,

Susi Pudjiastuti Tegaskan Hai Fa Siap Diburu 90 Negara

Walau sudah tidak berada di wilayah perairan Indonesia, namun Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sepertinya tidak bisa melupakan kapal asal Tiongkok, Hai Fa, yang sudah merugikan uang negara hingga triliunan rupiah. Hal itu, karena Susi kembali berkoar tentang kapal tersebut pada Kamis (10/9/2015).

Di hadapan peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang digelar di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Susi membeberkan bagaimana nasib Hai Fa saat ini. Dengan gamblang, dia menyebut kapal tersebut tak lebih sebagai buronan tingkat dunia yang tidak punya malu.

“Hai Fa ini sudah merugikan negara banyak sekali. Mereka mengangkut ikan dalam jumlah banyak dari perairan Indonesia. Tapi, mereka juga didenda dengan nilai yang sangat kecil di Ambon. Mereka adalah penjahat,” ujar Susi.

Menteri asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu menjelaskan, setelah kabur dari Indonesia dan kembali ke Tiongkok, Hai Fa ternyata sudah keluar lagi dari negara tirai bambu tersebut sejak 3 September lalu.  “Kapal tersebut saat ini sudah berada di perairan Hong Kong,” sebut Susi.

Namun, walau sedang berada di Hong Kong, perempuan bertato itu tidak mau mempersoalkan secara hukum kapal berbobot 4.306 gross tonnage (GT). Pasalnya, saat ini pihaknya sudah bekerja sama dengan kepolisian internasional (Interpol) terkait kasus Hai Fa tersebut.

“Kita tidak pusing lagi. Karena, walau Hai Fa bisa keluar dari Tiongkok, mereka tidak akan bebas lagi. Ada 90 negara yang siap menangkapnya jika masuk ke wilayah negara tersebut,” papar dia.

Pernyataan Susi itu dipertegas oleh Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa. Menurut dia, saat ini Indonesia memang tinggal menunggu saja apa yang akan terjadi setelah kerja sama dijalin dengan Interpol.

Kan sudah ada purple notice yang disebar ke 90 negara yang menjalin kerja sama dengan Interpol. Kita tunggu saja seperti apa akhirnya,” ungkap dia.

Penegasan juga diungkapkan Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja. Menurut dia, saat ini Pemerintah Indonesia akan berkoordinasi lebih intens jika memang ada perkembangan terkait Hai Fa. Kerja sama dengan Interpol, dinilainya menjadi langkah penting dalam penanganan IUU Fishing dalam jaringan internasional.

Sindikat Hong Kong

Sementara, berkaitan dengan maraknya aksi penangkapan ikan di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Susi Pudjiastuti menyampaikan bahwa yang terjadi hingga saat ini adalah kapal-kapal dari Hong Kong diketahui sebagai penyuplai potasium yang digunakan nelayan lokal untuk menangkap ikan.

“Ini juga sama berbahayanya. Destructive fishing bisa menimbulkan kerusakan alam. Ini harus dicegah sedini mungkin,” jelas dia.

Terpisah, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Subijakto menjelaskan, penggunaan bahan peledak seperti potasium memang dilakukan oleh nelayan di sejumlah daerah. Namun, bisa dipastikan kalau bahan tersebut didapat dari pendatang yang masuk ke daerah tersebut.

“Seperti di Natuna, nelayan lokal tidak mungkin mendapat bahan potasium. Karena, bahan tersebut susah didapatkan, terlebih itu di pulau kecil dan terpencil. Karena itu, kapal-kapal dari Hong Kong yang datang ke Natuna disinyalir kuat sebagai pemasok potasium,” papar Slamet kepada Mongabay.

 Pengeboman ikan dapat merusak terumbu karang, yang menjadi tempat pembijahan dan pembiakan ikan, dalam skala besar. Dampaknya bisa dilihat dari produksi ikan di sejumlah daerah di Sulsel, makin turun. Terutama di kawasan Spermonde, yang membentang sepanjang Pantai Selatan perairan Makassar dan sekitar. Foto: Awaluddinnoer
Pengeboman ikan dapat merusak terumbu karang, yang menjadi tempat pembijahan dan pembiakan ikan, dalam skala besar. Dampaknya bisa dilihat dari produksi ikan di sejumlah daerah di Sulsel, makin turun. Terutama di kawasan Spermonde, yang membentang sepanjang Pantai Selatan perairan Makassar dan sekitar. Foto: Awaluddinnoer

Oleh nelayan lokal, menurut Slamet, bahan potasium tersebut digunakan untuk menangkap ikan yang habitatnya ada di sekitar karang-karang di laut sekitar pulau tersebut. Karena itu, bisa dipastikan cara menangkap ikan yang dilakukan nelayan lokal bisa membahayakan ekosistem di sekitar perairan.

“Bila tetap dibiarkan dan tidak ada larangan, maka bisa saja ikan-ikan tersebut akan punah atau pindah ke perairan lain. Namun, tidak itu saja, ekosistem seperti karang-karang juga akan rusak. Jelas ini merugikan perairan tersebut,” cetus dia.

Perikanan Budidaya untuk Nelayan

Selain di Natuna, menurut Slamet, kondisi serupa juga terjadi di daerah lain seperti di Mentawai, Sumatera Barat, dan Raja Ampat, Papua Barat. Sama seperti di Natuna, nelayan mengincar ikan seperti kerapu, napoleon, dan ikan-ikan lain yang biasa hidup di karang-karang.

“Ini sebenarnya tidak baik. Tapi mau bagaimana lagi, nelayan-nelayan tersebut juga memerlukan pemasukan untuk bertahan hidup. Kita memberi arahan kepada mereka untuk mengubah kebiasaan tersebut,” sebut dia.

Selain arahan, Slamet mengungkapkan, sebagai solusi untuk mencegah tidak berulangnya kembali menangkap ikan dengan cara menggunakan bahan peledak, KKP akan memfasilitasi para nelayan untuk dicarikan pekerjaan. Salah satunya, dengan memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan budidaya perikanan.

“Kita dorong balai-balai kita di perikanan budidaya untuk melakukan rekaya perbenihan Napoleon dan Kerapu. Ikan-ikan karang harus kita produksi,” kata dia.

Untuk anggaran, Slamet menjelaskan, pihaknya sudah mengalokasikan dana sebesar Rp20-30 miliar untuk pengalihan kegiatan nelayan yang biasa menangkap ikan napoleon dan kerapu dengan bahan peledak.

“Dengan cara seperti ini, diharapkan kebiasaan nelayan dalam melakukan destructive fishing bisa berkurang secara perlahan dan kemudian hilang. Ini memang berat untuk dilaksanakan, tapi kita harus bisa,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,