Keberhasilan Pengelolaan Ciliwung Tergantung Restorasi di Wilayah Hulu

Memasuki musim penghujan saat ini, kembali masyarakat yang berada di bantaran Sungai Ciliwung yang terbentang melewati Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok hingga wilayah DKI Jakarta harus kembali waspada. Meskipun upaya normalisasi badan Sungai Ciliwung telah dilakukan, namun dipercaya upaya itu tidak akan menyelesaikan permasalahan jangka panjang yang telah terlanjur kompleks akibat alih fungsi yang terjadi selama puluhan tahun, terutama di kawasan hulu.

Dari data yang diolah oleh BP DAS Ciliwung Cisadane, dua dasawarsa lalu, debit puncak Ciliwung masih berada di sekitaran 200 meter kubik per detik, namun perubahan tata guna lahan yang serius di bagian hulu dari hutan lindung dan perkebunan menjadi lahan hak milik dan guna bangunan telah merubah distribusi debit dan pola aliran. Debit rendah (base flow) pada musim kemarau dan naiknya debit pada musim penghujan adalah indikator utama berkurangnya keseimbangan neraca air di Sungai Ciliwung.

Saat ini pun Ciliwung hanya mampu menampung air dengan debit puncak kurang dari 200 meter kubik per detik dikarenakan penyempitan lebar sungai hanya sekitar 20-30 meter akibat okupasi sempadan sungai. Padahal daya tampung dapat mencapai 570 meter kubik per detik jika badan sungai dapat dipertahankan 50 meter.

Pada saat puncak musim penghujan, meningkatnya aliran permukaan (run off) yang langsung masuk badan kali yang akan menambah beban berat dari Sungai Ciliwung. Fungsi pengamanan sempadan sungai menjadi penting dari okupasi hunian dan upaya restorasinya menjadi hal urjen yang perlu dilakukan saat ini.

Dari sekitar 38 ribu hektar luas DAS Ciliwung, maka saat ini 15 ribu hektar terdapat di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor yang terhubung dengan wilayah Puncak yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu. Namun, pembangunan dan alih fungsi lahan yang tidak terarah menjadikan DAS Ciliwung mengalami kerusakan parah. Indikasinya pada saat musim penghujan debit Ciliwung meluap, sebaliknya pada musim kemarau wilayah Ciliwung di kawasan Puncak terancam kekeringan. Indikator yang paling mudah dilihat adalah surutnya debit air di bendung Katulampa, di Bogor dan keringnya sumur-sumur warga.

Aliran Ciliwung. Presentasi: Djati Witjaksono Hadi

Kondisi ini, ironisnya ditambah dengan menyusutnya kawasan hutan yang merupakan regulator alami tata kelola air tersisa di DAS Ciliwung. Di wilayah hulu pun hanya tersisa 3.693 hektar. Padahal, bila bicara luasan ideal ruang hijau, harusnya sekitar 30 persen dari luas Ciliwung itu sendiri.

Sudah Ada Payung Hukum Tapi Tidak Dilaksanakan

“Jika hanya melaksanakan betonisasi di sepanjang aliran itu ibaratnya bom waktu, hanya untuk kepentingan memindahkan aliran agar lebih cepat, namun bagaimana wilayah yang tidak dibeton?” jelas Sahroel Polontalo. Pengamat pengamat sekaligus aktivis pelestarian Ciliwung kepada Mongabay-Indonesia pertengahan November ini.

Menurutnya, tidak ada cara lain untuk mengatasi permasalahan Ciliwung selain membangun prasarana pengendali aliran permukaan secara massal di wilayah DAS Ciliwung, khususnya di wilayah hulu. Dengan demikian, pada saat debit puncak Ciliwung terjadi, akan membantu aliran sungai saat memasuki puncak musim penghujan.

Pendekatan teknokratis ala Pemerintah, seperti rencana pembangunan waduk di daerah Ciawi pun dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan jangka panjang selama tidak didukung dengan pemulihan ekosistem di hulu Ciliwung.

Alih fungsi lahan dan pembetonan wilayah di sempadan sungai yang terus terjadi tidak akan mampu hanya ditanggulangi lewat pembangunan waduk semata. Belajar dari kejadian banjir tahun 2002 dan 2007 total curah hujan yang tidak mampu diresapkan sebesar 62,3% sehingga menghasilkan debit maksimum hingga 525 meter kubik per detik.

Di sisi lain pemerintah dianggap belum konsisten melaksanakan sejumlah aturan hukum yang terkait dengan pengelolaan sungai, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38/2011 tentang Sungai dan PP nomor 26/2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional yang mengatur pengelolaan sungai, termasuk sempadan sungai.

Inkonsistensi RTRW di Kawasan Puncak. Sumber: Ernan Rustiadi/ P4W IPB

Menurut aturan yang ada dalam PP 26/2008 sempadan sungai merupakan kawasan lindung yang garis sempadannya ditentukan oleh Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), termasuk mengembalikan zona riparian agar tetap sealami mungkin dengan vegetasi lokal (rumput, semak dan pepohonan).

“Pemerintah Daerah sendiri masih banyak yang belum paham dan salah tentang yang disebut badan sungai. Badan sungai masih dianggap palung sungai semata, sedangkan sempadan sungai terus dialihfungsikan,” terang Sahroel. “Sebagai sungai lintas provinsi, kami mendesak Menteri PUPR segera menetapkan garis Sempadan Ciliwung. Dari sana dapat diturunkan menjadi agenda serempak dari Pemerintah Kabupaten dan Kota.”

Penampang sungai. Masih ada kesalahan persepsi
Penampang sungai. Masih ada kesalahan persepsi bahkan oleh Pemda sendiri, yang dianggap sebagai sungai adalah palung sungai dan tidak memasukkan sempadan sungai.

Menurut Sahroel, jika wilayah sempadan sungai telah ditetapkan maka di wilayah sempadan sungai dapat dibangun berbagai konsep rumah lingkungan termasuk ribuan sumur resapan (biopori), pembangunan kolam-kolam (embung), dan mendesain pembangunan pemukiman yang meniru alam atau “low impact development” yang telah mulai dilaksanakan di beberapa negara maju.

“Pengelolaan sungai Ciliwung harus dilakukan lewat pendekatan thinking out of the box, para pemangku kepentingan harus mendorong agar antar pemerintah daerah mau bekerjasama, lepas dari ego sektoral,” imbuhnya.

Untuk mengatur agar air limpasan tidak masuk ke dalam palung sungai, maka air limpasan sempadan sungai harus direstorasi, termasuk mengembalikan ekosistem yang ada. Di banyak negara, restorasi sungai dilakukan dengan mengembalikan sungai-sungai yang dibeton ke kondisi alami dengan melakukan penananaman vegetasi lokal di tebing dan sempadan sungai yang sudah dihilangkan betonnya.

Zona lindung dan restorasi di wilayah sempadan sungai kedepannya dapat ditujukan untuk mewujudkan taman keanekaragam hayati di sepanjang wilayah sempadan dan menambah ruang terbuka hijau (RTH), yang dapat diarahkan sebagai destinasi wisata.

“Jika tidak dilakukan, maka lahan-lahan telah menjadi kawasan terbangun justru akan menambah beban berat Ciliwung,” menyudahi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,