Membuka Lahan Gambut dan Kanal, Kegiatan RAPP Dihentikan?

Penghadangan Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead di konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Riau, sempat menjadi kabar heboh. Ia sampai menjadi viral di sosial media, beberapa hari lalu. Bukan hanya konsesi luas terbakar tetapi pembukaan lahan diduga pada gambut dalam. Bahkan, kanal-kanal tampak baru dibuka.

Pemerintah akan menghentikan sementara pembukaan lahan dan kanal di lahan gambut di Dusun Bagan Melibut, Kecamatan Merbau, Kepulauan Meranti, Pulau Padang itu. Atas beragam tindakan itu, perusahaan bakal terkena teguran.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, jelas gambut tiga meter atau lebih merupakan zona lindung.

Fakta ini tak sesuai kondisi lapangan. Bedasarkan, inspeksi mendadak (sidak)—yang tertahan sekuriti perusahaan—Nazir menemukan fakta ada pembukaan lahan baru dan ditanami akasia, serta sekat kanal lebar mencapai lima meter. Lahan bukaan juga masih berkonflik dengan masyarakat.

Jumat (9/9/16), Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) dan BRG memanggil anak usaha Asia Pasific Resources International Holdings Ltd. (APRIL), anggota Royal Golden Eagle (RGE) Group.

”Kami sepakat RAPP harus menghentikan kegiatan sementara sampai penyelesaian peta kawasan hidrologi hambut. Maksimal tiga bulan,” kata Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono usai pertemuan membahas hasil sidak lapangan BRG di Konsesi RAPP di Jakarta.

Alat berat tengah membuka gambut buat kanal di konsesi RAPP, baru-baru ini. Foto ini dari video JMGR
Alat berat tengah membuka gambut buat kanal di konsesi RAPP, baru-baru ini. Foto ini dari video JMGR

Namun hasil sidak BRG itu, tak ada sanksi keras kepada perusahaan itu. Pemerintah  hanya memberikan teguran lisan agar mereka memperbaiki prosedur pengawasan lahan.

“Untuk kanal yang dibangun dan pembukaan lahan akan  di-review kembali apakah itu pembukaan lahan baru atau tidak.”

Sebaliknya, pihak RAPP menampik jika pihaknya disebut melakukan pembukaan lahan baru.

”RAPP laporkan, itu bagian dari RKT (rencana kerja tahunan) tahun sebelumnya yang terjadi kebakaran,” jelas Bambang.

RKT itu katanya, akan disinkronkan dengan rencana kerja usaha (RKU). Menurutnya, PP Perlindungan dan  Pengelolaan Ekosistem Gambut menjadi acuan.

Berdasarkan revisi SK 327/Menhut-II/2009 menjadi SK 180/Menhut-ii/2013 pasca konflik, KLHK sudah merevisi RKU, ada 20% tanaman kehidupan. Data ini, katanya, akan menjadi data BRG untuk verifikasi lanjutan.

Nazir mengatakan, aksi perusahaan di konsesi itu melanggar PP 71 dan hasil rapat kabinet 23 Oktober 2015 yang memutuskan pelarangan pembukaan baru di lahan gambut.

Adapun dalam beleid itu, Pasal 9 gambut kedalaman tiga meter atau wajib dilindungi.

Pada Pasal 26 menyebutkan, setiap orang dilarang membuka lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Begitu pula membuat drainase, membakar, dan melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan kerusakan ekosistem gambut. Adapun sanksi, katanya, bisa sampai pencabutan izin.

Nazir menegaskan, penghentian sementara ini harus sekaligus menyelesaikan konflik dan menjalin kesepakatan dengan warga sekitar.

”Perusahaan siap RKU direvisi, melihat fungsi lindung dan budidaya gambut yang harus dikelola dan tak menyalahi aturan.”

Termasuk perusahaan mesti berkomunikasi dengan warga hingga ada kesepakatan. ”Kalau masyarakat bilang mau jadi kebun, mau tanam sagu, ya mereka (perusahaan) harus setuju,” katanya.

BRG, katanya, tetap akan mengkaji soal sekat kanal, dan lahan disana dikategorikan masuk gambut dalam.

“Bisa mencapai tujuh sampai delapan meter. Sudah banyak kanal di daerah situ yang fungsinya untuk mengeringkan,” jelas Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG.

Alat berat tampak merobohkan pepohonan di hutan gambut pada konsesi RAPP. Foto dari video JMGR
Alat berat tampak merobohkan pepohonan di hutan gambut pada konsesi RAPP. Foto dari video JMGR

Untuk menindaklanjuti pertemuan ini, pemerintah akan membentuk tim pengkajian lapangan, terdiri atas KLHK, BRG dan Pemerintah Daerah.

RAPP mengakui, membuka lahan sejak tahun lalu sekitar 400 hektar. Perusahaan menyebutkan, luasan berada di luar konflik. Saat ada perintah Presiden, perusahaan menyebutkan telah menghentikan operasi. Perusahaan beralasan pada bulan April lalu, ingin membersihkan tumpukan kayu yang dikhawatirkan terbakar.

Presiden Direktur  PT RAPP, Tony Wenas mengatakan, pihaknya akan bersikap kooperatif dengan pemerintah dan bersama-sama berkomitmen dalam pengelolaan hutan, seraya menyebutkan, korporasi memiliki komitmen pengelolaan hutan berkelanjutan.

Perusahaan pun beralasan pembuatan kanal buat sekat api dan embung adalah cara untuk mengurangi risiko kebakaran.

”Ada pembukaan sekat bakar dan kantong air sebagai pencegahan dari kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Berdasarkan pantauan di lokasi sidak, terdapat kanal cabang selebar lima meter. Untuk kanal induk lebar mencapai 20 meter. BRG khawatir, kanal yang diklaim perusahaan untuk embung akan tersambung dengan induk.

Kala perusahaan mencoba membantah membuka lahan baru-baru ini, bukti dan saksi warga menyatakan berbeda.

Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), mengambil beberapa video kala alat berat perusahaan merobohkan pohon-pohon besar di hutan gambut. Tampak juga dalam video itu, alat berat sedang mengeruk gambut, membuat kanal.

“Sekitar satu minggu beroperasi. Kadang mereka bekerja saat kami tidur, saat malam hingga pagi hari,” kata Kasidin, warga Pulau Padang.

Pembabatan hutan itu menurutnya tepat di sidak, dimana sudah ada bibit akasia ditanam. Lahan terbakar lanjutnya terjadi sejak pertengahan Agustus lalu. Sedang lahan masyarakat yang ikut terbakar seringkali dijual ke perusahaan.

Hutan gambut yang terbabat. Foto dari video JMGR
Hutan gambut yang terbabat. Foto dari video JMGR

Syahrudin, juru bicara JMGR menegaskan, seharusnya penghentian jangan hanya sementara. Penyelesaian tapal batas pada SK Menteri Kehutanan perlu selesai terlebih dahulu.

”Peta kami dengan peta perusahaan masih berbeda.”

Ia pun menyebutkan, sekat kanal yang disebut perusahaan sebagai embung salah. ”Jika embung, tidak mungkin sedalam itu.”

Sejauh ini, sekat bakar di wilayah konsesi yang disebut sebagai antisipasi itu belum berfungsi dengan semestinya.

Alasan perusahaan katanya, hanyalah alibi untuk melegalkan aksi mereka. Indikasi kuat dari temuan JMGR, jarak kanal induk kurang satu km menuju salah satu tempat pemasok di Sungai Kuat atau Senalit, Desa Lukit.

Ia menyebutkan konsesi RAPP di Pulau Padang seperti huruf C., yang disebabkan adanya lokasi Desa Bagan Melibur, yang merupakan satu dari sembilan desa di Pulau Padang yang masih belum terambah perusahaan. Adapun perkiraannya, subsidensi (penurunan) gambut di Pulau Padang sudah 1,5 meter dalam 28 tahun terakhir ini.

Penurunan ini, katanya, sangat terasa saat RAPP mulai beroperasi. ”Ini makin turun jika pengelolaan lahan tak diperbaiki,” ucap M. Kamil, warga Besa Bagan Melibur.

Berdasarkan SK Kementerian Kehutanan, luasan boleh pengelolaan Hutan Tanaman Industri di lokasi tersebut mencapai 41.205 hektar.

Kebakaran di konsesi RAPP tampak lewat drone. Foto: dari video BRG
Inilah penampakan hutan yang sudah habis ditebang, untuk diganti akasia. Foto: dari video BRG
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,