Begini Dalih Perusahaan buat Abai Reklamasi Bekas Tambang Batubara di Jambi

Beberapa tahun terakhir, harga batubara terus merosot meskipun tahun ini ada kenaikan harga. Harga batubara anjlok ini disebut-sebut sebagai salah satu alasan perusahaan melalaikan kewajiban reklamasi lubang-lubang tambang mereka.

Novaizal, Kasi Pengawasan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jambi mengatakan, periode 2010-2013, harga batubara sekitar US$35 per ton, berangsur turun hingga menyentuh US$18-20 per ton.

“Biaya operasional dengan harga batubara tak sebanding. Itu  jadi persoalan,” katanya di Jambi, baru-baru ini.

Sejak harga batubara anjlok banyak perusahaan berhenti beroperasi, bahkan ada ratusan memilih tutup buku.

Selain soal harga, dalih lahan masih mengandung batubara kerap menjadi alasan banyak perusahaan mengelak dari tanggung jawab reklamasi.

“Kalau ditanya soal reklamasi alasannya masih ada batubara,” ucap Novaizal.

Kan nggak mungkin kita ngebor hanya untuk memastikan itu (kolam tambang) masih ada batubara atau tidak. Kita pakai data perusahaan. Kadang pemilik tanah minta tak ditutup dulu, mereka ini kan sistem bagi hasil.”

Batubara dalam tanah tersusun miring berlapis. Keadaan ini, katanya, membuat pembisnis batubara harus cermat menghitung biaya operasional.

Dia menjelaskan, susunan batubara berlapis, tanah, batubara, tanah, batubara, berbentuk miring. Kala tutupan diambil sedikit, biaya operasional kecil, tetapi kalau tutupan tebal, biaya lebih besar.

“Maka dibiarkan tak ditutup, kalau ditutup, terus mau ambil batubaranya mereka harus membuang tanah timbunan dulu, baru dikeruk lagi, biaya operasional mahal,” katanya.

Lokasi dan lubang tambang batubara di Sorolangun, Jambi. Foto: Feri Irawan
Lokasi dan lubang tambang batubara di Sorolangun, Jambi. Foto: Feri Irawan

Novaizal mengaku pengawasan ESDM provinsi belum maksimal. Dia beralasan, mulai keterbatasan anggota, anggaran disunat, hingga ESDM provinsi belum siap setelah ada limpahan pengawasan.

“SDM kemampuan terbatas, cuma enam, tujuh orang, jadi tak semua (galian tambang) didatengin. Budget kita juga terbatas, karena ada pemangkasan anggaran,” ucap Novaizal.

Kendati demikian, dia menilai upaya mereka telah memenuhi standar pengawasan pertambangan batubara, sesuai PP Nomor 55/2010, tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.

“Menurut PP bunyinya, pengawasan dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun. Kita sudah melakukan.”

Selama ini, katanya, pengawasan mengacu rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan (RKTTL) yang disetujui pemerintah.

Laporan ini, dibuat perusahaan setiap akhir tahun memuat tentang progres perusahaan selama setahun berjalan dan rencana kerja setahun kedepan. Jika ada ketidaksesuaian, pengawas ESDM baru mengecek ke lokasi perusahaan.

Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau mengkritisi kinerja ESDM. Semestinya, ESDM dan Balai Lingkungan Hidup Daerah mengawasi lapangan minimal sekali dalam tiga atau enam bulan.

“Kalau alasan karena ada pemangkasan budget, itu sekarang, tahun ini. Tambang sudah lama. Selama ini mereka ke mana? Bilang saja malas. Mungkin bisa juga kita duga mereka main mata dengan perusahaan,” katanya.

Begitu juga alasan lubang tambang masih ada batubara, kata Feri, itu hanya alasan klasik perusahaan untuk lari dari tanggung jawab.

Kawasan tambang batubara di Soronagun, Jambi. Foto: Feri Irawan
Kawasan tambang batubara di Soronagun, Jambi. Foto: Feri Irawan

Surat teguran

Mei lalu, BLHD Sarolangun mengirimkan surat teguran pada puluhan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di daerah itu. Surat teguran ini terkait reklamasi kolam bekas penambangan batubara yang dibiarkan mangkrak.

Tak ditanggapi, BLHD kembali melayangkan surat teguran kedua pada Juli. “Reklamasi ini jadi kewajiban perusahaan pasca tambang, sesuai izin Amdal,” kata Fauzi, Asisten II Pemkab Sarolangun, yang jadi penanggungjawab sementara BLHD Sarolangun.

Sampai sekarang, hanya tiga perusahaan yang mengirimkan laporan tentang reklamasi galian tambang. BLHD memberi tenggat waktu 100 hari sejak dilayangkan surat teguran pertama.

“Jika sudah 100 hari tidak ada lagi melapor, saya akan laporkan ke gubernur. Karena itu (pengawasan-red) kewenangan gubernur,” katanya.

Dia cerita, Senin, (5/9/16), beberapa aktivis gabungan dari lembaga swadaya masyarakat di Sarolangun aksi unjuk rasa di DPRD Sarolangun. Mereka resah dengan bekas galian tambang yang belum direklamasi.

Nyinggung soal uang jaminan reklamasi juga,” ucap Fauzi.

Debu memenuhi jalanan sekitar tambang kala truk-truk mengangkut barubara. Foto: Feri Irawan
Debu memenuhi jalanan sekitar tambang kala truk-truk mengangkut barubara. Foto: Feri Irawan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,