, , ,

Menelusuri Jejak Wallace di Maros

Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris (1823-1913), kala berusia 34 tahun menjejakkan kaki di Maros, pada Juli-November 1857. Lewat Makassar, dia menelusuri pesisir dan sungai.

Wallace mengenal wilayah utara Makassar, dari seorang bernama Willem Landeert Mesman. Keluarga Mesman setahun sebelumnya, mengunjungi Makassar (September-November 1856). Willem yang menemani mengunjungi pedalaman Gowa dan memberikan rumah di Mamajam (Mamajang).

Setelah Wallace ke Maros, dia membawa surat perkenalan pada Jacob David Mathjis Mesman, kakak Willem Landeert Mesman. Jacob menghuni rumah besar di dataran antara gunung-gunung lancip karst. Jacob seorang petualang. Mengandalkan senjata berburu, dan sekali waktu menemukan babi hutan, rusa, bahkan burung.

Jacob juga memelihara sapi yang menghasilkan susu segar melimpah. Menanam sendiri kopi dan tembakau. Jacob, menerima Wallace dengan suka cita. Memberi sebagian besar rumah mandor tetapi Wallace tak begitu menyukai.

“Rumah ini teralu terbuka, angin dan debu akan mengganggu bila saya bekerja dengan serangga atau kertas-kertas. Siang hari sangat panas. Beberapa hari kemudian saya terserang demam tinggi, akhirnya membuat saya membulatkan tekad pindah,” tulis Wallace dalam The Malay Archipelago–dalam terbitan Indonesia menjadi Kepulauan Nusantara; Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam.

Lahan dikeruk oleh PT Semen Bosowa, sekitar 400 meter dari pondok Wallace . Foto: Eko Rusdianto
Lahan dikeruk oleh PT Semen Bosowa, sekitar 400 meter dari pondok Wallace . Foto: Eko Rusdianto

Akhirnya niat pindah terlaksana. Wallace memilih tempat dengan jarak dari kediaman Jacob, sekitar satu mil. Berada di kaki bukit ditutupi hutan. Ia terdiri dua bagian utama rumah hunian kecil, terdapat kamar kecil, dan bagunan lain dapur terpisah.

Di rumah inilah Wallace mengemasi temuan dan mengepak beberapa temuan lain dari Aru, setelah Makassar. Dimana tempat itu? Wallace tak mencatat dalam buku perjalanan itu. Namun, dalam thermometer temuan dituliskan Amasanga N (nort) of Macassar.

Saya dan Kamajaya Saghir, peneliti dari Taman Nasional Bantimurung Bulusuraung, mencoba menelusuri nama tempat itu. Kami membaca peta buatan Belanda 1928. Ada titik bernama Amasanga, tepat bersisihan dengan gunung karst.

Ketika kami mencoba mendatangi lokasi peta, terjadi begitu banyak perubahaan. Titik bernama Amasanga dalam peta berubah menjadi pabrik semen milik PT Semen Bosowa. Dekat pabrik, ada kampung bernama Ammasangeng.

Kamajaya, tak begitu yakin, jika Ammasangeng itu Amasanga. Namun, dalam dialeg memungkinkan Amasanga yang ditulis Belanda adalah Ammasangeng dalam dialeg Bugis. “Apakah kampung yang sekarang Amasanga masa lalu, tak dapat dipastikan,” katanya.

Di rumah Kamajaya, melalui aplikasi google map, kami menarik garis lurus ke berbagai tempat untuk ukuran satu sampai satu setengah mil. Ada titik ditemukan berada tepat antara tebing. Berbukit dan tertutup hutan, bernama Tompokbalang. Kami ke sana dan bertemu La Saing (60 tahun). Dia petani dan penggarap kebun warisan orangtua.

Rumah panggung sederhana, tak ada kamar. Hanya beberapa kasur lipat murah tergeletak di beberapa titik.

Saat Kamajaya bertanya, kisah orang Belanda tuturan orangtua, dia tak berpikir panjang, langsung menunjuk. “Di sana, dulu ada rumah orang Belanda, yang selalu diceritakan nenek saya,” katanya dalam bahasa Makassar.

Lubang air sekitar 50 yard dari titik pondok Wallace. Foto: Eko Rusdianto
Lubang air sekitar 50 yard dari titik pondok Wallace. Foto: Eko Rusdianto

Kami bergegas ke tempat itu. Pematang sawah dan sungai kecil. Di kaki bukit itu, ada tanah datar kosong, tak ditumbuhi apa-apa, seperti bekas rumah. Ada pohon asam, di sekeliling ada cempedak (Artocarpus). Sisi lain bertumbuhan pohon aren (Arenga saccharifera).

Di tempat dugaan pondok Wallace itu, kami duduk dan berbagi cerita, sembari membuka buku The Malay Archipelago. “Kira-kira 50 yard (atau 100 meter) dari kaki bukit di bawah rumah saya, terdapat lubang dala di alur sungai dan menjadi sumber air. Setiap hari saya mandi menggunakan ember air dan mengguyurkan di sekujur badan saya,” tulis Wallace.

Dari tempat itu, kami berjalan ke kiri radius diterangkan Wallace. Kami menemukan lubang, juga mata air yang mengalir ke sungai. Mata air itu, keluar dari dasar batuan karst, segar dan membentuk lubang. Jika musim hujan, air bisa meluap, mengalir serupa shower kecil. “Saya condong dan beranggapan inilah tempat mandi Wallace,” kata Kamajaya.

Di arah kanan kami juga ada mata air membentuk badan sungai tetapitak berlubang seperti gambaran Wallace.

Rusman Muliadi, ahli kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, mengatakan, tempat itu sangat strategis. “Saya kira tempat tepat membangun podok untuk pengamatan. Di depan ada sungai merupakan perlintasan kupu-kupu.”

Dasar-dasar sungai saat mengering menghasilkan beberapa tumpukan pasir lembab. Pasir-pasir itu, kata Rusman, disenangi beberapa jenis kupu-kupu cantik dan langka untuk mengisap mineral. “Bisa dilihat, baru beberapa saat kita di sini, sudah ada beberapa kupu-kupu melintas,” katanya.

 

Lahan dikeruk oleh PT Semen Bosowa, sekitar 400 meter dari pondok Wallace. Foto: Eko Rusdianto
Lahan dikeruk oleh PT Semen Bosowa, sekitar 400 meter dari pondok Wallace. Foto: Eko Rusdianto

 

Salah kaprah Bantimurung

Wallace juga mengunjungi Bantimurung, walau hanya empat hari. Dia cukup puas menemukan enam spesies kupu-kupu. Selebihnya, ada 232 spesies kupu-kupu dikumpulkan di sekitaran jelajah Amasanga (atau Tompokbalang tempat pondok berdiri).

Namun, Kamajaya menilai, gelar The Kingdom of Butterfly dalam beberapa kutipan yang disangkutkan dengan Wallace atas kupu-kupu di Bantimurung, tak berdasar. “Saya tidak tahu dan tak pernah menemukan referensi itu. Wallace sendiri tak menuliskan.”

Wallace berkuda ke Bantimurung, bersama pemandu dan pembantu yang mengiringi. Dia berangkat akhir September, menempuh perjalanan tiga jam. Dua jam pertama, melewati sawah padi dan tebing-tebing karst di sebelah kiri.

Awalnya, kami mengira perjalanan ke Bantimurung melalui setapak di kampung yang sekarang dikenal sebagai Leang-leang. Setelah mencoba, itu tak tepat. Sepanjang jalan Leang-leang sisi kiri dan kanan tebing karst.

Gambaran paling memungkinkan, Wallace menelusuri Kampung Tompokbalang, Bentenge, Manarang, Bontosungu, mendapati sungai besar di sisi jalan Maros–Camba, sekarang, menuju Bantimurung. Sejak kedatangan Wallace 1857, Bantimurung sudah sebagai tempat wisata.

Tanah landai yang diperkirakan sebagai pondok Wallace, sesuai penuturan La Saing. Foto: Eko Rusdianto
Tanah landai yang diperkirakan sebagai pondok Wallace, sesuai penuturan La Saing. Foto: Eko Rusdianto

Terancam hilang

Saat kami sedang asyik bertukar cerita, tiba-tiba ledakan besar terdengar. Guntur? Ban mobil pecah? Bukan. Itu ledakan dinamit PT Semen Bosowa.

Bagi warga sekitar, ledakan itu sudah biasa. Bahkan beberapa rumah berjendela kaca acap kali pecah karena getaran. “Biasa setiap pukul 12.00,” kata La Saing.

Sekitar 400 meter dari pondok Wallace itu, terdapat lubang galian tanah mirip danau. Ada satu ekskavator bekerja. Beberapa truk hilir mudik mengangkut tanah. Jalan berdebu.

Bukit yang kami duga sebagai pondok Wallace, oleh perusahaan PT Semen Bosowa beberapa kali ditawar. “Saya dipanggil masuk ke perusahaan (Bosowa) ditawari harga,” kata La Saing.

Tawaran perusahaan setiap meter Rp2.500. Bagi La Saing sangat kecil dan tak berdasar. “Jikapun ditawar tinggi, saya tak jual. Hanya ini tempat kami.”

Saat beranjak pulang, kami menelusuri jalan besar beralas batu dibangun Bosowa. Melihat beberapa tambang batubara di kanan jalan, cerobong perusahaan mengeluarkan asap pekat. Pada titik tertentu di persimpangan menuju kampung dan lokasi pabrik, ada sepetak makam kecil. Beberapa nisan terlihat. Bagian lain ada nisan tua. Batas wilayah pemakaman itu tepian jurang yang dikeruk perusahaan. Garis batas lain jalan perusahaan. Itulah sisa dari sebuah kampung: hanya pekuburan…

Alfred Russel Wallace's Species Notebook of 1855-1859 (255)
Alfred Russel Wallace’s Species Notebook of 1855-1859 (255)
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,