Begini Dampak Perubahan Iklim terhadap Penurunan Populasi Capung

Bali, pulau seluas 5.780 km persegi dengan jumlah penduduk sekitar 4,5 juta, pun mengalami perubahan iklim. Indikator paling gampang adalah terjadinya kenaikan suhu di Bali.

Ogi Setiawan, peneliti Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu di Nusa Tenggara Barat pernah meneliti bagaimana perubahan iklim terjadi di Bali. Hasil riset tersebut telah dipublikasikan pada April 2012.

Secara garis besar, menurut Ogi, ada tiga dampak potensial perubahan iklim di Bali yaitu perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara, dan kenaikan permukaan laut. Ogi menganalisis data suhu lima tahun antara 2004 hingga 2008 dari empat stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Bali.

Kesimpulannya, telah terjadi peningkatan suhu tiap tahun di Bali. Suhu di tiga stasiun klimatologi Negara, Denpasar dan Ngurah Rai per tahun berturut-turut 0,08 derajat C, 0,02 derajat C dan 0,02 derajat C. Namun, di sisi lain juga terjadi tren penurunan suhu di stasiun Kahang-Kahang, Karangasem sebesar 0,02 derajat C per tahun.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2015 menyatakan secara global, jumlah hari-hari dengan suhu dingin terus berkurang dan hari yang panas terus bertambah. Gelombang panas di Eropa, Asia, dan Australia terus bertambah.

Dampaknya terasa pada kehidupan sehari-hari. Misalnya, curah hujan kian tinggi, musim kemarau lebih panjang, fenomena El Nino dan La Nina, bahkan pada penurunan populasi capung.

Buku Naga Terbang Wendit (2013) menyebut capung merupakan serangga terbang pertama di dunia. Dia muncul sejak zaman karbon atau antara 360 – 290 juta tahun lalu. Capung merupakan serangga akuatik. Hidupnya bergantung pada kualitas air.

Beberapa sumber menyebut saat ini, ada sekitar 6.000 jenis capung di seluruh dunia. Indonesia memiliki sekitar 750 – 900 jenis atau 12,5 – 15 persen dari total jenis capung di seluruh dunia. Banyaknya jenis capung Indonesia hanya kalah oleh Brazil.

Setiap capung mengalami tiga fase utama dalam hidup yaitu telur, nimfa, dan capung dewasa. Istilahnya, metamorfosis tidak sempurna. Dalam keseluruhan fase tersebut, dua fase di antaranya mengharuskan mereka hidup di dalam air yaitu ketika menjadi telur dan nimfa.

Seekor nimfa bisa hidup di air dalam kurun waktu berbeda-beda. Ada yang hidup dua hingga empat bulan. Ada yang empat sampai lima tahun di air. Namun, umur capung dewasa rata-rata hanya sampai empat bulan. Karena daur hidupnya bergantung air, maka capung selalu tinggal di dekat perairan atau sumber air.

Sebagian besar capung hanya akan tinggal di lingkungan bersih sehingga bisa menjadi indikator kualitas air. Jika air sudah tercemar bahan beracun, capung tidak akan ada di sana. Ketika kondisi perairan tercemar, siklus hidup capung terganggu. Populasinya akan menurun. Begitu pula jika air di habitat mereka mengalami peningkatan suhu atau penurunan kualitasnya.

Alat Pemantau

Sayangnya, belum ada riset khusus bagaimana dampak perubahan iklim terhadap populasi capung di Indonesia.

Capung di persawahan Banjar Junjungan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir
Capung di persawahan Banjar Junjungan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Riset tentang dampak perubahan iklim terhadap capung di dunia pun masih sangat terbatas. Salah satunya Jurnal BioRisk 5 edisi khusus pada 2010 yang membahas topik tersebut. Jurnal ini menyampaikan laporan peneliti Eropa, Afrika, dan Amerika tentang bagaimana dampak perubahan iklim di beberapa negara.

Kesimpulan para peneliti tersebut: capung memang bisa menjadi indikator dampak perubahan iklim. Jeffrey A. McNeely dalam pengantar jurnal menyatakan, capung bisa menjadi alat untuk memantau perubahan iklim dengan relatif mudah karena beberapa alasan.

Capung mudah diidentifikasi, mereka sangat sensitif terhadap perubahan termasuk iklim, tiap spesies memiliki distribusi berbeda-beda, dan mereka berkembang biak relatif cepat. “Penelitian terkini juga menunjukkan bahwa penyebaran capung juga sangat sensitif terhadap perubahan iklim,” tulis Jeffrey.

Josef Settele dalam jurnal yang sama menyatakan perubahan iklim termasuk salah satu dari empat penyebab utama berkurangnya keragaman capung. Tiga penyebab lain adalah penggunaan bahan kimia, invasi biologis, dan hilangnya penyerbuk. Hanya penyebab terakhir yang bukan sebagai penyebab langsung.

Pernyataan para ahli capung dunia tersebut senada dengan jawaban Wahyu Sigit Rhd, pendiri Indonesian Dragonfly Society (IDS), komunitas pecinta capung. Perubahan iklim pasti berdampak terhadap populasi capung.

“Logika saja, kita sekarang pun merasa lebih tidak nyaman. Gerah dengan perubahan suhu. Apalagi capung, serangga yang lebih sensitif terhadap perubahan,” kata Wahyu. Dia memberikan contoh satu spesies capung di Banyuwangi, Jawa Timur yang dulu ada tapi sekarang tidak ada lagi.

Capung jarum di Jatiluwih, Tabanan, Bali lebih peka terhadap perubahan iklim. Foto : Anton Muhajir
Capung jarum di Jatiluwih, Tabanan, Bali lebih peka terhadap perubahan iklim. Foto : Anton Muhajir

Suputa, ahli serangga dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menyatakan perubahan iklim jelas menyebabkan kenaikan suhu air, yang mempengaruhi kadar oksigen di dalamnya. Makin panas air, maka makin sedikit kadar oksigennya. “Otomatis capung akan susah untuk hidup,” ujarnya.

Hilangnya Capung

Pengamatan di tiga wilayah di Bali menunjukkan adanya hubungan antara perbedaan suhu dengan penurunan populasi capung. Selain karena banyaknya penggunaan bahan kimia dalam pertanian, juga karena perubahan iklim.

Lokasi pertama di persawahan Banjar Junjungan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali. Berdasarkan pengamatan secara amatir pada Juni 2015 dan Oktober 2015, di kawasan ini ditemukan jenis Capungsambar hijau (Orthetrum sabina), Capungtengger jala tunggal (Neurothemis ramburii), Capung sayap oranye (Brachythemis contaminata), dan Capungsambar garishitam (Crocothemis servilia).

Capungsambar hijau dikenal lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan, termasuk alih fungsi lahan maupun perubahan suhu lingkungan. Jenis ini bisa hidup di habitat dengan lingkungan kurang bagus sekalipun. Spesies yang pola hidupnya soliter ini bisa dijumpai sepanjang tahun.

Dari empat jenis capung itu, saya hanya menemukan 12 ekor di lahan seluas kurang lebih 3 hektar. “Padahal, zaman saya kecil dulu, kalau bulan-bulan ini capungnya sudah tak terhitung lagi. Sekarang paling banyak hanya separuhnya,” kata Ngakan Made Pinia, petani di Junjungan.

Menurut Ngakan, makin hilangnya capung di desanya terjadi bersamaan dengan makin meningkatnya suhu di Junjungan.

Lokasi kedua di Desa Peguyangan, Denpasar Utara. Dari pengamatan di sini, saya menemukan spesies-spesies yang cenderung lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan yaitu Orthetrum sabina, Brachythemis contaminata, dan Crocothemis servillia.

Jumlah capung dari tiga spesies itu tak lebih dari 10. Padahal, pengamatan dilakukan tiga kali pada waktu berbeda-beda.

Pengamatan ketiga di Jatiluwih, Tabanan. Jatiluwih merupakan kawasan persawahan di kaki Gunung Batukaru, salah satu gunung di Bali. Hasil satu kali pengamatan pada Oktober 2015 menunjukkan di sini terdapat lebih banyak spesies capung yang lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Empat spesies yang ditemukan di Denpasar dan Ubud juga ada di sini dengan jumlah lebih banyak.

Selain empat jenis yang ditemukan di Denpasar dan Ubud, ada lima jenis lain yang saya temukan di kawasan Jatiluwih yaitu Capungsambar cincinhitam (Onychothemis culminicola), Capungtengger biru (Diplacodes trivialis), Capungsambar merah (Orthetrum pruinosum), Capungjarum centil (Agriocnemis femina), dan Capungjarum gelap (Prodasineura autumnalis).

Capung jarum di Jatiluwih, Tabanan, Bali lebih peka terhadap perubahan iklim. Foto : Anton Muhajir
Capung jarum di Jatiluwih, Tabanan, Bali lebih peka terhadap perubahan iklim. Foto : Anton Muhajir

Umumnya mereka terbang atau hinggap di sekitar saluran irigasi. Dari sisi jumlah, capung di Jatiluwih juga lebih banyak. Jumlahnya lebih dari 30-an yang tersebar di beberapa titik.

Perbedaan beragam jenis maupun populasi capung di Denpasar, Ubud, dan Jatiluwih bisa jadi berhubungan pula dengan perbedaan suhu di tiga wilayah tersebut. Menurut data BMKG, suhu Denpasar berkisar 25,4 – 28,5 derajat Celcius, Ubud berkisar 24,1 – 25,7 derajat Celcius, sedangkan Jatiluwih antara 24 – 30 derajat Celcius.

Secara umum, Denpasar yang berada di dataran rendah memiliki kelembapan 58 – 85 persen. Ubud di tengah pulau memiliki kelembapan sekitar 65 – 90 persen. Adapun Jatiluwih, di kaki Gunung Batukaru, Tabanan, memiliki kelembapan 67 – 90 persen.

Dari data suhu dan kelembapan tiga wilayah itu terlihat bahwa daerah relatif lebih dingin dan lebih lembap memiliki jenis maupun jumlah capung lebih banyak. Selain faktor suhu, kelestarian lingkungan termasuk dari alih fungsi lahan dan bahan kimia pertanian juga amat berperan. Namun, nyatanya, daerah-daerah dingin seperti Jatiluwih pun kini kian mengalami peningkatan suhu serupa Denpasar dan Ubud.

Jika tidak ada mitigasi lebih serius dalam menangani perubahan iklim, bisa jadi capung di tiga wilayah itu akan menjadi yang terakhir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,