Harapan, Badak asal Amerika yang Nyaman di Rumah Leluhurnya

Nama Harapan, di penghujung 2015 menarik perhatian masyarakat dunia. Badak sumatera yang lahir dan besar di Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika Serikat ini, akhirnya pulang ke Indonesia, habitat leluhurnya. Harapan dibawa pulang pada tanggal 2 November 2015 dan saat ini hidup di Suaka Rhino Sumatera (Sumatran Rhino Sanctuary, SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung.

Meskipun merupakan spesies asli sumatera, Harapan lahir di Cincinnati Zoo, Amerika Serikat, dari pasangan Emi dan Ipuh. Harapan memiliki dua saudara, masing-masing Andalas (badak jantan) dan Suci (badak betina) yang semuanya sama-sama lahir di Cincinnati.

Kedua induk mereka, yaitu Emi dan Ipuh merupakan badak hasil tangkapan di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat pada periode 1980-1994. Saat itu Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Sumatran Rhino Trust memiliki program penangkaran badak sumatera di luar habitat (ex situ). Program ini didorong untuk menghindarkan kepunahan badak sumatera akibat rusaknya habitat wilayah hidupnya, khususnya di Sumatera bagian Tengah dan Riau.

Ipuh ditangkap tahun 1990, ketika dia berumur 20 tahun. Sementara Emi ditangkap pada 1991 saat berumur 8 tahun. Kedua badak ini dikirim ke Cincinnati Zoo, karena kebun margasatwa ini dianggap telah berhasil melakukan pembiakan atau breeding pada spesies badak lain. Ipuh mati tua pada 2013, begitu juga dengan Emi yang mati lebih dulu pada 5 September 2009. Sementara Suci, saudara betina dari Harapan yang lahir pada 2004, mati pada 31 Maret 2014.

Saudara Harapan yang jantan, yaitu Andalas telah lebih dahulu dikirim pulang ke fasilitas SRS pada tahun 2007. Di fasilitas SRS, Andalas dikawinkan dengan Ratu, seekor badak betina hasil tangkapan asal Way Kambas. Dari perkawinan ini Andalas dan Ratu memiliki anak yang kemudian diberi nama Andatu (lahir 23 Juni 2012). Peristiwa kelahiran Andatu merupakan tonggak bersejarah bagi konservasi Indonesia yang telah menunggu 112 tahun kelahiran bayi badak di luar habitat alaminya.

Kandang transportasi yang membawa Harapan dari Cincinnati ke Way Kambas. Selamat masa perjalanan bobot tubuh Harapan sempat menurun, meski berangsur-angsur pulih kembali. Foto: Ridzki R. Sigit
Kandang transportasi yang membawa Harapan dari Cincinnati ke Way Kambas. Selama dalam perjalanan ini, bobot tubuh Harapan sempat menurun, meski berangsur-angsur pulih kembali. Foto: Ridzki R. Sigit

“Itu dia Harapan,” ujar Dokter Hewan Ni Made Ferawati mengawali pembicaraan kepada Mongabay-Indonesia pertengahan Desember yang lalu. Tangannya menunjuk kepada sosok badak yang sedang diberi makan di kandang karantinanya. Fera adalah dokter hewan yang mengawasi perkembangan Harapan pasca dia dibawa ke fasiltas SRS. Dokter Fera berasal dari Lampung, orangtuanya adalah transmigran asal Bali yang sudah lama tinggal di Lampung Timur.

“Dalam sehari, dari 7 hingga 8 jenis makanan yang diberikan, ia memang masih menyantap jenis tertentu. Ini wajar dalam tahap penyesuaian,” tuturnya. Tampak, Harapan mulai dapat beradaptasi di habitat barunya, meski dalam soal makan dia masih sangat pemilih.

Kabar paling menggembirakan adalah, bobot Harapan meningkat. Sekitar sebulan sejak dia dipulangkan berat badan Harapan telah naik 30 kilogram. Saat dijumpai, bobot tubuhnya adalah 730 kilogram. Idealnya untuk badak sumatera jantan berusia 8 tahun bobot tubuhnya adalah sekitar 820 kilogram. Dalam sehari, badak membutuhkan makanan sekitar 10 persen dari total berat tubuhnya.

“Sejauh ini, Harapan baik-baik saja. Habitatnya sesuai, suasananya nyaman. Pemantauan dilakukan 24 jam penuh termasuk pengecekan darah, urine, dan fesesnya. Bila tidak ada kelainan dia akan terus bertumbuh dengan sehat.”

Hanya saja, di wilayah tropis seperti Indonesia, Harapan harus kembali beradaptasi dengan lingkungan hidup leluhurnya. Di Amerika Utara yang beriklim empat musim, rambut pada tubuh badak sumatera cenderung bertumbuh dengan lebat. Namun ketika kembali hidup di lingkungan hutan tropis, rambut tersebut pun mulai rontok.

Petugas sedang menunjukkan serangga parasit yang suka hinggap di tubuh badak. Badak SRS mendapat pemantauan secara rutin, termasuk dari kemungkinan infeksi dari serangga parasit tropis. Foto: Ridzki R. Sigit
Petugas sedang menunjukkan serangga parasit yang suka hinggap di tubuh badak. Badak SRS mendapat pemantauan secara rutin, termasuk dari kemungkinan infeksi dari serangga parasit tropis. Foto: Ridzki R. Sigit

Masalah lainnya adalah parasit. Di lingkungan hutan tropis, Harapan harus beradaptasi dengan berbagai jenis serangga parasit, seperti sejenis kutu penghisap darah yang umum dijumpai di lingkungan hutan tropis. Berdasarkan laporan dari dokter hewan di Cincinnati Zoo, Harapan sebelumnya tidak berkutu.

“Namun, saat ini nihil parasit, semuanya bagus, tapi tetap kita lakukan pemantauan,” jelas Fera.

Para tenaga medis di SRS, tampaknya optimis Harapan akan baik-baik saja di lingkungan SRS. Hal ini tak lepas dari pengalaman mengasuh Andalas yang sama-sama “anak Amerika”. Memang ada periode dimana badak-badak ini perlu beradaptasi.

Dari pengalaman dengan Andalas, dibutuhkan waktu sekitar dua tahun hingga dia benar-benar dapat beradaptasi dengan cara hidup barunya di hutan tropis, terutama dari sisi pakannya. Badak yang terbiasa diberi makanan yang berbeda di kebun margasatwa, saat dikembalikan secara perlahan dikembalikan dengan makanan asli yang berasal dari vegetasi hutan yang ada di lingkungan SRS.

Harapan di kandang karantina di SRS Way Kambas Lampung. Foto: Ridzki R. Sigit
Harapan di kandang karantina di SRS Way Kambas Lampung. Foto: Ridzki R. Sigit

Lalu apa tujuan Harapan dikembalikan ke habitat aslinya di Sumatera?

Seperti Andalas yang menjadi pejantan bagi badak betina, Harapan pun diharapkan akan mampu meneruskan generasi badak di masa yang akan datang. Jumlah populasi badak sumatera di alam teramat sedikit, diperkirakan kasar hanya tinggal sekitar 100 individu saja, sehingga dibutuhkan campur tangan manusia untuk mengembalikan populasi badak di tingkat yang mampu menjaga keberlangsungan jenisnya.

Badak sumatera merupakan badak bercula dua. Berbeda dengan jenis-jenis badak padang rumput seperti di Afrika, India maupun yang hidup di dataran tinggi di Nepal. Badak sumatera hidup di hutan tropis yang memiliki curah hujan tinggi. Karena habitat hidupnya ini, badak sumatera memiliki ukuran tubuh “mini” jika dibandingkan dengan jenis badak lainnya.

Demikian pula, badak sumatera ini pun cenderung pemalu dan jarang dapat dijumpai langsung. Pejantannya hidup soliter dan hanya bertemu dengan betina pada saat memasuki masa birahi. Dengan demikian, di alam pun tingkat fertilitas badak amat rendah. Kelahiran anak badak di alam, merupakan berita yang amat menggembirakan bagi upaya konservasi badak.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi berdirinya SRS, yaitu untuk menghasilkan individu badak penerus generasi. Saat ini, di lingkungan kandang SRS terdapat enam individu badak. Terdapat dua badak jantan yaitu Andalas dan Harapan, serta tiga badak betina yaitu Bina, Rosa, dan Ratu; dan satu anak badak yaitu Andatu yang merupakan anak Andalas dan Ratu.

Andatu, anak dari Ratu dan Andalas. Seperti anak-anak lainnya, Andatu senang bermain. Foto: Ridzki R. Sigit
Andatu, anak dari Ratu dan Andalas di kandangnya. Seperti anak-anak lainnya, Andatu senang bermain. Foto: Ridzki R. Sigit

Dari sisi usia produktif, tampaknya Ratu dan Rosa yang memiliki peluang yang lebih besar untuk memiliki anak. Bina, badak eks tangkapan yang kemudian dikembalikan dari Taman Safari Cisarua, dianggap memiliki probabilitas kehamilan yang lebih rendah. Saat ini Bina telah berusia lebih dari 30 tahun, yang dianggap sudah diujung masa periode kesuburan dan sebentar lagi menjelang menopause.

Secara genetik, badak-badak di SRS dianggap telah memenuhi keragaman yang ada. Ratu berasal dari Way Kambas, Lampung Timur, sedangkan Rosa berasal dari Bukit Barisan Selatan Lampung Selatan. Kedua wilayah ini mempresentasikan topografi yang berbeda yang berdampak pada penampakan fisik badak. Ratu yang berasal dari wilayah dataran rendah hutan rawa memiliki bentuk tubuh sedikit berbeda dibandingkan Rosa yang berasal dari kawasan perbukitan. Rosa memiliki perawakan tubuh sedikit padat ramping dan cula yang runcing panjang.

Secara genetik, Harapan dan Andalas yang memiliki orangtua asal Sumatera bagian Tengah, akan melengkapi keragaman genetik yang ada. Dengan laporan yang menyebutkan kepunahan populasi badak di Kerinci Seblat, maka Harapan dan Andalas merupakan dua badak tersisa yang mewakili keragaman genetik wilayah tersebut.

Untuk menjaga keragaman genetik di SRS, kedepannya Harapan akan dipasangkan dengan Rosa yang berusia sekitar 15 tahun. Rosa sendiri badak yang memiliki kepribadian unik. Rosa tidak takut dengan kehadiran manusia. Sebelum ditangkap, Rosa sering berkeliaran di sekitar pinggir hutan bahkan masuk ke wilayah hidup manusia seperti lahan pertanian dan masuk ke kebun masyarakat.

Untuk menghindarkan agar Rosa tidak dibunuh oleh para pemburu, Rosa pun ditangkap dan dibawa masuk ke SRS. Hingga saat ini, proses mengawinkan Rosa dengan Andalas belum berhasil dilakukan. Salah satu kemungkinannya adalah karena kedekatan Rosa dengan manusia, alih-alih dengan sesama spesiesnya sendiri.

Rosa, salah satu badak betina dewasa di SRS. Rosa direncanakan akan menjadi pasangan Harapan. Foto: Ridzki R. Sigit
Rosa sedang menikmati makan siangnya. Rosa, salah satu badak tercantik yang ada di SRS, dia direncanakan akan dipasangkan dengan Harapan. Foto: Ridzki R. Sigit

Mengawinkan badak pun merupakan proses yang “mudah-mudah sulit”. Dari pengalaman tim SRS, masa subur betina untuk benar-benar siap dibuahi jantan, hanya dalam kisaran jam dan hari. Badak yang hendak dikawinkan biasanya diletakkan di petak berpagar (encloser) yang bersebelahan.

Jika pada saat itu tidak terjadi percampuran atau terjadi gangguan, maka harus menunggu kembali hingga si betina siap dibuahi para periode berikutnya. Kegagalan dalam masa percumbuan, biasanya berlangsung jika betina menolak kehadiran badak jantan, yang ditandai dengan perkelahian.

”Kita ingin, kedepannya banyak anak badak yang lahir dengan kualitas prima yang tentunya tidak dalam satu keluarga. Andatu yang besar nanti, jangan sampai kawin sedarah (inbreeding) dengan Ratu, ibunya,” jelas Fera menjelaskan.

Menurut penuturan Fera, usia matang kelamin seekor badak, yaitu saat organ tubuhnya telah memproduksi sperma sekitar 5 tahun. Namun, bila dibilang dewasa tubuh, artinya badannya sudah siap mengawini betina, sebagaimana Andalas, diperkirakan sekitar umur 10 atau 11 tahun.

“Jadi dalam waktu dekat Harapan tidak akan dipertemukan dulu dengan betina. Ini memang perencanaan jangka panjang.”

Batas petak berpagar (encloser) yang membatasi wilayah masing-masing badak di SRS. Foto: Ridzki R. Sigit
Batas petak berpagar (encloser) yang membatasi wilayah masing-masing badak di SRS. Total keseluruhan mencakup area 100 hektar. Foto: Ridzki R. Sigit

Fasilitas SRS yang Membanggakan

Fasilitas SRS di TN Way Kambas dapat dianggap sangat lengkap. Lingkungan ini berada lebih dari 10 kilometer dari lingkungan hidup manusia terdekat dan berada di lingkungan hutan yang masih asri.

Biasanya badak menghabiskan waktu berjalan-jalan di petak berpagar setelah diberi makan pagi di kandang. Sekedar membayangkan petak ini mirip seperti dalam film Jurassic Park dimana didalamnya banyak tumbuh tegakan pohon berkanopi. Petak berpagar didesain agar badak tidak pergi keluar dari area SRS, yang total memiliki luas 100 hektar.

“Sanitasi lingkungan kandang menjadi penting untuk diperhatikan,” jelas Haerudin R. Sadjudin, Program Manajer Yayasan Badak Indonesia (YABI), yang turut menginisiasi berdirinya SRS di TN Way Kambas sejak 1996 yang lalu.

“Kami bangga, karena ternyata semua staf yang ada di SRS, termasuk paramedik, semuanya orang Indonesia. Ternyata sampai sekarang badak-badak SRS dapat hidup dengan baik dan menghasilkan keturunan.”

Selain tenaga Indonesia, secara periodik para pakar badak dari IRF (International Rhino Foundation), sebuah organisasi internasional yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian badak, turut memberikan bantuan konsultasi teknis kepada tim SRS.

Pembelajaran mahal dari kegagalan program penyelamatan badak sumatera pada periode 1980-1990-an merupakan hal amat berharga di mata Sadjudin. Dari sekitar 18 individu badak yang dikirim ke kebun margasatwa di luar negeri, pada pertengahan dasawarsa 1990-an maka 70 persen badak tersebut mati. Sebagian besar penyebab kematian badak adalah masalah pencernaan yang ditimbulkan oleh ketidakcocokan pakan.

Lokasi pembibitan tumbuhan pakan badak di Rawa Kidang, TN Way Kambas. Lebih dari 20 jenis telah dibibitkan di sini. Foto: Ridzki R. Sigit
Lokasi pembibitan tumbuhan pakan badak di Rawa Kidang, TN Way Kambas. Lebih dari 20 jenis telah dibibitkan di sini. Foto: Ridzki R. Sigit

Untuk mengantisipasi pakan yang cocok bagi badak, tim YABI menginisiasi program pengayaan pakan badak di area Rawa Kidang, TN Way Kambas. Di lokasi ini, YABI menginisiasi petak penanaman pakan badak seluas 25 hektar yang ditanami secara intensif dengan berbagai pakan badak, sedangkan 25 hektarnya dilakukan lewat pertumbuhan alam (pembiaran).

Saat ini lebih dari 20 spesies vegetasi hutan yang cocok untuk badak telah teridentifikasi. “Dari mengumpulkan feses badak liar, kita jadi paham jenis-jenis tumbuhan apa saja yang dimakan badak. Itu yang kita tanam dan perbanyak,” tutur Sadjudin.

“Kedepannya kita akan memberdayakan masyarakat di sekitar taman nasional untuk menanam pakan badak. Ini sekaligus program peningkatan ekonomi masyarakat yang berbasis konservasi.”

Saat ini pun, tim YABI dan seluruh dunia konservasi badak sedang menunggu kabar gembira dari kelahiran berikutnya anak badak di SRS, yaitu anak kedua dari Ratu dan Andalas, adik dari Andatu.

“Akhir April atau awal Mei 2016 ini, kita menantikan kelahiran bayi yang dikandung Ratu. Ini menunjukkan, program yang dijalankan SRS sejauh ini berjalan baik,” tutup Sadjudin.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,