Konservasi Rafflesia Memang Penting Dilakukan, Mengingat…

Dari 25 jenis rafflesia yang ada di dunia, sebanyak 12 jenis dapat dijumpai di Indonesia dengan 10 diantaranya ditemukan di Sumatera. Dari 10 jenis yang ada di Sumatera itu, 4 jenis di antaranya ditemukan di lahan penduduk di Provinsi Bengkulu. Yakni, Rafflesia arnoldii, Rafflesia hasseltii, Rafflesia gadutensis, dan Rafflesia bengkuluensis.

Salah satu wilayah yang sering ditemukan Rafflesia arnoldii dan Rafflesia bengkuluensis adalah di Kecamatan Padang Guci Hulu, Kabupaten Kaur. “Sepanjang 2014, sebanyak 25 rafflesia mekar meliputi 10 Rafflesia arnoldii dan 15 Rafflesia bengkuluensis. Di 2015, ada 15 rafflesia yang mekar meliputi 8 Rafflesia arnoldii dan 7 Rafflesia bengkuluensis. Untuk tahun ini, baru 2 Rafflesia arnoldii yang merekah,” tutur Ketua Komunitas Pemuda Padang Guci Peduli Puspa Langka, Noprianto, Sabtu (23/7/16).

Rafflesia bengkuluensis adalah jenis yang ditemukan pertama kali oleh Agus Susatya dan kawan-kawan pada 2005, di hutan sekunder muda dengan vegetasi yang tersusun dari vegetasi hutan dan kebun di Desa Talang Tais, Kecamatan Kelam Tengah, Kabupaten Kaur. Inang jenis ini adalah Tetrastgima tuberculatum dan inang strukturalnya adalah Micromelum menutum dan Rinorea anguifera. Jenis ini mempunyai laju kematian sangat tinggi, berkisar 80 – 100 %. Kuncupnya dapat mati semua dalam jangka waktu dua bulan.

Khusus Rafflesia bengkuluensis, sambung Noprianto, sepengetahuannya baru ditemukan di wilayah Padang Guci Hulu. “Upaya konservasi Rafflesia bengkuluensis perlu mendapatkan prioritas. Sayang, belum banyak pihak yang memberikan perhatian, termasuk pemerintah daerah. Kalau saja upaya konservasi dilakukan dengan menghubungkan sektor pariwisata, Padang Guci Hulu bisa menjadi salah satu daerah tujuan wisata baru.”

Perlindungan

Agus Susatya, Peneliti Rafflesia Universitas Bengkulu, menuturkan perlindungan rafflesia penting dilakukan mengingat tidak semua habitatnya berada di kawasan taman nasional, cagar alam, atau hutan lindung. Namun juga, tersebar luas di lahan masyarakat. Oleh karena itu, konservasi habitat asli rafflesia penting dilakukan.

“Ada tiga ancaman kelestarian rafflesia di lahan penduduk. Lahan dikonversi menjadi perkebunan, perusakan atau pemotongan inang, dan banjir atau longsor,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (21/7/16).

Umumnya, sambung Wakil Ketua Forum Komunikasi Riset dan Pengembangan Rafflesia dan Amorphophallus ini, habitat rafflesia di lahan penduduk berada di lahan yang terjal atau curam, berukuran tidak begitu luas, dan kurang produktif.

“Pemilik lahan yang menjadi faktor penentu keberhasilan hidup rafflesia itu. Pendekatannya sangat personal, persuasif dan dengan pemberian bantuan bibit atau semacam kompensasi. Kalaulah dilakukan penghitungan, kemungkinan biaya yang dikeluarkan tidak besar.”

Menurut Agus yang juga Ketua Pusat Kajian Keragaman dan Konservasi Hayati Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, teknik yang dapat diterapkan agar rafflesia tetap hidup di lahan masyarakat berupa teknik zonasi. Yaitu, membagi lahan menjadi empat wilayah: zona inti, transisi, penyangga, dan zona produktif. Teknik ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan ekologi dan ekonomi.

“Pada zona inti, campur tangan pemilik lahan dibuat seminim mungkin. Ini diperlukan untuk menjaga komunitas tumbuhan dan lingkungan yang cocok untuk rafflesia. Lahan untuk zona inti tidak harus luas, bisa kurang dari 0,1 hektare. Lahan yang pernah ditemukan rafflesia yang ditetapkan menjadi zona ini.”

Rafflesia arnoldii (kiri) dan bunga bangkai raksasa Amorphophallus titanum (kanan) yang seriang dianggap jenis yang sama. Sumber: Wikipedia

Untuk zona transisi, lanjut Agus, campur tangan pemilik lahan bisa sedikit intensif. Pemanfaatan lahan sudah bisa dilakukan, namun terbatas. Agroforestry dengan menjaga struktur dan komunitas tumbuhan semirip mungkin dengan zona inti bisa dilakukan pada zona ini.

“Di zona penyangga, campur tangan pemilik lahan bisa semakin intensif. Agroforestry dengan komposisi tanaman pertanian atau perkebunan lebih dominan bisa dilakukan pada wilayah ini. Sedangkan pada zona produktif, pemilik lahan bisa memanfaatkannya secara leluasa.”

Upaya konservasi in-situ rafflesia dengan teknik zonasi ini, ujar penemu Rafflesia bengkuluensis dan Rafflesia lawangensis ini, bisa diintegrasikan dengan kegiatan ekowisata. Namun, rafflesia hendaknya tidak dianggap sebagai satu-satunya objek wisata. Tetapi, sebagai flag species atau objek utama yang dikaitkan dengan objek lainnya.

“Seperti wisata lingkungan atau pemandangan alam, agrowisata seperti kebun durian, dan wisata kuliner. Langkah mengintegrasikannya memang tidak mudah. Perlu melibatkan penduduk dan banyak pihak dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan,” ujar Agus.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,