,

Banggai Cardinal ditengah Meningkatnya Kepopuleran dan Ancaman Populasinya

Perdagangan ikan hias air laut memunculkan perdebatan dan kontroversi terhadap kelestarian spesies dan keberlanjutan ekosistem

The National Marine Fisheries Services US (NMFS) pada pertengahan Januari 2016 lalu menerbitkan aturan baru perihal memasukkan spesies ikan hias banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni) sebagai spesies “terancam” di bawah Undang-Undang Spesies terancam punah. Langkah ini merupakan yang pertama diambil untuk mendaftarkan ikan akuarium laut sebagai spesies langka dari sekitar 28 jenis ikan hias lainnya.

Karena banggai cardinalfish akan terdaftar sebagai “terancam” (threatened), bukan “terancam punah,” (endangered) NMFS menyebutkan tidak ada pembatasan langsung pada perdagangan atau kepemilikan. Namun, lembaga tersebut dapat memulai proses pembuatan peraturan untuk menentukan larangan pengambilan di beberapa titik region kedepannya.

Ikan ini sendiri bertubuh kecil nan elok, dengan sirip mencolok, keperakan perunggu, dengan tiga garis hitam legam dan titik-titik terang. Sesuai namanya, banggai cardinalfish pertama kali diidentifikasikan secara ilmiah pada tahun 1920 di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Pada tahun 1933 jenis ini dimasukkan dalam literatur ilmiah.

Banggai cardinalfish adalah ikan endemik yang hidup dalam relung habitat yang sempit, sekitar 34 kilometer persegi. Pada tahun 1994 ikan ini “ditemukan kembali” oleh Gerry Allen dari Conservation International. Pada tahun berikutnya ikan ini mulai menjadi salah ikan hias populer bagi para penggemar akuarium ikan laut di Amerika Utara.

Dengan mencuatnya popularitas ikan ini, dan tidak adanya model pengelolaan perikanan yang solid, diperkirakan pada tahun 2002 sekitar 600 ribu ikan dipanen setiap tahunnya. Pada tahun 2004, mulai muncul kekuatiran terhadap kelangsungan hidup spesies ini. Diperkirakan total populasi spesies banggai cardinalfish adalah 2,4 juta ikan.

Meski demikian, pemanenan dari alam terus berlanjut, dimana diperkirakan 900 ribu cardinalfish banggai diambil pada tahun 2005. Pengiriman ikan yang tidak baik menyebabkan banyak ikan yang mati pada saat diterima di tingkat pembeli di Amerika Utara.

Pada tahun 2007, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan banggai cardinal sebagai spesies terancam punah.

“Memberikan perlindungan untuk banggai cardinalfish sangat penting karena permintaan ikan akuarium di Amerika Serikat adalah penyebab utama ini terancam spesies penurunan,” jelas Taylor Jones, juru kampanye dari organisasi WildEarth Guardians.

Meskipun demikian, beberapa pihak menentang upaya pembatasan ini, dengan salah satu alasannya karena banggai cardinalfish telah berhasil dibudidayakan sejak tahun 2013 di Thailand, yang diklaim bakal mampu memenuhi permintaan pasar AS.

Di sisi lain, Jones dan rekan-rekannya percaya bahwa peraturan pelindung tambahan yang diperlukan tetap harus diberlakukan. Sebagai contoh NMFS harus menyelesaikan peraturan larangan impor spesies dari alam liar.

Jika hal ini tidak dilakukan saat ini, maka dikuatirkan dalam satu dekade dari sekarang perusakan habitat alami akan terus terjadi yang beresiko terhadap kehidupan spesies ini.

Peta perdagangan ikan hias laut dunia yang diimpor oleh AS. Image courtesy of Andrew Rhyne.

Sebuah industri global yang diperdebatkan

Perdagangan akuarium air laut mulai muncul di tahun 1930-an di Sri Lanka. Pada tahun 1970-an itu telah tumbuh menjadi industri global multi-jutaan dolar.  Perdagangan mencapai puncaknya pada tahun 2005, yang kemudian menurun karena dampak ekonomi global. Saat ini tampaknya industri ini telah kembali meningkat.

Amerika Serikat adalah negara yang paling tinggi mengimpor berbagai jenis ikan hias untuk akuarium (sekitar 70 persen). Pada tahun 2008-2011 saja terdapat hampir 2.300 spesies ikan yang berasal dari 45 negara yang diperdagangkan. Paling besar berasal dari dua negara Asia Tenggara yaitu Filipina (56 persen) dan diikuti Indonesia (28 persen).

Selain Amerika Serikat dan Eropa, sejalan dengan meningkatnya ekonomi Tiongkok dan beberapa negara Asia Tenggara, permintaan akuarium di negara-negara ini akan semakin meningkat dalam satu dekade mendatang yang diikuti dengan permintaan ikan hias yang semakin signifikan.

Perdagangan ikan hias air laut tergantung kepada pasokan dari ikan alam. Hanya kurang dari 15 persen spesies ikan laut yang diperdagangkan yang berhasil dibesarkan di penangkaran, dan hanya satu persen spesimen yang berasal dari hasil budidaya.

Para aktivis anti-perdagangan ikan laut seperti Humane Society dan Sea Shepherd Conservation Society menyebutkan karena industri ini sudah teramat besar, dan hanya sedikit ikan yang berasal dari budidaya aquaculture yang tersedia, maka tampaknya tidak mungkin industri bergerak secara sukarela.

Harapan terakhirnya adalah melalui penerapan Undang-Undang seperti Endangered Species Act yang didorong dari petisi publik. Sementara itu diperkirakan terdapat sebanyak 30 juta ikan dipanen dalam setahunnya (terutama dari perairan tropis), yang dampak ikutan turut menimbulkan stress terumbu karang, seperti pemutihan karang (coral bleaching) dan pengasaman laut yang perlu dihitung sebagai bentuk eksternalitas dari industri ini.

Demikian pula dampak lain adalah terjadinya illegal fishing yang tidak dilaporkan dan tidak diatur (Illegal, Unreported, and Unregulated;  IUU Fishing). Termasuk penggunaan sianida dan praktik penyetruman ikan sembunyi-sembunyi. Pengambilan ikan berlebih (overfishing) yang terjadi telah memaksa para nelayan untuk mencari lebih jauh spesies bernilai tinggi, seperti biru tang (Paracanthurus hepatus).

Blue tang, salah satu ikan hias yang populer. Sumber foto: Nathan Rupert/Flickr.

Di sisi lain, transparansi dalam impor berbagai jenis ikan hias laut ini harus dibenahi, jika tidak mau industri ini dicap sebagai perdagangan satwa liar ilegal.

Selama lebih dari satu dekade, peneliti telah membahas kurangnya data perdagangan akuarium laut yang cukup: Berapa banyak ikan yang diperdagangkan? spesies apa saja yang dipanen? Kemana mereka dikirim?

Sementara beberapa database dari data perdagangan ada, namun tidak satupun dari mereka yang dirancang untuk secara komprehensif memantau perdagangan atau untuk menyediakan jenis data spesies yang dibutuhkan untuk mendukung keputusan keberlanjutan.

“Bahkan kita tidak tahu secara persis berapa banyak satwa yang diekspor dari negara tertentu, jadi bagaimana anda tahu jumlah yang diimpor ini bakal berkelanjutan atau tidak?” tanya retoris Andrew Rhyne, salah seorang peneliti dari Roger Williams University, Rhode Island.

Sebagai contoh pada tahun 2012, jumlah ikan badut (Amphiprion percula) secara global diperkirakan 70 – 100 ribu yang terambil langsung dari terumbu karang perairan tropis setiap tahunnya.

“Database ini adalah titik awal untuk meningkatkan keberlanjutan perdagangan,” kata Rhyne, “Setelah kita mengetahui volume dan keragaman perdagangan, kita bisa mengatasi masalah relevan lain yang berhubungan dengan pemanfaatan lingkungan dan ekonomi.” – Diterjemahkan oleh Ridzki R. Sigit

Referensi

Koumans, F.P. (1933). On a new genus and species of Apogonidae. Zoologische Mededelingen 16:78.

Rhyne, A.L., Tlusty, M.F., Szczebak, J., Holmberg, R.J. (2015). When one code = 2,300 species: Expanding our understanding of the trade in aquatic marine wildlife. PeerJ PrePrints 3:e1447.

Artikel asli:

Popular pet fish listed as threatened under endangered species act. Mongabay.com

Quantifying the aquarium trade to help it become more sustainable. Mongabay.com

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,