Beginilah Hukum Adat Laut di Aceh

Lembaga Adat Laut Aceh telah ada jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Hingga kini, aturan yang dikeluarkan oleh Panglima Laot, sang pemimpin, terus dijaga dan tidak berani dilanggar oleh nelayan setempat.  

Sekretaris Jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Marzuki, Selasa (3/11/15) menyebutkan, untuk pengelolaan laut, Pemerintah Indonesia harus belajar dari Lembaga Adat Laut Aceh. Menurutnya, meski aturan adat yang dikeluarkan cukup keras, namun nelayan menaatinya, karena aturan itu tidak merugikan.

Marzuki mencontohkan, ada hari pantang melaut di Aceh yang dalam satu tahun jika dikalkulasi mencapai dua bulan. Jumlah tersebut belum termasuk ketika nelayan libur karena cuaca buruk. “Misal, nelayan tidak melaut pada hari jumat setiap minggu. Atau juga pada Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha.”

Dalam waktu tersebut, ikan memiliki kesempatan berkembang biak, sementara nelayan ada waktu kumpul bersama keluarga. Panglima Laot juga melarang nelayan menggunakan pukat harimau, bom, atau racun. “Aturan adat ini ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem laut. Bagi pelanggar, akan dikenakan hukuman berat, termasuk penyitaan hasil tangkapan,” ujar Marzuki.

Sekjen Panglima Laot Aceh, Umar Bin Abdul Azis mengatakan, selama ini, keberadaan Panglima Laot sangat menguntungkan nelayan Aceh. Aturan adat yang dikeluarkan juga  berdasarkan musyawarah dengan nelayan di seluruh Aceh.

“Contoh, Panglima Laot membuat pantangan melaut setiap 26 Desember. Kesepakatan yang diambil berdasarkan musyawarah ini untuk mengenang tragedi tsunami 26 Desember 2004 silam,” ujar Umar yang kerap disapa Umardi.

Umardi juga menyebutkan, tugas Panglima Laot bukan hanya mengeluarkan aturan adat atau mengawasi nelayan agar mencari nafkah sesuai aturan. Tetapi juga, membantu nelayan Aceh yang terdampar atau tertangkap di negara lain, termasuk mencari cara, agar segera dipulangkan.

“Bila ada nelayan yang melapor anggota keluarganya belum pulang, Panglima Laot akan menghubungi nelayan di negara yang berbatasan dengan Aceh. Jika nelayan itu tertangkap, Panglima Laot Aceh segera menghubungi atau melaporkan ke Kedutaan Indonesia di negara tersebut. Tujuannya, agar nelayan tersebut dapat dibantu, apakah pendampingan hukum atau lainnya.”

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand yang ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/15) dini hari. Kapal ini tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

Kerusakan

Syukri Affan, Panglima Laot Lhoknga, menuturkan saat ini ekosistem terumbu karang di sebagian besar perairan Aceh telah rusak. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, bahkan racun. Padahal, nelayan lokal sudah dilarang keras. “Kondisi ini tentunya merugikan nelayan tradisional yang begitu menjaga laut.”

Menurut Syukri, pihaknya di Lhoknga dan di Lhok-Lhok lain di Kabupaten Aceh Besar sudah memperkuat hukum adat laut demi kemaslahatan nelayan. Aturan tersebut berupa adat pantang melaut, adat barang hanyut, adat sosial, dan adat pemeliharaan lingkungan. Apabila ada yang melanggar akan kami beri sanksi. “Aturan yang ada, nelayan Aceh memiliki hari pantang melaut hingga dua bulan setiap tahun. Jika ditambah dengan cuaca buruk, dalam setahun, nelayan tidak melaut hingga empat bulan. Ini bermanfaat bagi pertumbuhan terumbu karang dan perbaikan ekosistem laut.”

Tetapi, sambung Syukri, ada satu pertanyaan besar dari Panglima Laot dan seluruh nelayan di Aceh. Meski nelayan telah menjaga laut dengan kearifan lokalnya, namun masih ada pihak yang mencuri, merampok, dan merusak sumber daya laut yang telah dijaga turun- temurun. “Bagaimana penegakan hukum di Indonesia? Dimana petugas pengawas? Kenapa masih ada kapal asing pencuri ikan asal Thailand yang berkeliaran?” tanya Syukri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,