Revitalisasi Muara Baru Tidak Tepat Sasaran?

Kebijakan yang dibuat Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perindo) dengan menaikkan tarif sewa lahan hingga 400 persen di pusat bisnis Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, dinilai tidak masuk akal. Pasalnya, kenaikan dengan harga tersebut ditengarai akan mematikan usaha yang ada di kawasan tersebut.

Pakar Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri berpendapat dalam membuat kebijakan, Pemerintah harus bisa membuatnya dengan seimbang. Jangan sampai, Pemerintah membuatnya hanya dengan merujuk pada sisi teoretis dan sama sekali tidak mempertimbangkan faktor lapangan yang ada di sektor perikanan dan kelautan.

“Kenaikan tarif memiliki dampak yang sangat besar untuk semua sektor usaha terkait. Dampak yang paling buruk, para pengusaha tak sanggup lagi menanggung beban operasi dan terpaksa gulung tikar. Jika itu terjadi, puluhan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan,” ungkap dia di Jakarta, kemarin.

Menurut Rokhmin, sebagai negeri perikanan dan kelautan yang kaya, Indonesia sudah seharusnya bisa mempertimbangkan segala hal dalam setiap membuat kebijakan. Tak terkecuali, jika kebijakan tersebut adalah tentang kenaikan tarif sewa lahan untuk perusahaan.

Menyoal tentang kenaikan tarif tersebut, Ketua Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru Tachmid Widiasto mengatakan, ada ancaman lebih serius yang akan dihadapi oleh para pengusaha jika tarif harus dinaikkan. Ancaman tersebut, adalah hilangnya tenaga kerja yang sekarang ada di Muara Baru.

“Itu sangat berbahaya. Karena di Muara Baru itu ada sepuluh ribu karyawan langsung (dari perusahaan), dan sekitar lima puluh ribuan tenaga kerja lepas yang mencakup pedagang ikan, buruh bongkar muat, sopir angkutan, dengan ABK (anak buah kapal),” jelas dia.

Dengan jumlah sebanyak itu, Tachmid khawatir itu akan memengaruhi iklim usaha di Muara Baru dan bisa mengancam keberlangsungannya. Karena, dengan kenaikan tarif hingga 400 persen, maka potensi perusahaan yang gulung tikar jumlahnya sangat banyak.

“Kita menolak dengan kenaikan tarif, karena pada 2013 sudah ada kenaikan tarif hingga 70 persen. NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) juga sudah naik. Tidak fair jika tarif sewa juga dinaikkan lagi,” tutur dia.

Tachmid menyebut, jika kenaikan tarif diterapkan, maka pengusaha yang memiliki usaha di Muara Baru harus membayar biaya Rp3,2 miliar per hektare per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan sewa yang diberlakukan sebelumnya sebesar Rp780 juta per hektare per tahun.

“Sekarang ini ada 61 perusahaan di Muara Baru, dan sekarang ada sejumlah pengusaha yang ingin membuka usaha di Muara Baru. Karena kan, Muara Baru ini (kapasitasnya) bisa sampai 75 perusahaan,” jelas dia.

Pembatasan Masa Sewa dan Tak Ber-SK

Selain kenaikan tarif yang sangat tinggi, Tachmid mengungkapkan, pihaknya juga harus menghadapi kenyataan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Perindo juga sangat janggal. Karena, dalam kebijakan baru tersebut, penyewa lahan dibatasi maksimal lima tahun saja dan setelah itu harus keluar.

“Sementara kalau industri ini, contohnya saja bangun pabrik itu kan perlu tiga tahun. Masa kita harus mengembalikan kredit dengan dua tahun kerja saja. Muara Baru ini kan bisa maju, karena masa sewanya yang bisa sampai 20 tahun,” kata dia.

Pemandangan di Pelabuhan Muara Baru dan Muara Angke Jakarta. Inilah salah satu pemandangan dari pusat pengumpulan hasil tangkapan hiu dan pari di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta.
Pemandangan di Pelabuhan Muara Baru dan Muara Angke Jakarta. Inilah salah satu pemandangan dari pusat pengumpulan hasil tangkapan hiu dan pari di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta.

Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) James Then menjelaskan, jika kenaikan tarif sewa lahan jadi diterapkan, maka itu akan memengaruhi bisnis perikanan tangkap. Hal itu, karena 80% anggota HNPN adalah perusahaan yang bergerak dalam sub sektor perikanan tangkap dan biasa mendaratkan kapalnya Muara Baru.

“Jelas kami mengalami kenaikan fixed cost empat kali lipat. Biaya sewa coldstorage kami juga naik,” ungkapnya.

Hal senada diungkapkan Sekretaris P3MB Rendra Purdiansa. Menurutnya, kenaikan tarif yang dilakukan Perindo, dilakukan karena perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut berencana melakukan revitalisasi kawasan Muara Baru.

“Kenaikan tarif itu harus rasional dan ada sosialisasi. Jangan langsung begitu saja. Apalagi, kebijakan ini masih belum ada SK-nya,” ujar dia.

Rendra mengatakan, rencana revitalisasi juga dinilainya sudah bagus dan tepat. Hanya saja, sasaran dari revitalisasi tersebut masih rancu. Karena, selama ini Muara Baru diisi oleh pengusaha-pengusaha yang memiliki bisnis usaha skala menengah ke atas.

“Itu bertentangan dengan rencana revitalisasi yang katanya untuk masyarakat. Masyarakat yang mana? Ini harus dipertanyakan,” tandas dia.

Selain itu, Rendra mengatakan, dia juga merasa heran dengan opsi yang diberikan Perindo kepada pengusaha, yakni antara bayar sewa atau dengan dikerjasamakan. Menurut dia, opsi kedua dianggap sangat tidak rasional karena kalau kerja sama itu menjadi aneh mengingat Perindo tidak terlibat sejak awal pendirian usaha.

Terpisah, Direktur Operasional dan Pemasaran Perindo Anggi Gumilang mengatakan, berkaitan dengan kenaikan tarif, pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada pengusaha. Kemudian, pihaknya juga memberikan opsi untuk tetap sewa atau kerja sama operasi (KSO).

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melontarkan rencana revitalisasi di Muara Baru yang dijanjikan akan berwujud seperti pasar ikan di Tokyo, Jepang. Nantinya, Muara Baru bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat.

“Jadi nanti Muara Baru akan bersih dan modern. Tidak seperti sekarang yang kumuh. Pedagang harus bertumpuk tumpuk hingga 5.000 pedagang di pasarnya,” ucap dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,