Cerita Menarik Pengolahan Jelantah Jadi Biodiesel di Bali

I Wayan Edi menghitung jumlah minyak goreng bekas yang diterimanya, Selasa (23/8). Jelantah kehitaman itu sisa masak rumah dalam jumlah kecil, sekitar 1-2 liter dan dalam wadah jerigen besar dari restoran atau hotel.

“Ibu mau dibayar sekarang atau nanti saja kalau sudah banyak?” tanya Edi saat membuat tanda terima. Satu liter jelantah dibeli pabrik pengolahan minyak goreng bekas jadi biodiesel ini Rp2000.

Yayasan Lengis Hijau melalui unit usahanya PT. Bali Hijau Biodiesel baru beroperasi tiga tahun di Kota Denpasar, Bali. Dirintis oleh Caritas Switzerland, lembaga bantuan sosial global dari Swiss bekerja sama dengan pemerintah kota Denpasar. Merk biodiesel yang dihasilkan diberi nama Ucodiesel, jenis B100 khusus olahan jelantah.

Program kewirausahaan sosial ini diniatkan sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi karbon penyebab perubahan iklim karena penggunaan solar dan mengurangi paparan limbah jelantah yang dibuang sembarangan ke sumber air.

Di tahun ketiganya, Direktur PT Bali Hijau Diesel Endra Setyawan mengatakan pabrik ini sudah menghasilkan 500-an ribu liter biodiesel dari 350-an ribu liter jelantah yang didapat di Bali dan sisanya dari Surabaya. Harga jual Ucodiesel per Agustus ini Rp9500 per liter. Sementara harga solar industri sekitar Rp9000-an per liter.

Harga biodiesel memang harus memperhatikan harga solar industri karena kesadaran menggunakan sumber energi terbarukan belum massal. Juga sangat tergantung keberlanjutan produksi biodiesel, salah satunya tergantung bahan baku minyak jelantahnya.

Petugas pengumpul jelantah mengecek kiriman dari rumah tangga dan usaha, lalu disaring sebelum diolah jadi biodiesel. Tiap bulan mengumpulkan rata-rata 10 ribu liter jelantah. Foto : Luh De Suriyani
Petugas pengumpul jelantah mengecek kiriman dari rumah tangga dan usaha, lalu disaring sebelum diolah jadi biodiesel. Tiap bulan mengumpulkan rata-rata 10 ribu liter jelantah. Foto : Luh De Suriyani

Nah soal jelantah ini, Lengis Hijau punya cerita menarik. Di tahun pertama, tantangannya adalah kesulitan mencari minyak goreng bekas, karena harus bersaing dengan pengepul-pengepul jelantah lainnya.

“Mereka kompetitor, karena berani beli lebih mahal dari kita,” ujar Endra. Para pengepul disebutnya menjual lagi jelantah ke usaha makanan yang menggunakan banyak minyak goreng juga ada pengepul besar yang memasok ke Surabaya untuk bahan pakan ternak ayam. “Untuk ayamnya mungkin tidak masalah tapi orang yang makan ayamnya karena jelantah mengandung karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan,” urai pria yang berkantor di Jl Cargo Sari 4X, Ubung Kaja, Denpasar ini.

Minyak  goreng  secara  aman  disebutkan hanya  dapat  digunakan  maksimal  3  kali,  dengan  suhu  di bawah  125 derajat  celcius.  Memasak  dengan  suhu  di atasnya,  mempercepat  oksidasi  dan  degradasi  minyak goreng.  Setelahnya,  proses  penggorengan  menghasilkan  berbagai  radikal  bebas  yang  bersifat karsinogen,  diserap  dan  merusak  gizi  makanan  membahayakan  kesehatan.  Dapat  merusak  sel-sel tubuh,  membran  dan  fungsi  sel  tubuh,  memicu  peningkatan  risiko  stroke,  obesitas,  jantung, dan lainnya.

Tak hanya tantangan mengumpulkan limbah jelantah, menjual biodiesel juga tak mudah. Endra menyebut industri masih memilih solar yang harganya sedikit lebih murah, apalagi jika mendapatkan harga lebih murah dari pasaran.

“Pas harga minyak dunia turun kita berhenti produksi. Harus hitung biaya produksinya yang masih mahal,” jelas Endra. Misalnya bahan baku jelantah Rp2000 ditambah biaya mengolah sekitar Rp7000-an, untungnya dinilai masih kecil hanya Rp100-200 rupiah per liter.

Pabrik pengolah jelantah agar tak jadi limbah pencemar air ini bersaing dengan pengepul kecil dan besar lain yang juga menggunakan jelantah untuk keperluan lain seperti pangan yang kandungannya membahayakan kesehatan. Foto : Luh De Suriyani
Pabrik pengolah jelantah agar tak jadi limbah pencemar air ini bersaing dengan pengepul kecil dan besar lain yang juga menggunakan jelantah untuk keperluan lain seperti pangan yang kandungannya membahayakan kesehatan. Foto : Luh De Suriyani

Caritas disebutkan membiayai set-up pabrik dan manajemen diawal dan sewa pabrik hingga 10 tahun ke depan. Karena itu Endra dan timnya harus berhitung.

Pelanggan utama biodieselnya di antaranya Tjendana Resort Management yang mengelola sejumlah restoran dan villa seperti Villa Kunti, Dampati, Oceana Restaurant, dan lainnya. Selain itu ada juga Green School yang membeli 1000-1500 liter per bulan untuk 4 bus sekolahnya. Sejumlah siswa sekolah internasional di Bali ini menjadikannya proyek biobus dan juga tertarik mengembangkan biodiesel menjadi sabun.

Lengis Hijau berharap Pemkot Denpasar membuat perangkat hukum seperti peraturan Walikota tentang tata kelola minyak goreng bekas agar tak disalahgunakan sebagai bahan pangan. Menurut Endra, Pemkot juga perlu komitmen menyerap biodiesel untuk kendaraan dinas untuk mengganti solar.

Dengan  asumsi  jumlah  konsumsi  minyak  goreng  rata-rata  2-4  liter  per  bulan  per keluarga,  kebutuhan  63  juta  rumah  tangga  di  Indonesia  akan  minyak  goreng  dapat  mencapai 252.000 ton per bulan. Menjadikan minyak goreng salah satu komoditas sembilan bahan pokok.  Dengan  asumsi  yang  sama,  1.028.260  keluarga  di  Bali  dapat mengkonsumsi minyak goreng hingga mencapai lebih dari 4 juta liter per bulan dan berpotensi menghasilkan minyak goreng bekas atau jelantah lebih dari 1.000.000 liter perbulan. Dari riset awal disebutkan limbah satu liter jelantah bisa mencemari 500 liter air permukaan.

Jelantah  yang  langsung  dibuang  bersama  dengan  sampah  lainnya,  nantinya akan  terurai  melalui proses  penguraian  anaenerobik  menjadi  Metana.  Metana  atau  gas  metan  adalah  salah satu gas  rumah  kaca yang berbahaya, sekitar 25 kali lebih berbahaya dibandingkan CO2 (karbondioksida). Metana disebut penyumbang terbesar terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global.

Pencemaran jelantah

Selain  membuang  ke  tempat  sampah,  dalam  survei  yang  dilakukan  Lengis Hijau  pada  sektor pariwisata, terdapat juga perilaku membuang jelantah ke aliran air yang dapat mencemari air lingkungan  sekitar  termasuk  kualitas  sumber  air  tanah  sebagai  air  minum  harian.  Lainnya teralirkan ke laut dan bisa mengancam biota laut.

Hasil olahan jelantah adalah biodiesel seperti dalam botol dan bagian olahan lainnya bisa diolah jadi sabun. Seperti sabun cair percobaan siswa GreenSchool di botol lainnya. Foto : Luh De Suriyani
Hasil olahan jelantah adalah biodiesel seperti dalam botol dan bagian olahan lainnya bisa diolah jadi sabun. Seperti sabun cair percobaan siswa GreenSchool di botol lainnya. Foto : Luh De Suriyani

Sementara potensi limbah jelantah dari industri pariwisata juga dinilai tinggi. Begini hitung-hitungan Lengis Hijau. Jika rata-rata  kunjungan  wisatawan  ke  Bali    4  juta  orang  per  tahun, dengan  penggunaan  minyak  goreng  20-50  liter minyak  goreng  per  100  wisatawan  per  minggu  dan  rata-rata  tinggal  3  hari  dapat menghasilkan 2.500 liter limbah minyak goreng bekas per hari. Dibandingan yang bisa dikumpulkan saat ini, jumlahnya sangat kecil.

Pengolahan daur ulang jelantah menjadi Biosolar menerapkan teknik filtrasi mekanis  dikombinasikan dengan  konversi kimia. Memanfaatkan  mesin dengan  teknologi  modern  FuelMatic  GSX 3 dari Inggris, dengan kapasitas produksi 1.000 liter per satu kali proses dengan durasi 8 jam.

Biosolar dihasilkan tak hanya dari jelantah yang mayoritas sawit, juga banyak diversifikasi dari tumbuhan lain.  Lebih ramah lingkungan karena terbuat dari sumberdaya hayati,  sehingga lebih mudah terurai. Lengis Hijau menyebut biosolar dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau campuran solar. Tidak dibutuhkan modifikasi mesin untuk penggunaannya.

Selain kelebihan juga ada kekurangan. Di sejumlah blog otomotif sejumlah kekurangan misalnya energi yang dihasilkan dibanding bahan bakar fosil. Kekurangan ini tertutupi jika fokus pada konteks pelestarian lingkungan seperti daur ulang limbah dan pengurangan emisi.

Siswanto, pekerja engineering hotel The Mansion yang sudah dua tahun menggunakan biodiesel dari Lengis Hijau mengatakan tidak ada masalah dengan mesin dan energi dari dua mesin generator kapasitas 250 KVA yang diurusnya. Ia menyebut manajemen memilih biodiesel ini karena aspek lingkungan. “Daaripada limbah minyak gorengnya dikonsumsi orang lagi kan bikin sakit,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,