari penyebabnya, lalu tindak dengan tegas,” pinta Maylani.

Berdasarkan informasi sebaran hotspot di Kalimantan Barat melalui citra satelit Modis yang diperbarui Selasa (1/9/2015) pukul 05.00 WIB, terdeteksi ada 74 titik panas. Angka ini tersebar di lima kabupaten, yakni Kayong Utara, Ketapang, Kubu Raya, Melawi, dan Sintang.

Jumlah titik panas terbanyak ada di Kabupaten Ketapang sebanyak 45 titik panas. Selanjutnya Kubu Raya (13 titik), Kayong Utara (9 titik), Melawi (4 titik), dan Sintang sebanyak (3 titik).

Kondisi di atas diperparah dengan sebaran titik panas di provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Sebaran hotspot berdasarkan citra satelit Modis terbesar ada di Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 313 titik panas. Selanjutnya, Kalimantan Timur (138 titik) dan Kalimantan Selatan (30 titik). Dengan demikian, total jumlah titik panas se-Kalimantan yang terdeteksi citra satelit Modis mencapai 591 titik.

Komitmen Presiden

Menyikapi bencana asap di sejumlah daerah di Indonesia, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup, Abetnego Tarigan mengingatkan kembali komitmen Presiden Jokowi di pengujung 2014 yang menyebut Indonesia bebas asap pada 2015. “Tapi kebakaran yang memicu bencana asap tahun ini menjadi bukti bahwa komitmen presiden masih jauh dari harapan,” katanya dalam siaran pers, Selasa (1/9/2015).

Menurutnya, situasi seperti ini membutuhkan langkah-langkah strategis dari Presiden Jokowi. Di antaranya, menginstruksikan kepala daerah untuk melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh para kepala daerah.

Selanjutnya, kata Abetnego, upaya penegakan hukum musti dilakukan terhadap perusahaan pembakar lahan dan mereview perizinannya. Presiden diminta menghentikan penerbitan izin baru dan mengevaluasi izin yang telah diberikan. Termasuk mengevaluasi pengawasan pemerintah terhadap izin yang dikeluarkan. “Hal lain adalah memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar hutan.”

Terkait upaya penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya mendesak kepolisian setempat segera mencabut maklumat tentang kebakaran hutan. “Maklumat itu hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi masyarakat lokal yang justru tidak menjawab persoalan pokok penyebab kebakaran.”

Menurut Anton, kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan. “Ini jelas dilakukan korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka.”

Lebih jauh Anton menyebut, penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, dan memastikan praktik kebun tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Fakta-fakta yang menjadi temuan Walhi di berbagai daerah, sambungnya, menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya pemerintah memadamkan api dengan pena, bukan dengan modifikasi cuaca, karena sumber masalahnya dari penerbitan konsesi,” ucapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,