Ular dan Katak, Apa Pentingnya untuk Kita?

Museum Zoologi, Bogor, akhir pekan lalu tampak lebih ramai. Dua pemuda terlihat memegang ular sepanjang sedepa orang dewasa.  Beberapa orang lagi menunggui kotak-kotak kaca berisi aneka ular, dan beberapa reptil lain. Pengunjung melihat-lihat isi kaca, ada yang uji nyali memegang ular dan ada pula yang merasa takut bahkan jijik.

Hari itu memang digelar Festival Amfibi Reptil Kita. Beberapa komunitas pemerhati dan  pencinta reptil dan amfibi Jabodetabek meramaikan acara yang dihelat oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Perhimpunan Herpetologi Indonesia.

Tiga bulan lalu, masyarakat dikejutkan dengan tewasnya penyanyi bernama Irma Bule. Pedangdut asal Karawang ini, selalu ditemani seekor ular. Irma tewas setelah dipatuk king cobra (Ophiophagus hannah), yang pakai untuk atraksi di panggung saat itu.

Ular masih dipandang sebagai hewan berbahaya, menakutkan, menjijikan hingga layak dimusnahkan. Hal ini diakui oleh ahli herpetologi LIPI,  Amir Hamidy, yang menjadi pembicara temu wicara ahli herpetologi saat itu.

“Masyarakat masih seperti itu, yang paling mudah kalau ada ular, ya dibunuh. Mereka melakukannya karena tidak tahu,”  ujar Amir kepada Mongabay, di Museum Zoologi, Sabtu (23/7/2016).

Karena itulah acara ini digelar, kata Amir, yang tujuannya untuk mengenalkan kepada masyarakat tentang reptil dan amfibi di Indonesia. Acara tersebut untuk mengubah image dan persepsi bahwa ular harus dibunuh. Alasannya, ular juga mempunyai peran penting dalam rantai makanan kehidupan dan lingkungan. Dia berfungsi untuk mengendalikan tikus atau hama.

Diakuinya, hal ini tidak mudah apalagi dalam kehidupan sehari-hari yang banyak mitos dan kepercayaan negatif tentang ular. “Kalau tak tahu, tak kenal maka tak sayang.”

Penampakan utuh Mycrohila orientalis. Foto: Amir Hamidy

Pentingnya ular

Beberapa tahun terakhir, berita petani Indonesia gagal panen yang disebabkan ganasnya hama yang menyerang padi atau tanaman pertanian lainnya seperti tikus, wereng, ulat, burung, dan sebagainya merebak.

Hal ini, kata Amir, tidak lepas dari makin hilangnya predator atau pemangsa hewan yang yang menjadi hama penyebab kegagalan panen. “Misalnya, tikus merajalela habiskan padi, karena tidak ada ular yang memangsanya.”

Keberadaan tikus dan ular atau hewan-hewan lain di sawah, menjadi hal wajar, sebuah rantai makanan yang normal. Jika salah satu rantai putus, akan mengganggu bekerjanya rantai tersebut.

Bisa (racun) pada ular di alam, menurut Amir, adalah senjata untuk bertahan dari musuh dan juga mematikan mangsanya mati dalam sekejap. Jika tikus sudah terpatuk, kena racun, maka hewan pengerat ini tak bisa bergerak, ular akan dengan mudah memangsanya.

Kini, keberadaan ular makin jarang karena diburu untuk diperdagangkan. Kulit ular dan empedunya menjadi incaran bagi mereka yang menangguk untung. “Paling tidak, 20 ribu lembar kulit kobra diekspor. Berarti, sebanyak 20 ribu individu ular terbunuh. Semakin banyak ular yang dibunuh untuk dikomersilkan, makin terganggu mata rantai dan lingkungan.”

Amir menjelaskan, ular ada di mana-mana karena dia mencari makan. Di mana ada mangsa seperti cicak, tikus, atau burung, biasanya ada ular. Dia menyukai tempat lembab, jarang terkena sinar matahari. Bisa ditumpukan kayu, ranting-ranting, semak, atau bekas lubang tikus. Jika di ruangan, ini menyukai tempat yang jarang dibuka.

Amir pun memberikan tips untuk menjauhkan rumah atau lingkungan sekitar rumah dari ular. Yakni, menjaga kebersihan lingkungan. Jangan biarkan tumpukan kayu, potongan papan, atau bambu di halaman atau pojok rumah. Rapikan pula tanaman atau semak agar tidak menjadi sarang. “Ular juga menghindari bau-bauan tajam. Dengan menyapu dan mengepel lantai dengan karbol setiap hari, ular akan menjauh.”

Ular tikus Enggano yang hanya ada di Enggano. Jenis ini masih menyisakan ‘misteri’ terkait jumlah dan pergerakannya di malam hari. Foto: Amir Hamidy

Amfibi spons lingkungan

Membicarakan ular atau reptil, tak lengkap jika tak menyinggung amfibi. Katak, yang langsung melekat dalam ingatan kita. Amfibi terdiri dari tiga kelompok yakni Apoda,Caudata, dan Anura. Berdasarkan pemaparan Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil (K3AR) Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), dapat diketahui kelompok tersebut.

Apoda adalah amfibi yang tidak memiliki kaki dan sepintas seperti cacing. Jarang muncul di permukaan tanah dan biasanya berada dalam tanah atau tumpukan serasah atau air. Banyak dijumpai di Amerika Selatan dan Tengah, tapi ditemukan pula ada di Indonesia.

Amfibi kedua adalah Caudata, atau dikenal dengan salamander,tidak dijumpai di Indonesia. Yang terakhir adalah Anura. Ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. “Sebagian besar amfibi Indonesia umumnya masuk kelompok ini,” ujar Mirza D Kusrini, dari K3AR, IPB.

Tubuh umumnya pendek dan lebar, kakinya memiliki selaput untuk melompat atau berenang, punya pita suara, dan kawin eksternal. Telur menetas tumbuh menjadi berudu dan katak. Di Indonesia, ditemukan 450 jenis yang mewakili 11 persen Anura di seluruh dunia.

Malayopython reticulatus (Ular sanca batik). Foto: Amir Hamidy

Amfibi, kata Mirza, mempunyai banyak fungsi seperti untuk bahan konsumsi, alat uji medis dan bahan obat, juga sebagai predator berbagai serangga atau larva serangga. “Katak yang di sawah diketahui memakan berbagai jenis serangga yang menjadi hama pertanian. Penting dalam rantai makanan,” ujar Mirza pada acara yang sama.

Fungsi lain yang juga penting, amfibi sebagai bio -indikator kerusakan lingkungan. Beberapa tahun terakhir, para peneliti menyadari amfibi terutama pada tahap telur dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. “Kodok itu bernapas tidak hanya dengan paru-paru tapi juga kulitnya, dia ini sangat sensitif pestisida. Seperti spons, indikator lingkungan,” ujar Mirza.

Keberadaan amfibi, khususnya katak juga makin sedikit. Hal ini tak lepas dari lingkungan yang membuat rantai makanan makin sederhana.

Psammodynastes pulverulentus (Ular viper palsu). Foto: Amir Hamidy

Mirza dan K3AR Fakultas Kehutanan sedang mengembangkan program pengenalan dan pendataan amfibi menggunakan semacam aplikasi. Juga, mengembangkan konservasinya di lingkungan perkotaan. “Masyarakat perlu mengenal berbagai amfibi dan reptil untuk menjaga keseimbangan alam dan rantai makanan.”

Selain dua ahli tersebut, hadir Dr. Tri Maharani, dokter spesialis gawat darurat yang sering menangani gigitan ular. Menurutnya, penanganan medis untuk kasus gigitan ular belum mencukupi. Karena masih jarang dan mahalnya serum anti bisa ular yang mencapai jutaan rupiah per ampul. “Banyaknya angka kematian yang tak tertangani secara medis karena tidak ada serum,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,