Cerita Masyarakat Adat Simataniari Menjaga Hutan Kemenyan

Kokok ayam jantan menyambut pagi di sebuah desa sejuk dan nyaman. Warga saling sapa dalam bahasa Batak Toba. Beginilah suasana di Desa Simataniari, Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara.

Terdengar kicau burung, semilir angin dan gemercik air sungai, sawah terbentang diselingi berbagai tanaman, seperti pepaya dan kelapa. Pemandangan tambah indah dengan latar belakang hutan nan hijau.

Di pinggir bedeng (pembatas sawah), terlihat beberapa anak muda dan orang tua melintas. Mereka membawa keranjang kecil. Ternyata, mereka baru keluar dari hutan Simataniari, setelah sehari semalam, menyadap getah kemenyan.

Menyadap getah kemenyan jadi mata pencarian andalan. Meskipun begitu, warga juga berkebun dan bertani.

Kala itu, sejumlah tokoh masyarakat adat Simataniari, Parlilitan, akan berangkat ke hutan adat. Mereka hendak mengawasi dan menjaga agar hutan tak dirusak.

Tak jauh dari hutan adat ini, ribuan pohon eukaliptus mulai ditanam. Warga bergantian mengawasi dan menjaga hutan adat.

Bersama Opung Sitanggang, Dian Haposan Sihotang, Royani Sitanggang, dan Gabriel Lumban Gaol, tokoh masyarakat adat Batak Simataniari, saya menapaki hutan adat.

Perjalanan mulai pukul 08.00. Ular warna hijau terlihat di bawah pohon. Gabriel mengambil ranting pohon mencoba mengusir dengan mengelus-elus bagian kepala. Ular seakan paham, kami tak menganggu, ia berlalu ke semak belukar.

Perjalanan sudah enam jam. Kami masuk jauh ke hutan. Kali ini jalur menanjak, pohon ukuran besar makin banyak terlihat. Tampak pohon kemenyan. Di dekatnya,  ada gubuk tempat beristirahat warga yang hutan sambil menyadap getah kemenyan.

Wilayah adat Simataniari, dengan lahan pertanian (sawah) di dataran rendah, kemenyan, sebagai tanaman pelindung di dataran tinggi. Foto: Ayat S Karokaro
Wilayah adat Simataniari, dengan lahan pertanian (sawah) di dataran rendah, kemenyan, sebagai tanaman pelindung di dataran tinggi. Foto: Ayat S Karokaro

Waktu menunjukkan pukul 15.00. Kami berada di puncak bukit. Opung Togap Sitanggang dengan nada kesal menunjuk ke lereng bukit. Tampaklah bentangan eukaliptus. Menurut dia, kebun tanaman itu milik PT Toba Pulp Lestari (TPL), APRIL Group.

Perusahaan mengklaim hutan adat Simataniari, masuk konsesi mereka. Sitanggang mengatakan, akan ada perlawanan jika perusahaan berani masuk ke hutan adat, yang sudah ada sejak Indonesia belum merdeka itu.

Royani Sitanggang, mengambil parang, dan memotong eukaliptus yang tumbuh liar. Royani bilang, jika eukaliptus dibiarkan masuk, sama saja membiarkan hutan alam hancur. Apalagi jika sampai kemenyan ditebang.

“Satu kemenyan mampu melindungi dan menutupi 10 pohon alam dari cahaya matahari berlebih. Serapan air bawah tanah juga tak rusak. Mereka saling berbagi. Jika satu kemenyan hancur, 10 pohon alam akan mati. Begitu sebaliknya. Akan kami jaga, ” kata Royani.

Kemenyan terus tergerus, membuat tokoh adat Batak di Tapanuli,  bergerak melawan. Salah satu penolakan dari masyarakat adat Simataniari.

Mereka tak ingin hutan alam yang berisi beragam kekayaan termasuk kemenyan musnah. Para tetua adat di Simataniari, Parlilitan,  membentuk kelompok dari berbagai desa, untuk bersatu menjaga hutan adat mereka.

“Kami akan terus jaga hutan adat Simataniari ini. Kami menolak perusakan hutan dengan alasan apapun.”

Warga tengah menyadap getah kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro
Warga tengah menyadap getah kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro

Opung Sitanggang, mengatakan, kemenyan tanaman endemik dan tak boleh punah. “Kalau pemerintah atau siapa saja mengatakan masyarakat adat mengelola hutan adat ada kemenyan baru puluhan tahu, itu salah besar.”

Kemenyan, katanya,  bisa hidup jika ada hutan alam. Kemenyan hidup pada celah-celah pohon alam. Kala, tanaman alam habis, kemenyan akan mati.

“Di hutan kemenyan, tak begitu bersih seperti karet atau sawit. Itu sengaja agar ada kelembaban. Tanpa kelembaban akan kekeringan. Tak baik bagi kehidupan kemenyan,” ucap Opung Sitanggang.

Pemerintah, katanya, semestinya berpikir ulang buat memberi izin merusak dan menghancurkan hutan adat Simataniari. “Kami akan bersama-sama masyarakat adat Batak Tapanuli melawan jika hutan adat dihancurkan.”

Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Tano Batak (AMAN Tano Batak), di lokasi hutan adat Simataniari, mengatakan, wilayah masyarakat adat Simataniari, banyak kemenyan. Kondisi mulai hancur berganti eukaliptus.

Sepanjang mata memandang, tampak hamparan eukaliptus perusahaan yang mengantongin izin Kementerian Kehutanan seluas 188.000 hektar, meliputi 11 kabupaten. Hutan mulai terbabat perusahaan melalui para kontraktornya.

Menurut Roganda, tanpa sepengetahuan dan izin masyarakat adat, hutan mereka dibabat.

Kayu kemenyan muda, yang sudah mulai menghasilkan getah. Haruskah tanaman alam, dan endemik serta berniliai konservasi ini hilang dan berganti eukaliptus? Foto: Ayat S Karokaro
Kayu kemenyan muda, yang sudah mulai menghasilkan getah. Haruskah tanaman alam, dan endemik serta berniliai konservasi ini hilang dan berganti eukaliptus? Foto: Ayat S Karokaro

Beralih pekerjaan

Hasil pendataan AMAN Tano Batak, para petani kemenyan yang selama ini meggantungkan hidup dari kemenyan, beralih ke pekerjaan lain secara serabutan, mulai buruh tani di desa tetangga, tukang pikul sejumlah pabrik, hingga merantau ke kota. Kini, mata pencarian desa mereka tak lagi bisa diandalkan. Kemenyan banyak hancur.

AMAN Tano Batak, katanya, selama lima tahun terakhir mengadvokasi masyarakat Batak termasuk Simataniari, dalam memperjuangkan tanah adat yang diambil paksa perusahaan.

AMAN juga mendesak dan merancang penyusunan peraturan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Humbahas.

Sayangnya, respon legislatif dan eksekutif, tak serius. Pemerintah dan DPRD Humbahas, belum melihat ancaman kerusakan hutan alam.

“Penghancuran kemenyan inikan menyebabkan kemenyan menuju kepunahan di Humbahas. Kami akan terus berjuang bersama masyarakat mempertahankan keberlangsungan hidup hutan kemenyan,” katanya.

Dia mengingatkan, Presiden Joko Widodo melaksanakan kontrak politik dengan AMAN segera melindungi masyarakat adat. Antara lain melalui pengesahan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, membentuk satuan tugas (satgas) masyarakat adat, dan menghentikan dan memulihkan masyarakat adat ini menjadi korban kriminalisasi.

Masyarakat adat ini bergiliran berjaga-jaga di hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro
Masyarakat adat ini bergiliran berjaga-jaga di hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro

Data AMAN Tano Batak, di Humbahas luas konsesi TPL sekitar 40.000 hektar. Angka itu tak sedikit, dan bukan tanah tak bertuan.

“Kerusakan hutan adat Batak Simataniare karenaa TPL masuk, sudah 2.000-an hektar. Terus bertambah setiap hari, karena perusahaan terus menebang hutan.”

Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Antar Lembaga Pusat dan Daerah, belum lama ini mengatakan, masyarakat seyogyanya punya hak-hak pengelolaan. Paling penting, mengetahui tata batas lahan adat dan perusahaan.

Menurut dia, jangan hanya penguasaan lahan yang menjadi fokus perhatian, juga kearifan-kearifan lokal masyarakat, seperti tata cara mengelola tanaman obat.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat hadir dalam Musyawarah Adat Batak 2016 di Simalungun, mengatakan,  bangsa besar ini terdiri dari ratusan suku bangsa, ribuan pulau dan ratusan bahasa.  Ada ratusan tata cara, adat dan kebiasaan diantara suku bangsa.

Pemerintah, dan undang-undang, katanya, tetap menghargai hukum adat kepada kepemilikan dan penggunaan lahan-itu. Termasuk pengaturan penanganan tanah register dan status tanah adat.

Wapres bilang, masyarakat adat menjaga alam dan lingkungan dan sudah terbukti. Tinggal bagaimana menjaga dan merawat hutan agar tetap ada sampai anak cucu. Bahkan, Kalla menegaskan, perlu hukum adat untuk memberikan sanksi bagi perusak lingkungan.

“Sekali kali boleh juga dipakai hukum adat bagi yang bandel dan jahat. Perlu itu. Kami berharap masyarakat adat Batak membantu pemerintah menjaga alam dan lingkungan.”

Dari atas bukit, tampak, sebagian wilayah adat ini sudah menjadi kebun eukaliptus TPL. Foto: Ayat S Karokaro
Dari atas bukit, tampak, sebagian wilayah adat ini sudah menjadi kebun eukaliptus TPL. Foto: Ayat S Karokaro
Pohon kemenyan tinggi menjulang, yang menjadi andalan warga adat sebagai sumber pendapatan. Foto: Ayat S Karokaro
Pohon kemenyan tinggi menjulang, yang menjadi andalan warga adat sebagai sumber pendapatan. Foto: Ayat S Karokaro
Pohon eukaliptus yang 'nyasar' ke dekat hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro
Pohon eukaliptus yang ‘nyasar’ ke dekat hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,