,

Derita Aceh Singkil, Kabupaten Tertinggal yang Dilingkari Sawit

Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, merupakan satu-satunya daerah tertinggal dan termiskin di Provinsi Aceh yang ditetapkan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan, daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah tertinggal berdasarkan kriteria perekonomian masyarakat,  sumber daya manusia, sarana dan prasarana,  kemampuan keuangan daerah, serta aksesibilitas dan karakteristik daerah.

Meski disebut sebagai daerah termiskin dan tertinggal, akan tetapi saat ini belasan perusahaan kelapa sawit telah beroperasi di kabupaten yang dimekarkan dari Aceh Selatan ini, mengelola lahan puluhan ribu hektare.

Kepala Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, M. Nasir, Senin (14/3/2016) menjelaskan berdasarkan data sebaran perkebunan besar (HGU), Aceh Singkil berada di urutan ke-4 dari 15 kabupaten di Aceh dengan luasan 45.008 hektare. Sedangkan dari data perkebunan rakyat, Aceh Singkil berada di urutan ke-9 dari 21 kabupaten yang luasnya 38.508 hektare.

“Jika kelompok keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I dikategorikan sebagai penduduk miskin, pada 2013 terdapat 14.752 kepala keluarga atau 51,14% penduduk miskin.”

M Nasir menyebutkan, keberadaan perkebunan sawit di Aceh Singkil, selain tidak berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi daerah, juga merusak hutan rawa gambut yang ada. “Dari investigasi, kami menemukan ada perusahaan yang menanam sawit di kawasan rawa gambut dan melakukan pembersihan lahan dengan cara pembakaran. Kami masih menemukan sisa-sisa pembakaran itu.”

Aceh Singkil pun termasuk salah satu daerah rawan bencana khususnya banjir. Masyarakat terpaksa memakai sampan karena jalan yang menghubungkan daerah mereka sering terendam. “Sebelum ditanam sawit, Singkil hanya banjir dua kali setahun. Saat ini, setahun bisa lima kali banjir yang pastinya merendam persawahan warga,” ujarnya.

Rusli Jabat, tokoh pemuda Aceh Singkil mengaku, kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan sawit kerap terjadi. Masyarakat selalu kalah karena perusahaan didukung pemerintah. “Ada yang mendekam di penjara karena mempertahankan tanah leluhur mereka, termasuk saya,” sebut Rusli yang mengaku khawatir, bila nanti rumah masyarakat juga diklaim masuk hak guna usapa (HGU) perusahaan sawit.

Kehidupan masyarakat di Aceh Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah
Kehidupan masyarakat di Aceh Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah

Yarmen Dinamika, saat menjadi moderator Focus Group Discussion (FGD) Konsesi Perkebunan Sawit di Kabupaten Aceh Singkil yang digelar Walhi Aceh, 8 Maret 2016, juga masyarakat Aceh Singkil memaparkan, Aceh Singkil merupakan daerah yang dulunya berhutan lebat. Hutannya terjaga dari para penjarah.

“Sampai akhirnya penebangan kayu mulai terjadi pada 1969-1971. Kapal-kapal masuk ke Singkil untuk menampung dan sebagian lagi dihanyutkan di sungai, tidak dihiraukan lagi saking banyaknya.”

Penebangan terus dilakukan sampai terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang melarang eksploitasi kayu bulat. Kawasan hutan tanpa kayu  yang gundul kemudian ditanami sawit. “Awalnya, sawit hanya ada di kawasan bekas hak pengusahaan hutan (HPH) dan land clearing. Belakangan, rawa dan lereng gunung juga ditanam. Akhirnya, yang terjadi adalah Kota Singkil hingga Subulussalam menjadi daerah monokultur sawit ditambah sedikit pohon karet.”

Menurut Yarmen, pada 1932-1933 Belanda telah melakukan riset kawasan bagus untuk tumbuhnya sawit yang hasilnya menunjuk daerah Gunung Meriah Aceh Singkil. “Kondisi tanah lumpur tapi keras dan terhubung sungai yang volume airnya banyak, merupakan tempat tumbuhnya sawit tersebut. Sehingga, dibangunlah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Socfindo pertama di sana,” paparnya.

Aceh Singkil meliputi 11 kecamatan, 16 kemukiman, dan 120 desa, yang luasnya sekitar 1.857,88 kilometer persegi. Dari luasan tersebut, termasuk di dalamnya kawasan lindung, taman wisata alam, dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Namun, sebagaimana yang dituturkan M. Natsir, sebanyak 36,65% lahan telah digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,