, , , ,

Tolak Reklamasi Teluk Benoa, 14 Bendesa Adat Datangi Kantor Kepresidenan

Empatbelas Bendesa Adat Bali mendatangi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) di Jakarta, Selasa (17/2/16) menyatakan penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) milik taipan Tomy Winata.

“Kami menolak reklamasi Teluk Banoa karena akan menghancurkan nilai-nilai adat dan keagamaan. Ada 70 titik suci di Teluk Benoa akan dikeruk proyek ini. Ada vibrasi kehidupan dan energi spiritual harus dijaga Bendesa Adat sebagai kewajiban moral dan keyakinan yang menjadi pegangan kami,” kata Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (17/2/16).

Di KSP, mereka ditemui Deputi II Yanuar Nugroho dan staf khusus Noer Fauzi Rachman. Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan fakta-fakta di lapangan dan alasan penolakan.

Ada 18 Bendesa Adat menyatakan menolak reklamasi, 15 desa terdampak langsung, dan tiga tak langsung. Keputusan penolakan diambil dalam rapat tertinggi desa adat dihadiri masyarakat. Jumlah itu, katanya, akan bertambah seiring pertemuan-pertemuan di desa adat lain yang terus digelar.

“Kami bertemu KSP dan berdialog langsung terkait yang menjadi keputusan desa adat. Kami mempunyai kewajiban moral mewujudkan kesejahteraan alam semesta,” katanya.

Menurut dia, meskipun pembahasan Amdal dilakukan pada 29 Januari lalu, namun masyarakat tak pernah dilibatkan atau diajak berbicara.

“Mengapa ada dokumen Amdal demikian tebal dengan segala pendekatan kajian? Kami masyarakat terdekat kawasan seharusnya diajak berbicara. TWBI seharusnya mendengarkan keinginan kami.”

Reklamai yang akan membangun berbagai fasilitas, katanya, akan berdampak kemacetan, pertumbuhan penduduk tak terkendali. Keadaan ini bisa menyebabkan persaingan ekonomi tak sehat. Apalagi memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. “Kami ingin pemerintah bijak menyikapi. Ada mekanisme yang terlewatkan.”

I Made Wijaya, Bendesa Adat Tanjung Benoa dalam kesempatan sama mengatakan, pihaknya mempunyai kewajiban menjaga hubungan antara manusia dan lingkungan. Reklamasi dianggap melanggar aturan kawasan kosnervasi. Tak pantas dilakukan.

“Dalam konteks tanah adat kita sudah menyatakan sikap menolak. Kami ingin Bali teduh. Investor harus menjaga lingkungan, dan menghargai adat istiadat kami,” ucapnya.

Tanjung Benoa, katanya, merupakan pintu gerbang proyek reklamasi dan sangat rentan. Mereka  tertulis  menyatakan menolak  reklamasi.

“Saat pertemuan dengan KSP, mereka meminta masukan. Kami menyatakan sikap dalam kajian Amdal. Sebelum evaluasi Amdal kami sudah menyatakan bahwa pengkajian  layak atau tidak, seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat terutama masyarakat adat. Kalau tak diindahkan, berarti tak berjalan baik.”

Peta kawasan suci di Bali yang disusun Sugi Lanus

Sebelumnya, TWBI mengatakan, dalam Amdal masyarakat dilibatkan. “Masyarakat yang mana? Ini seakan-akan pro saja yang diundang. Yang terkena dampak di Tanjung Benoa, tidak. Ada kesalahan proses di awal.”

Ida Bagus Ketut Purbanegara, Bendesa Adat Buduk mengatakan, desa mereka tak berdampak langsung tetapi di Bali ada ikatan moral dan persaudaraan kuat, yakni pesidikaran higga ikut menolak reklamasi.

“Pesidikaran muncul jika ada hal substansif disentuh menyangkut kehidupan sosial budaya. Kami ikut menolak reklamasi karena memiliki ikatan pesidikaran kuat dengan desa adat lain yang terdampak langsung reklamasi.”

Selain mengancam lingkungan seperti bahaya abrasi dan banjir, reklamasi bisa menimbulkan konflik horizontal antarmasyarakat. Mereka ada pro dan kontra.

I Wayan Gendo Suardana dari ForBali mengatakan, Bendesa Adat menyatakan sikap kritis terhadap praktik investasi dan merupakan sejarah baru.

“Ada hal melatarbelakangi itu, 70 titik suci dengan berbagai bentuk seperti muntik, alur teluk dan muara akan diurug,” katanya.

Cabut Perpres “reklamasi Benoa”

Dia mengatakan, kebijakan paling strategis bisa dilakukan Presiden Joko Widodo, dan akan diingat rakyat Bali, kala bersedia mencabut Perpres 51 tahun 2014 yang dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa bulan sebelum lengser.

“Proses Amdal tak ada persetujuan di awal. Seharusnya ada proses awal memastikan persetujuan masyarakat. Yang terjadi manipualsi-manipulasi upaya di ruang gelap memaksakan proyek tetap berjalan.”

Pertemuan dengan KSP, katanya, memastikan surat penolakan Bendesa Adat semua sampai ke meja Presiden. “Ada informasi obyektif sampai kepada beliau.”

Dalam Amdal, katanya, diundang ada 11 Bendesa, 10 menolak tegas dan satu abstain. “Itu bukan klaim pimpinan. Berdasarkam rapat adat seluruh warga yang hadir menolak.”

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Abetnego Tarigan mengatakan, upaya para Bendesa Adat ini sangat penting dan krusial. Sebab, Perpres 51 tahun 2014 yang menjadi dasar proyek reklamasi Teluk Benoa bermasalah sejak awal dan layak dicabut. “Sampai detik ini Perpres masih berlaku.”

Awalnya, status kawasan konservasi. Untuk melegitimasi tindakan ilegal itu keluar perpres mengubah status dari zona konservasi menjadi pemanfaatan. “Pasti ada kejahatan korporasi di balik kebijakan ini,” katanya.

Khalisah Khalid, Walhi Nasional menduga, pengembang makin kuat mendesak agenda mereka agar berjalan. Mereka mencoba masuk lewat Amdal juga DPR.

“Salah satu lewat Adian Napitupulu yang mengatakan tak ada masalah dalam izin lingkungan reklamasi Teluk Benoa. Ini beberapa indikator masif TWBI memaksakan investasi bisa berjalan. Kami menduga ada lobi-lobi coba dilakukan di level elit,” katanya.

Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,