, ,

Stasiun Penelitian Orangutan Ketambe Hidup Lagi

Pada Jambore Konservasi Leuser 2015, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Kamis (12/11/15), kembali membuka Stasiun Penelitian Orangutan Sumatera, tertua di Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh. Ia masuk dalam TNGL.

Pembukaan kembali ini, ditandai penandatanganan plakat dihadiri Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bupati Gayo Lues dan Wakil Bupati Aceh Tenggara. Para peneliti juga hadir, salah satu Sri Suci Utami Atmoko. Dia Doktor perempuan pertama, selama enam tahun berada di Stasiun Penelitian Ketambe (SPK) melakukan berbagai penelitian tentang orangutan. Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), yang sempat belajar di SPK, juga hadir.

SPK didirikan 1971 oleh Herman D. Rijksen. Dari website Gunungleuser.or.id, menyebutkan, awalnya tempat ini untuk merehabilitasi orangutan sitaan dari penduduk. Tempat ini kaya tumbuhan pakan orangutan, seperti jenis beringin (Ficus spp.), durian (Durio sp.) dan lain-lain.

Mulanya, pusat penelitian ini seluas 1.5 kilometer persegi. Kala Unit Management Leuser bekerja 1998, ada beberapa stasiun penelitian, yaitu Agusan, Bengkung, Gunung Air, Soraya, dan Stasiun Suaq Belimbing. Kini, hanya Stasiun Penelitian Ketambe yang berfungsi baik.

Masih dikutip dari Gunungleuser.co.id, pada 1979, Schurman memperluas, mengukur, dan memetakan sangat akurat SPK, luas menjadi 4.5 km2. Februari 1979, seluruh orangutan yang direhabilitasi di Ketambe dipindahkan ke Stasiun Rehabilitasi Orangutan Bohorok. Sejak itu, Ketambe hanya sebagai pusat penelitian.

Trio Santoso, Kepala Sub Direktorat Pemanfaatan Kawasan Strategis, Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam, Dirjen KSDAE KLHK, mengatakan, di stasiun penelitian ini banyak pakar dan peneliti luar dan dalam negeri, melakukan berbagai riset tentang perilaku dan habitat maupun kelestarian orangutan di Ketambe, maupun TNGL. “Kelestarian Gunung Leuser perlu sama-sama dijaga. Diharapkan dengan pembukaan kembali ada terobosan baru untuk pembelajaran generasi mendatang.”

Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Forum Orangutan Indonesia (Forina), mengatakan, dibanding stasiun lain, pusat penelitian ini lengkap dan tertua di dunia. Data SPK dinilai cukup lengkap dan terperbaharui, terbuka serta dipublikasi. Banyak sekali pengetahuan soal orangutan bisa didapat dari sini.

Di Stasiun Penelitian Orangutan Ketambe, sudah banyak peneliti dari luar dan dalam negeri. Foto: Ayat S Karokaro
Di Stasiun Penelitian Orangutan Ketambe, sudah banyak peneliti dari luar dan dalam negeri. Foto: Ayat S Karokaro

Suci mengatakan, masa hidup orangutan bisa sampai 50 tahun. Mereka pemakan buah dan penyebar biji terbaik. “Salah satu contoh, hutan TNGL baik, tak terlepas peran mereka. Fungsi ekositem mereka sangat besar.”

Penelitian orangutan di Ketambe

Di SPK ini, bisa riset bukan sebatas perilaku orangutan juga soal DNA mereka. Dari sinilah, Suci mencoba metode terbaru, bagaimana mengkoleksi sampel tetapi tak mengganggu atau tidak melukai satwa. Awal penelitian, banyak orang meragukan metode dengan sampel kotoran bukan darah. Sekarang, hasil penelitian banyak dipakai di berbagai tempat, bukan saja orangutan, tetapi primata lain.

Temuan lain soal orangutan, adalah mereka tidak bisa berenang. Jika terjebak atau jatuh ke sungai atau air akan tenggelam. Jadi, bahaya kalau orangutan melihat manusia berenang dan ikut-ikutan, bakal tenggelam. Tetapi jika ada batu atau ranting patah, mereka bisa memanfaatkan itu.

Namun, orangutan satwa mudah mengingat, pintar meniru dan belajar dari manusia. “Yang dibilang bisa berenang seperti di Kalimantan, itu sebenarnya ada batu. Disitu pula kepintaran orangutan, mereka belajar dan meniru dengan melihat manusia.”

Soal reproduksi, orangutan jantan ada dua, berpipi dan tidak. Orangutan berpipi, adalah pejantan muda, yang tidak pejantan dewasa. Satu kepintaran orangutan betina bereproduksi biasa lebih memilih pejantan dewasa.

Temuan lain Suci dari penelitian orangutan Ketambe, dulu, soal orangutan bisa memakan kulit kapuk rimba dengan duri cukup banyak dan tajam, tetapi tidak terkena. Caranya, orangutan mengambil daun sebagai alas agar tangan dan kaki tak terkena duri.

“Kalau kita pergi ke tempat lain, contoh ke Suak Belimbing, Aceh Selatan, berbeda lagi. Mereka tidak mengerti. Artinya, orangutan ada budaya. Dulu orang pikir budaya cuma di simpanse yang katanya paling cerdas. Ternyata orangutan juga,” ucap Suci.

Kepintaran lain orangutan Ketambe, yang juga ada di Suak Belimbing, orangutan menggunakan alat untuk memakan biji nesia, buah seperti durian, 90% lemak tetapi ada bulu-bulu seperti bambu dan lebih tajam. Untuk mendapatkan biji tetapi terhindar dari bulu tajam, orangutan pakai ranting pohon, lalu digigit ujung ranting kemudian ditusuk ke buah agar bulu terbang.

Begitu juga saat bikin sarang tidur. Orangutan selalu mengambil dahan baru untuk ganti seprai atau alas tidur. “Manusia berapa kali seminggu ganti seprai? Kalau orangutan selalu mengganti saat akan tidur. Itulah hasil penelitian saya di Ketambe. Ini kepintaran luar biasa dari orangutan Ketambe.”

Kawasan TNGL harus terus terjaga. Foto: Ayat S Karokaro
Kawasan TNGL harus terus terjaga. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,