, , ,

Petani Tolak Tambang di Lumajang Dibunuh, Komnas HAM Bentuk Tim Investigasi

Pada Sabtu (26/9/15), petani pejuang penolak tambang pasir, di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, Salim Kancil, tewas mengenaskan sedang warga lain, Tosan, mengalami luka serius. Kini Tosan dirawat intensif di RS Mawardi, Malang.

Dari keterangan Walhi Jawa Timur, menyebutkan, saat warga desa hendak menghadang kegiatan tambang pasir, diduga oknum kepala desa mengerahkan preman sekitar 30 orang untuk mengintimidasi warga. Seorang petani, Salim, dibawa dan dikeroyok dengan kedua tangan terikat. Mayatnya ditemukan di tepi alan dekat perkebunan warga.  Korban lain, Tosan. Dia dijemput dari rumah dan dianiaya. Dia sempat melawan tetapi dihajar beramai-ramai. Bersyukur, berhasil diselamatkan warga dan dilarikan ke rumah sakit.

Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional di Komnas HAM Jakarta, Senin, (28/9/15) mengatakan, konflik pertambangan di Lumajang sudah lama terjadi. Laporan warga menolak tambang kepada Walhi hampir dua tahun lalu. Mereka menolak karena khawatir pertambangan mengancam produksi pertanian.

Pertambangam sudah berjalan sejak 2014. Mulanya, warga mendapat undangan Kades Selok Awar-awar untuk sosialisasi wisata Watu Pecak. Yang terjadi,  malah penambangan marak disana.

“Maret lalu masyarakat datang ke Walhi menyampaikan penolakan mereka terhadap kegiatan pertambangan ilegal.”

Aksi penolakan tambang dilakukan. Pada 9 September 2015, warga aksi damai tolak tambang. Keesokan hari, pengancaman terbuka terjadi. Pada 11 September, perwakilan masyarakat melaporkan intimidasi dan pengancaman kepada Polres Lumajang. Pada 9 September, Polres Lumajang merilis penanganan kasus, termasuk tim penyidik.

Pada 21 September,  warga lapor pertambangan ilegal. “Pada 25 September , mereka konfirmasi aksi lagi. Pada 26 September terjadi pembunuhan,” katanya.

Sebenarnya, kata Munhur,  pengaduan tertulis soal penolakan tambang sudah disampaikan kepada polisi, DPRD, kementerian bahkan Presiden. Bahkan, saat audiensi dengan DPRD, berjanji membentuk tim tetapi tak ada realisasi hingga sekarang.

Ada skenario besar?

Muhnur mensinyalir kuat, ada skenario besar di balik kasus ini, yakni melancarkan usaha pertambangan di sana. Di wilayah Perum Perhutani—dekat desa–, ada perusahaan tambang pasir,  PT Indo Modern Mining Sejahtera (PT IMMS).

“Kasus pertambangan ilegal itu pernah disidik Kejaksaan. Tapi tak belum ada perkembangan sampai sekarang.”

Muhnur berharap kasus ini bisa diusut tuntas. Konflik tak hanya soal pembunuhan, tetapi ada masalah laten yaitu pertambangan ilegal. Dia mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, audit perizinan. Sebab,  kawasan tambang itu berada di wilayah kerja Perhutani.

“Apakah benar perusahaan menambang di lahan itu sudah mengantongi izin pelepasan kawasan? Atau izin lingkungan sebagai mana diamanatkan UU 32 tahun 2009. Kalau ada izin, segera cabut  karena sudah banyak penolakan di masyarakat,” katanya.

Senada dengan Ki Bagus Kusuma, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Dia mengatakan, masalah ini bukan hanya konflik pro dan kontra tambang. Namun, dia melihat ada skenario besar. Perusahaan besar bermain di balik ini.

“Kita tahu, perusahaan itu sudah diusut Kejati. Maret lalu Direktur Utama PT IMMS sebagai tersangka. Dari tim pembuat Amdal juga ditetapkan tersangka karena terlibat gratifikasi. Mantan bupati terkait izin ini.”

Dia melihat kasus ini sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lain. Ketika susah masuk ke wilayah eksploitasi, pertambangan-pertambangan liar didorong perusahaan untuk kelancaran eksploitasi ke depan.

“Artinya, perusahaan mengklaim mereka akan lebih memberikan PAD ke daerah, akan mereklamasi. Tambang-tambang liar jadi bagian dari cuci tangan perusahan besar.”

Munhur juga meminta Komnas HAM turun ke lapangan bersama masyarakat sipil, sebelum konflik ini didramatisir menjadi isu pro dan kontra tambang yang sebenarnya bikinan perusahaan dan aparat yang terlibat.

Walhi, katanya, sudah meminta Lembaga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi warga. LPSK menyanggupi. Hanya beberapa syarat administrasi harus diselesaikan.

“Akan kami penuhi minggu ini. Situasi korban dan warga terancam. Mereka ketakutan luar biasa. Masyarakat sangat susah dikoordinasi. Meski ada dampingan dan investigasi dari KontraS, Walhi, Jatam dan masyarakat sipil lain di lokasi.Ada 12 warga jadi incaran intimidasi,” katanya.

Ken Yusriansyah dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pembunuhan itu bertepatan dengan perayaan Hari Tani Nasional. “Ini kado paling buruk diterima kaum tani.”

Dia mengatakan, laporan dari lapangan, ternyata pembunuhan di depan umum. “Ini kejahatan sangat luar biasa. Maka kita melaporkan ke Komnas HAM agar turun ke lapangan. Kami mendapatkan laporan, upaya intimidasi, kriminalisasi itu terus dilakukan pihak-pihak yang melindungi aktivitas pertambangan.”

Senada dikatakan anggota Divisi Ekonomi dan Sosial  KontraS Ananto. Katanya, ada beberapa kejanggalan seperti kegamangan polisi. Sebelum pembunuhan, katanya, sebenarnya sudah banyak laporan kepada kepolisian.  Namun, tindakan polisi tak jelas. Kapolres malah menyatakan, tambang berguna bagi masyarakat padahal menimbulkan konflik.

“Sebenarnya polisi dan pejabat terkait sudah mengetahui. Mereka diduga terlibat dalam kasus ini dalam bentuk pengabaian.”

Investigasi Komnas HAM

Menanggapi ini, Wakil Ketua Komnas HAM,  Siti Noor Laila mengatakan, akan merespon cepat kasus ini karena sudah masuk kategori kasus urgen, menyangkut keselamatan manusia. Komnas HAM akan investigasi kasus ini.

“Komnas HAM akan pendalaman kasus. Soal ilegal mining perusahaan, juga menggunakan beberapa oknum masyarakat dimodali untuk pertambangan ilegal. Kemudian soal hak lingkungan sehat dan hak kesehatan dan kesejahteraan. Di dalam mengandung konflik agraria. Juga soal hak rasa aman yang penting bagi warga sekitar,” katanya.

Komnas HAM akan memastikan aparat penegak hukum terutama kepolisian, menjalankan proses penegakan hukum terbuka dan adil.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam pesan singkat, menyatakan, laporan yang dia terima menyebutkan, sudah ada 18 orang ditetapkan menjadi tersangka dan tak ada karyawan Perhutani yang terlibat dalam peristiwa itu.

Dari catatan Perhutani, lokasi kejadian berada di luar kawasan hutan, 200 meter dari pal batas sebelah utara, ke selatan bibir pantai. Untuk memastikan, Perhutani dan Kepolisian akan mengecek lapangan.

Laporan itu juga menyebutkan, galian pasir yang menjadi persoalan bukan pasir besi tetapi pasir biasa yang berbatasan dengan petak 17E RPH Bogo, BKPH Pasirian. “Izin dikeluarkan bupati berupa izin pertambangan rakyat dengan luas dua sampai lima hektar per izin.”  Sedangkan, pasir besi di dalam kawasan hutan RPH Bogo, berada pada petak 22, 23 dan 24.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,