Ribuan Ton Ikan Keramba Apung Mati di Danau Maninjau, Ada Apa?

Ribuan ton ikan keramba jala apung mati di Danau Maninjau, Sumatera Barat, Rabu (31/8/16). Kematian misterius ikan mas dan nila, terjadi di tiga nagari, masing-masing Nagari Tanjung Sani, Nagari Koto Malintang dan Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sejumlah pemilik keramba jala apung menaksir kerugian mencapai puluhan miliar rupiah.

Menurut pemilik keramba, Eriandi sejak sepekan sebelum kematian massal, Kumat (25/8/16), ikan-ikan mulai lemas dan muncul keluar. Mereka tampak megap-megap.

Puncaknya, Rabu (31/8/16), saat matahari terbit ikan-ikan mulai mati. Dari jutaan ikan keramba ini ditaksir ribuan ton sudah menjadi bangkai.

Ermanto, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Agam  mengatakan, penyebab kematian ikan karena berbagai faktor, seperti tuba belerang, ditambah cuaca ekstrem menyebabkan pembalikan arus. Ditambah pada hari berikutnya kurang pasokan oksigen karena danau tak beriak.

Pada kedalaman lima meter sudah tak ada oksigen. Selain itu, sisa pakan ikan yang tak terserap semua juga faktor penyebab matinya.

“Jika pakan para penambak 10 kg terserap paling 6 kg. Sisanya menumpuk di danau hingga menimbulkan residu pakan,” ucap Ermanto.

Ermanto tak menampik jika ikan-ikan mati mungkin karena keberadaan jala apung sudah melebihi kapasitas, hingga residu pakan membelundak.

Daya tampung Danau Maninjau terhadap keramba 6.000 petak dengan ukuran 5×5 meter. Yang terjadi kini, keramba mencapai hampir 17.000 petak, ditambah lagi tak ada jeda dalam budidaya. Seharusnya, musim penghujan keramba-keramba lebih baik kosong.

Sejak seminggu belakangan hingga Kamis (1/9/16) diperkirakan 3.000 ton ikan mati dari 3.500 petak keramba, rata-rata satu petak keramba satu ton ikan.

Dari pengamatan Mongabay, bangkai ikan sudah menimbulkan bau busuk dan mulai mencemari kualitas air danau. Untuk mengurangi dampak buruk, tim SaveManinjau terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan Agam  dibantu warga mulai pembersihan pakai mobil pengangkut dan ekskavator. Bangkai ikan diangkut dan dikuburkan ke lahan-lahan kosong di tepi danau.

Sejak pagi, sekitar 10 ton ikan berhasil diangkut ke tepi, pembersihan akan dilanjutkan keesokan hari.

Warga bergotong royong mengambil bangkai-bangkai ikan dan menguburkan. Foto: Vinolia
Warga bergotong royong mengambil bangkai-bangkai ikan dan menguburkan. Foto: Vinolia

Rugi miliaran rupiah 

Eriandi, pemilik keramba di Jorong Tanjungalai mencoba mengestimasi kerugian yang beberapa rekannya. Menurut dia, kelompok penambak ikan dari Condek Grup dan Roket Grup mengalami kerugian masing-masing sekitar 10 ton, total 20 ton.

Di sekitar keramba Roket Grup ada 10 keramba milik perorangan sekitar 10 dengan masing-masing kerugian 15 ton, total 150 ton. Di Jorong Sigiran, Nagari Tanjungsani, dua penambak kerugian 200 ton.

“Kira-kira 300 ton ikan mati. Termasuk milik saya pribadi sekitar 50 ton,” katanya.

Dia memperkirakan, kerugian penambak sekitar 500 ton, baru di Bandakoto, Jorong Ambacang,  belum terhitung Jorong Tanjungalai.

Dua menduga penyebab kematian ikan oleh masalah kompleks, seperti penjualan ikan macet, hingga panen tertunda beberapa hari. Ikan terus tumbuh besar, bikin sesak di keramba, berujung kekurangan oksigen dan mati.

Dia duga juga karena efek cuaca ekstrem beberapa hari belakangan. Angin kencang di sebagian danau membuat sampah dan materil dasar danau berupa residu pakan ikan mengapung ke permukaan hingga jadi racun.

Di Bandakoto, Jorong Ambacang, kematian ikan lebih banyak. Nyaris setiap keramba harus dikuras, karena isi sudah penuh bangkai. Bau busuk tercium, kerumunan lalat terlihat di sekitar bibir danau.

Tak banyak dapat diupayakan para penambak. Mereka hanya membiarkan ikan mati mengapung dan tenggelam ke dasar danau.

Dari segi penjualan ikan, katanya, kerugian diperkirakan mencapai miliaran rupiah.

“Jika tiap satu kg Rp19.000, satu ton merugi Rp19 juta. Jika hitungan 1.000 ton, tentu kerugian Rp19 miliar.”

Ade Edward Darwin, Amdalis bidang geologi lingkungan mengatakan, kematian ribuan ton ikan merupakan fenomena alam natural sejak ratusan tahun tetapi kini diperburuk faktor-faktor lain.

Awalnya, kematian ikan-ikan Danau Maninjau akibat belerang naik dari gunung api purba di dasar danau, biasa disebut tuba belerang. Pada waktu itu,  kejadian masih jarang, paling lima tahunan.

Ketika cuaca ekstrem, endapan naik ke permukaan, karena bercampur belerang menyebabkan ikan mati kekurangan oksigen.

“Kadar belerang di dasar Maninjau, tak terlalu besar. Perlu perubahan lingkungan dan cuaca ekstrim hingga belerang naik dari dasar danau.”

Keramba jala apung ada sejak 1995. Kematian ikan di danau purba itupun makin sering. Jika dulu,  katanya, hanya dari tuba belerang, sekarang diperparah tuba pakan ikan.

Gejala sisa pakan ikan, katanya, makin lama makin sering terjadi setiap perubahan cuaca, dalam setahun bisa tiga sampai empat kali. Ini seiring penurunan kunjungan wisman ke Maninjau.

Sisa pakan ikan, katanya, berada di pinggiran danau yang relatif lebih dangkal. Bila terjadi berubahan cuaca sedikit bisa membangkitkan tuba sisa pakan.

“Pada fenomena tuba belerang dan tuba pakan ini mekanisme arus konveksi menyebabkan air di lapisan dasar bergerak ke permukaan. Ini dipicu perubahan cuaca, penurunan temperatur mendadak di permukaan danau, bisa dipicu juga angin badai disertai hujan.”

Kala air lapisan dasar mengandung belerang ataupun sisa pakan minim oksigen dan mengandung bahan-bahan lain berbahaya untuk ikan, katanya, bahan-bahan dasar inilah penyebab kematian ikan.

“Kekurangan oksigen dan bahan sisa pakan berbahaya untuk ikan.”

Menurut dia, kalau hanya kasus kekurangan oksigen,  masih bisa diatasi memakai kipas aerasi. Ia bisa meningkatkan kandungan oksigen dalam air.

Untuk Maninjau, kematian ikan banyak penyebab, tak hanya kekurangan oksigen juga kandungan racun pakan ikan.

Danau Maninjau, yang tak terkelola baik, termasuk banyak keramba bisa menimbulkan kerusakan . Buntutnya, salah satu melemahkan sektor pariwisata. Foto: Wikipedia
Danau Maninjau, yang tak terkelola baik, termasuk banyak keramba bisa menimbulkan kerusakan . Buntutnya, salah satu melemahkan sektor pariwisata. Foto: Wikipedia

Pada 2001, pemerintah Sumbar mendatangkan peneliti LIPI untuk penelitian tuba pakan. LIPI merekomendasikan, mengurangi dan membatasi keramba sesuai daya dukung.

“Ini tak bisa dilaksanakan pemkab,” kata Edward. Dia pada rakor penanganan kematian ikan massal sebagai geolog Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumbar.

Dinas Perikanan Sumbar maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menguasai teknis perikanan tak menemukan metoda tambak ikan yang tepat. Metoda ramah lingkungan sesuai kondisi setempat.  Peristiwa mati massal ikanpun berulang.

Kematian ikan massal ini, katanya, berdampak lingkungan kumulatif, seperti fisik kimia biotik air sampai ke hilir, pencemaran udara (bau) dan sosial seputar danau (menyebabkan pariwisata anjlok).

“Ikan dimana-mana dibiarkan menggantung, seperti tak ada instansi yang bertanggung jawab,” katanya.

 

 

Lamban

Keramba sudah begitu banyak di danau, tetapi belum ada upaya tegas instansi terkait. Dinas Perikanan dan Kelautan masih persuasif.

“Tahun ini kita masih memberi keleluasaan mandiri kepada pengusaha mengurangi jumlah keramba. Kami harap mereka menarik ke pinggir.”

Kalau tak jalan, katanya, dinas tindaklanjuti dengan peraturan-peraturan mengikat.

Ermanto menyebut, sudah memberikan surat edaran dan membuat papan-papan pengumuman di seputaran danau. Berbagai aturan berupa SK bupati tentang budidaya yang baik sudah dilakukan. Namun, katanya, mereka dari pengusaha pakan, orang bisnis mencari untung banyak, tak mengindahkan.

“Penyedia pakan ingin mendapat untung banyak, dipaksalah pembudidaya kita berusaha sebanyak-banyaknya supaya pakan habis juga.”

“Laba bagi dua. Mati ikan juga mereka bagi dua. Sulit memutus rantai karena pembudidaya sudah berlipat-lipat utang, mau tak mau budidaya terus supaya utang lunas, dapat uang juga,” katanya.

Guna pengelolaan lebih lanjut, katanya, dinas sudah menyusun berbagai perangkat seperti Perda Pengelolaan dan Pelestarian Danau Maninjau.

Dihubungi terpisah, Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Edison Kurniawan mengatakan, belum berani menyimpulkan kematian ikan dengan cuaca ekstrim. Kemungkinan banyak penyebab. Dia menyebutkan penyebab kandungan sulfur sampai tumpukan pakai di dasar danau.

“Kami membutuhkan data historis bulan apa saja kematian ikan terjadi. Dengan begitu dapat menganalisis, apa benar kejadian dapat dikaitkan dengan cuaca ekstrim.”

Menurut Edison, iklim Danau Maninjau cenderung ekuatorial, namun pengaruh lokal sangat kuat. Hujan tahunan agak lebih rendah dibandingkan Bukittinggi dan daerah-daerah lain di Sumbar. Ada dua puncak musim hujan setahun, yakni April dan November.

Ikan mati mengapung di Danau Meninjau. Foto: Vinolia
Ikan mati mengapung di Danau Meninjau. Foto: Vinolia
Tim SaveManinjau membersihkan danau. Foto: Vinolia
Tim SaveManinjau membersihkan danau. Foto: Vinolia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,