,

Opini: Sulitnya Melindungi Kakatua Putih

Lebih dari sepuluh tahun PROFAUNA berkampanye agar burung kakatua yang jambulnya putih ini dilindungi. Menteri Kehutanan sudah berganti tiga kali dan presiden negeri ini pun sudah dua kali berganti, namun kakatua putih (Cacatua alba) ini tak kunjung ditetapkan sebagai satwa dilindungi.

Ketika Siti Nurbaya menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), saya awalnya menyimpan harapan besar agar kakatua putih segera dilindungi. Harapan itu muncul saat terkuaknya kasus penyelundupan kakatua melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Mei 2015.

Ibu Menteri LHK dan juga netizen seperti terhenyak dengan kasus penyelundupan kakatua dalam botol itu. Kekejaman itu terlihat dari cara penyelundupannya dengan memasukkan kakatua dalam botol-botol plastik bekas air kemasan. Kementerian LHK bergerak cepat dengan kampanye ‘save kakatua’ yang berujung dengan penyerahan kakatua yang dipelihara masyarakat.

Padahal, modus ini sudah diungkap PROFAUNA, plus videonya, tahun 2002. 13 tahun silam.

Fakta

Fakta berikut menunjukkan bahwa kakatua putih, yang merupakan burung endemik Maluku Utara ini, layak ‘naik pangkat’ menjadi satwa dilindungi, baik secara yuridis maupun ekologi.

Hasil penelitian Burung Indonesia 2008-2009 mengenai studi populasi kakatua putih (Cacatua alba) di alam menunjukkan jumlah antara 8.629 – 48.393 ekor dengan kepadatan individu 1,58-8,86 individu per kilometer persegi. Sedangkan berdasarkan survei tahun 1991 – 1992 disebutkan bahwa perkiraan populasinya di alam sekitar 49.765 – 212.430 ekor dengan tingkat kepadatan mencapai 40,1-72,2 individu per kilometer persegi.

Dari dua survei tersebut menunjukan adanya penurunan populasi kakatua putih di alam.

Populasi kakatua putih di Halmahera bagian timur (semenanjung timur laut dan tenggara) diperkirakan juga sangat menipis, meskipun belum ada data ilmiah tentang hal ini. Perkiraan menurunnya populasi ini berdasarkan investigasi PROFAUNA  tahun 2007 tentang penangkapan kakatua putih di Halmahera timur yang menunjukan di daerah tersebut tidak ditemukan lagi kakatua putih. Interview dengan masyarakat desa dan penangkap burung juga memberikan informasi yang sama, di daerah mereka sudah tidak ada lagi kakatua putih.

Data Burung Indonesia dalam Tempo Interaktif (19 Mei 2010) menunjukkan bahwa perdagangan menjadi salah satu faktor penting menurunnya populasi kakatua putih di Maluku Utara. Populasinya yang di alam saat ini diperkirakan sekitar 3.000 – 4.000 ekor.

Jelas, secara ilmiah dan fakta di lapangan, telah terjadi penurunan populasi kakatua putih. Penangkapan liar di alam untuk diperdagangkan menjadi pemicu utama merosotnya populasi kakatua putih di alam.

Selama dua tahun (2001-2002), PROFAUNA Indonesia telah melakukan investigasi mendalam tentang penangkapan dan perdagangan kakatua putih di Maluku Utara. Investigasi yang disajikan dalam laporan berjudul “Terbang Tanpa Sayap” itu mengungkap praktik penangkapan kakatua putih di habitat alaminya yang pada 2002, rata-rata sekitar 500 ekor kakatua putih yang ditangkap.

Sementara itu, pemantauan PROFAUNA di sejumlah pasar burung di Jawa pada 2006 menunjukkan, rata-rata dalam setahun ada sekitar 100 ekor kakatua putih yang diperdagangkan. Di pasar burung, yang ada di Jawa, kakatua putih ditawarkan seharga rata-rata Rp500.000 per ekor. Sementara di lokasi penangkapan di Halmahera, Maluku Utara, harganya berkisar Rp75.000 hingga Rp100.000/ekor.

2015 ini, harga pasarannya di Jawa melambung tinggi, mencapai Rp1,5 juta per ekor. Untuk menarik konsumen, dalam beberapa kasus, jambulnya yang berwarna putih dicat kuning atau orange, agar mirip kakatua jambul kuning.

Pada 2007, PROFAUNA pun meluncurkan laporan perdagangan parrot di Indonesia yang berjudul Pirated Parrot. Dalam laporan tersebut diungkap adanya penyelundupan parrot asal Maluku ke Filipina. Dalam setahun sekitar 4.000 ekor paruh bengkok asal Maluku Utara diselundupkan seperti kakatua putih, kasturi ternate (Lorius garrulus), nuri bayan (Eclectus roratus) dan nuri kalung-ungu (Eos squamata).

Burung-burung tersebut sebagian besar diselundupkan dari Desa Pelita di Halmahera Utara, kemudian dikirim menggunakan kapal boat pribadi menuju General Santos atau Davao, Filipina. Diperkirakan, 10% burung yang diselundupkan itu jenis kakatua putih.

Hingga 2012-2014, penangkapan kakatua putih masih tinggi. PROFAUNA memperkirakan ada sekitar 300-500 ekor yang ditangkap dari alam Maluku Utara setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan permintaan di Jawa dan luar negeri.

Kaktua putih yang berada di penampungan untuk diperdagangkan. Foto: Rosek Nursahid
Kaktua putih yang berada di penampungan untuk diperdagangkan berdasarkan investigasi. Foto: Rosek Nursahid

Status perlindungan

Meski belum dilindungi, bukan berarti kakatua putih bebas ditangkap. Sejak 2001 hingga kini, tidak ada kuota tangkap untuk kakatua putih yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK. Artinya, tidak boleh ada penangkapan kakatua putih di alam (Maluku Utara) untuk tujuan komersil, meski fakta di lapangan berbeda.

Terhadap status tersebut, sejak 2005, PROFAUNA telah mengusulkan ke pemerintah agar kakatua putih masuk dalam daftar satwa dilindungi. Untuk mendukung usulan tersebut PROFAUNA telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah Maluku Utara, masyarakat lokal di Maluku dan juga NGO lokal. Sampai sekarang, nasib kakatua putih belum juga masuk daftar satwa dilindungi.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (pasal 5), menyebutkan bahwa suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam daftar satwa dilindungi apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a). Mempunyai populasi yang kecil;

b). Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;

c). Daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Berdasarkan peraturan tersebut kakatua putih telah memenuhi kriteria, yang artinya tidak ada alasan lagi untuk tidak mengesahkan kakatua putih sebagai jenis yang dilindungi. Kakatua putih merupakan burung endemik Maluku Utara. Burung ini juga telah menurun tajam populasinya di alam.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagai scientific authority di Indonesia juga sudah menyatakan dukungannya. Dalam Surat LIPI Nomor S956/LPH-k3.02/2007 kepada Departemen Kehutanan, LIPI setuju agar kakatua putih dimasukan dalam daftar satwa dilindungi.

Pemerintah daerah dan tokoh masyarakat di Maluku Utara juga mendukung untuk dilindunginya kakatua putih. Dukungan itu diwujudkan dengan Surat Instruksi Gubernur Maluku Utara pada 3 April 2003 tentang pelarangan penangkapan burung paruh bengkok asal Maluku Utara. Gubernur juga melarang orang untuk membawa burung paruh bengkok keluar dari Maluku Utara.

Pada 3 Februari 2005, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara telah mengirimkan surat resmi ke Departemen Kehutanan untuk mengusulkan perlindungan kakatua putih. Kemudian, pada 2010 Sultan Ternate (almarhum), tokoh masyarakat yang dihormati di Maluku Utara, juga mengeluarkan fatwa yang melarang masyarakat menangkap burung nuri dan kakatua di alam. Fatwa tersebut dikeluarkan oleh Sultan Ternate, Maret 2010, setelah melihat laporan PROFAUNA tentang perdagangan nuri dan kakatua.

Kepedulian sultan tidak terbatas hanya pada fatwa, tapi juga terlibat dalam kampanye. Pada 2009, Sultan Ternate terlibat dalam pembuatan film edukasi tentang pelestarian burung nuri dan kaktua yang diproduksi oleh PROFAUNA. Film itu telah diputar di desa-desa yang ada di Maluku utara.

Dukungan LIPI sebagai lembaga otoritas ilimiah, sudah ada. Pemerintah daerah juga sudah setuju untuk melindungi kakatua putih. Tokoh masyarakat lokal senada, setuju total untuk melindungi kakatua putih yang merupakaan kekayaan hayati Maluku Utara. Kenapa pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri LHK tidak kunjung melindungi kakatua putih?

Modus perdagangan kakatua dan nuri dalam botol plastik sudah dilakukan sejak 2002. Foto: PROFAUNA
Modus perdagangan kakatua dan nuri dalam botol plastik maupun tabung pipa sudah dilakukan sejak 2002. Foto: PROFAUNA

Dilindungi

Melihat status populasi kakatua putih di alam yang menurun dan diperkirakan hanya 3.000 – 4.000 ekor, beserta perdagangannya yang tinggi, sudah sepantasnya kakatua putih ditetapkan sebagai satwa dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Apalagi, menurut PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, kakatua putih telah memenuhi kriteria yang ada.

Penaikan status perlindungan akan lebih memberikan jaminan bagi pelestarian kakatua putih di alam. Menurut UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa penangkapan dan pedagangan satwa dilindungi adalah dilarang dan pelanggar dari ketentuan ini bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Bila menunggu revisi UU No 5 tahun 1990 yang saat ini masih dilakukan, akan butuh waktu lama. Perjuangan para pegiat lingkungan, termasuk PROFAUNA, untuk mendorong revisi UU tersebut sudah bertahun dilakukan. Tanpa ada wujud, UU baru yang telah direvisi.

Melindungi kakatua putih, bisa dilakukan melalui keputusan menteri. Langkah ini pernah dilakukan dalam perlindungan lutung jawa (Trachypithecus auratus) melalui SK Menteri Kehutanan (saat ini KLHK) yang saat itu dijabat Muslimin Nasution. Ibu Menteri LHK ‘bisa’ mengikuti jejak Menteri Kehutanan terdahulu, dengan mengeluarkan SK Perlindungan bagi si putih, burung kakatua putih yang statusnya Genting (Endangered/EN) dan kian terdesak di alam.

*Rosek Nursahid, Pendiri PROFAUNA. E-mail: [email protected]. Tulisan ini opini penulis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,