,

Terbongkar Sudah, Sindikat Penjualan Satwa Dilindungi di Kalimantan Barat

Jumadi dan Andi harus menjalani pemeriksaan di Markas Komando Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Rabu 2 September 2015. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Brigade Bekantan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, sebagai bagian dari jaringan perdagangan bagian tubuh satwa dilindungi.

“Sindikat ini sudah lama kita jadikan target operasi. Sejak ketatnya pemeriksaan dan giatnya penertiban, sindikat ini sangat berhati-hati,” ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono.

Sustyo menjelaskan, Jumadi ditangkap di kawasan Pasar Melawi, Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi. Target merupakan pedagang di pasar tersebut. “Didapat empat kepala burung enggang gading (Rhinoplax vigil) yang masih lengkap dengan batok kepalanya dari tokonya itu,” ungkap Sustyo.

Dari keterangannya, Jumadi mengakui, bagian tubuh satwa dilindungi tersebut akan dijual kepada Andi, seorang penampung di Pontianak. Berdasarkan informasi itu, tim segera bergerak. Rabu, 2 September 2015 pukul 10.00 WIB, personel SPORC menyasar ke alamat yang ditunjuk Jumadi. Andi tak berkutik, ketika tim menggerebek kediamannya di kawasan Tanjung Hulu, Pontianak Timur.

Kepala Unit Brigade Bekantan, Hary Novianto menambahkan, Andi ditangkap dengan barang bukti sebuah kepala enggang gading, 21 taring beruang madu dan satu timbangan elektrik. “Diduga kuat paruh enggang gading dan taring beruang madu itu berasal dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.”

Menurut Hary, para tersangka diancam pasal 21 ayat (2) dan pasal 40, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancam penjara maksimal lima tahun dan denda 100 juta.

Ganti modus

Terkait sindikat tersebut, Sustyo mengatakan, para pelaku sudah mengganti modus operandinya dalam jual beli. “Kini, mereka tidak lagi menjual dalam partai besar karena mudah terdeteksi petugas. Modusnya menjual eceran.”

Jumadi, kemungkinan merupakan pengumpul dari para pemburu di daerah. Sedangkan Andi, pengumpul sekaligus penghubung dengan broker yang berada di Jakarta. Broker di Jakarta yang kemudian mengirimkan barang-barang tersebut ke luar negeri. “Kebanyakan ke Tiongkok,” tukasnya.

Uniknya, salah satu barang bukti yang didapat dari tersangka Andi adalah buku catatan. Buku ini berisi angka-angka yang dikalikan dengan angka lainnya. Dari keterangan Andi, buku catatan lusuh tersebut adalah daftar harga. “Angka pengali pertama ternyata berat atau dimensi barang yang dikali dengan jumlah barang dan dikali lagi dengan harga pasaran,” ujarnya.

Setiap 100 gram paruh burung dihargai Rp6,5 juta. Sedangkan, paruh burung atau batok kepala burung enggang yang sudah diolah menjadi biji harganya Rp2 juta. Personel SPORC akan menginterogasi lebih lanjut para tersangka, nilai dari barang bukti yang berhasil disita tersebut.

Sustyo juga menyatakan, tim SPORC mempunyai target operasi lain, untuk kegiatan ilegal sejenis. Sindikat lain ini, kata Sustyo, ditengarai mempunyai jaringan yang sama di luar negeri. Bahkan, tim SPORC sudah berhasil mengidentifikasi sebuah warung kopi, yang kerap dijadikan sarana untuk transaksi.

Modus yang digunakan sindikat perdagangan satwa dilindungi saat ini adalah menjual dalam partai kecil. Foto: Aseanty Pahlevi
Modus yang digunakan sindikat perdagangan satwa dilindungi saat ini adalah menjual dalam partai kecil. Foto: Aseanty Pahlevi

Happy Hendrawan, peneliti dari Swandiri Institute mengatakan, modus ini sebenarnya bukan hal baru. Saat hendak diselundupkan ke Kota Pontianak, kata dia, barang-barang tersebut diangkut dengan kendaraan yang membawa bahan kebutuhan pokok masyarakat. “Memang memerlukan informasi yang akurat, sehingga tahu kapan pengiriman dan dengan menggunakan mobil apa.”

Seperti biasa, pengiriman biasanya dilakukan malam hari. Bagian tubuh satwa dilindungi, kata Happy, kerap dijadikan makanan afrodisiak atau cinderamata.

Perdagangan satwa dilindungi merupakan pelanggaran UU Nomor 5 tahun 1990. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi satwa liar dari perdagangan ilegal, namun pada praktiknya bisnis terlarang ini masih terjadi secara terbuka di banyak tempat di Indonesia.

“Perdagangan satwa liar adalah ancaman serius terhadap kelestarian satwa dilindungi. Ancamannya bukan hanya manusia, tetapi habitatnya juga. Bukan mustahil makanan alaminya juga menipis,” tambahnya.

Hal ini ditambah lagi dengan jeratan hukuman bagi pelaku yang belum memberikan efek jera. “Realitanya, saat putusan biasanya ada yang beberapa bulan saja. Payung hukum ini, dirasakan sudah layak direvisi,” papar Happy.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,