,

Silent Forest, Fenomena Akibat Maraknya Perburuan Burung Liar?

Maraknya penyelundupan burung liar ke Surabaya melalui Pelabuhan Tanjung Perak, menjadi keprihatinan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alama (BKSDA) Jawa Timur.

Kepala BKSDA Jawa Timur, Suyatno mengatakan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, serta Papua Barat, merupakan wilayah asal burung yang diselundupkan tersebut dalam beberapa waktu terakhir. “Kami sudah bertemu semua kepala balai untuk memperketat pengawasan. Selama ini, pengawasan dan penjagaan lebih banyak dilakukan di daerah tujuan seperti Surabaya,” kata Suyatno, Selasa (19/1/2016).

Burung-burung itu diselundupkan dengan berbagai modus, seperti menitipkan di ruang kapal, hingga dimasukkan dalam truk sebagai muatan KM Tunas Wisesa dan KM Kumala. Saat ini, burung hasil sitaan tersebut, yang masih hidup, dititipkan ke sejumlah lembaga konservasi (LK), sebagaimana prosedur sekaligus untuk penyelamatan.

Suyatno menegaskan, pelepasliaran burung hasil sitaan akan dilakukan setelah seluruh prosedur dan administrasi dilakukan. Sedangkan untuk jenis burung yang dilindungi harus menunggu proses hukum di pengadilan, apakah akan dilepasliarkan ke habitat aslinya atau dikembalikan ke pemiliknya. “Mengenai kasus kakatua jambul kuning yang diselundupkan dalam botol plastik, saat ini masih dititipkan di beberapa LK seperti Jatim Park di Malang, TSI II Prigen di Pasuruan, dan Maharani Zoo di Lamongan. Kita masih menanunggu hingga proses hukum selesai.”

Menurut Suyatno, upaya pelepasliaran menjadi pilihan utama untuk satwa sitaan, dengan tetap memperhatikan aturan serta faktor habitat asli satwa tersebut. Pelepasliaran yang bukan tempat asalnya, dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem, terlebih bila satwa itu terjangkit penyakit seperti H5N1. “Kalau bisa dilepasliarkan ya dilepaskan, kalau tidak bisa kita titipkan di LK. Bila berpenyakit ya dimatikan.”

Ria Saryanthi, Kepala Unit Komunikasi dan Pengembangan Pengetahuan Burung Indonesia menuturkan, untuk penegakan hukum burung memang harus disita. Jika penangkapan dilakukan di Surabaya, Jakarta, atau Medan, bisa dititipkan ke lembaga konservasi atau di pusat penyelamatan satwa (PPS) yang ada untuk pemulihan kondisinya. “Kalau kondisi burung tersebut sehat bisa dilepaskan setelah proses rehabilitasi dilakukan. Tentunya dibarengi dengan berita acara yang telah dibuat.”

Sementara, burung yang tidak layak lepas bisa dijadikan indukan di penangkaran jika tidak sakit. Namun, bila membahayakan bisa dimusnahkan juga, telebih bila terindikasi menyebarkan virus avian influenza. “Pastikan juga, bila pelepasan burung yang telah melalui tahap rehabilitasi dilakukan sesuai habitatnya. Jangan sampai, burung asal Malulu dilepas di Jawa. Ini bakalan menjadi masalah baru seperti invasive species.”

Sebagai catatan, awal Januari 2016, Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya telah menggagalkan upaya penyelundupan 769 burung berbagai jenis. “Burung tersebut adalah cililin, murai batu, kacer, tiong emas, cucak jenggot, dan cica-daun besar,” jelas Retno Oktorina, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan, Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya.

Barang bukti yang berhasil disita BKSDA Jawa Timur. sekitar 2.711 individu burung coba diselundupkan melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, awal Desember 2015. Foto: BBKSDA Jatim

Silent forest

Maraknya perburuan perburuan burung di alam liar, menurut Fransisca Noni dari Burung Nusantara, akan menjadi salah satu faktor munculnya fenomena silent forest atau hutan sepi. “Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan hasil diskusi para pengamat burung di beberapa daerah, kondisi ini mulai ada.”

Noni menuturkan, dari pengamatannya di Cagar Alam Telaga Warna, Bogor beberapa waktu lalu, sangat sulit menemukan burung-burung liar, meski kondisi hutan cukup bagus. “Pada ketinggian 1.700-an meter di atas permukaan laut (m dpl) yang biasanya masih terlihat burung hingga pukul 08.00, sekarang sulit. Bahkan, untuk mendengar suaranya juga jarang.”

Selain Bogor, fenomena silent forest juga dilaporkan para pengamat burung terjadi di Semarang serta beberapa daerah di Sumatera. Kalau ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan terjadi di Kalimatan maupun Papua. ”Pemburu kan tidak melihat usia burung, asal nangkap saja. Lama-lama spesies tertentu bisa punah karena perbuatan merusak ini.”

Padahal, hidup burung itu memang di alam liar. Sangat bermanfaat bagi alam. Burung merupakan indikator alami kualitas lingkungan. Kehadiran burung di suatu wilayah menunjukkan daerah tersebut masih asri. “Secara ekologis, burung melakukan tugas mulai menebar biji dan melakukan penyerbukan. Jadi, jangan diburu,” tegas Noni.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,